Welcome Home, Yvonne!

Sepeda motor saya, Marley alias Yvonne, sekarang sudah sembuh. Setelah direstorasi selama beberapa bulan, Honda C70 bikinan tahun 1980 itu, akhirnya bisa jalan dengan normal. Tidak begitu normal sih sebenarnya, tapi cukuplah untuk ukuran sepeda motor yang sudah lebih 30 tahun lebih umurnya.

Akhirnya ada juga hasilnya, dengan bantuan Pak Kendro (bapak-bapak di kantor yang juga senang sepeda motor tua, terima kasih banyak untuknya), saya menata kembali hati ini, eh, menata si Yvonne. Dimulai dengan mengganti velg dan jeruji, menggosok tromol dan mesin dengan langsol (ini membutuhkan waktu dua minggu), mengecat standar dan foot step, mengganti lampu-lampu, dan memasang spion, legshield, tutup rantai, dan stikernya sebagai pemanis. Sebenarnya, semua itu tidaklah membutuhkan waktu lama. Tapi, setelah dua tahun tidak dipakai, mesinnya benar-benar mati suri. Tidak ada artinya sepeda motor bila mesinnya tidak menyala. Sudah tiga bengkel yang menyerah angkat tangan, bila tetap mempertahankan bentuk asli mesinnya.

Kemudian saya menemukan bengkel dekat Simpang Polda yang bisa memperbaiki. Pemilik sekaligus teknisinya, Pak Darwin, sepertinya cukup paham dengan penyakit motor-motor lama. Cukup dua hari dan biayanya tidak mahal, Si Yvonne sudah bisa dibawa pulang. Lagi, meskipun bangunan bengkelnya kecil dan tidak permanen, kerennya, dia punya kartu nama. Mungkin dia termasuk orang yang menghargai pelanggan dan keahlian yang ia miliki. Saya ingin mengusulkan kepadanya, agar menambah namanya di kartu nama menjadi: Darwin D Fixer.

Berikut ini beberapa foto Yvonne.

Si Yvonne sedang dirawat.

Si Yvonne sedang dirawat.

Yvvone, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

IVON is a four letter word. :)

IVON is a four letter word. 🙂

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.50 WIB

“Dia boleh dipanggil nama mana saja, Marley atau Yvonne. Yvonne artinya gadis yang cantik.”

Mencari Pempek 10 Ulu

Ini adalah tahun kelima saya merayakan Idul Adha di Sumatera Selatan. Tapi, bila diingat-ingat, belum sekalipun saya salat Id di Masjid Agung Palembang. Jadi, pagi-pagi sekali di hari Idul Adha, saya bersepeda ke masjid tua itu. Udara terasa segar, karena kendaraan bermotor hanya sesekali saja lewat.

Jamaat salat telah mulai memenuhi kawasan masjid, di jalan-jalan, bahkan di atas Jembata Ampera. Walikota dan gubernur membacakan sambutan. Di akhir salat, beberapa keluarga berfoto di depan kolam air mancur masjid. Seorang tukang foto tua mengabadikan gambar mereka, dan langsung dicetak dengan mesin printer portabel, dengan hasil foto yang bagus-penuh pengalaman.

Habis salat, saya biasanya ke kantor untuk memotong-motong daging kurban atau sekedar membantu memasukkannya dalam kantung plastik. Tapi saya jadi ingat dengan tim kami yang penasaran dengan  Pempek 10 Ulu. Beberapa minggu ini, karena ada rekan tim kami yang akan pindah dari Sumatera Selatan, kami rajin mencoba berbagai macam pempek yang terkenal di Palembang, dari Vico, Tince, Eek, juga Saga. Agar bisa bercerita,  setelah meninggalkan Palembang. Hasilnya, pempek-pempek itu enak semua. Ukuran enak mungkin subjektif, tapi bila makanan dari ikan itu kondisinya masih baik dan tidak amis, itu sudah cukup menjadi syarat disebut enak .

Pempek 10 Ulu terkenal enak, tapi tidak seorangpun di antara kami yang pernah mencobanya.  Jadi, di hari Idul Adha itu, dari Masjid Agung sebelum ke kantor, saya mengayuh sepeda ke Seberang Ulu. Seorang ibu-ibu penjual makanan di bawah Jembatan Ampera menunjukkan arah ke 10 Ulu. Saya segera menyusuri jalan yang ditunjukkan, melewati pasar, sambil melihat kiri-kanan, barangkali ada warung pempek yang buka. Tapi, tidak ada sebuah warung pun yang bertuliskan pempek 10 Ulu. Saya terus mengayuh, bahkan sampai 14 Ulu, dan terpaksa kembali karena warungnya tidak ketemu. :’D

Tapi di kawasan Seberang Ulu, banyak bangunan rumah panggung tua. Mereka terlihat masih cantik dan mengagumkan. Itu menjadi pemandangan menarik selama mengayuh sepeda-tanpa-hasil itu.

Sampai kembali di Pasar 10 Ulu, saya kemudian bertanya pada seorang bapak yang baru membuka sebuah toko kelontong. Dia kemudian menunjukkan sebuah warung pempek, di gang samping pasar. Saya kemudian ke sana, memesan beberapa potong pempek, dan mencicipinya. Hasilnya, seperti pempek yang lain, pempek 10 Ulu juga enak. Jadi apa bedanya dengan pempek yang lain? Hampir tidak ada bedanya di lidah saya yang bukan chef ini. Kan, bagi saya, syarat enaknnya sederhana saja. 😀

Sumatera Selatan, di sebuah kabupaten yang dilewati Sungai Komering, 12 November, 22.40 WIB

“Kapan-kapan, ingin menulis tentang directory pempek di Palembang”

selamat idul fitri 1431 h

kartu lebaran

selamat lebaran ya 🙂

Dulu, setiap tahun menjelang lebaran tiba, Bapak selalu mempersiapkan kartu lebaran untuk dikirim kepada para kenalan. Jadilah kami anaknya yang masih kecil-kecil bertugas menempel perangko serapi mungkin. Berlomba siapa yang paling banyak menempel. Dan ketika dekat-dekat lebaran, kartu ucapan lebaran juga berdatangan. Kami biasanya berteriak-teriak bila pak pos datang untuk mengantar kartu ucapan dengan perangko yang beragam.

Indah sekali di masa itu. Saat kabar, cerita, dan ucapan selamat dituliskan di kertas yang bermacam warna (ada juga yang wangi) atau di kartu pos yang bergambar indah-indah. Yang punya sahabat pena tentunya sering sekali ke kantor pos untuk mengirim surat dan mendapat kiriman surat di sekolah. Jadinya, hobi filateli juga ramai. Teman saya, Farhan namanya, punya berapa jilid album perangko. Perangkonya macam-macam; tak sedikit juga yang dari luar negeri. Kami seringkali melihat koleksinya dengan rasa kagum. Ah, indah sekali.

Di momen lebaran tahun ini tidak ada salahnya bila mengirim kartu lebaran; bernosatalgia kembali ke masa lalu. Pasti beda rasanya dibanding mengirim SMS lewat ponsel.

Di kantor pos di dekat Benteng Kuto Besak ada dijual kartu ucapan bergambar Palembang. Ada gambar Benteng Kuto Besak, Jembatan Ampera, dan Masjid Agung Palembang. Cukup ditulis angka tahun hijriahnya saja, sudah ada kata-kata ucapannya. Kalau mau ditambah kata-katanya juga tinggal ditulis pakai pulpen. Harganya 2500 rupiah per lembar. Saya beli 40 lembar, lengkap dengan sampul putihnya.

Selain kartu ucapan, juga ada perangko Prisma yang bisa dipasang foto terserah kita. Dua puluh lembar perangko dikasih harga Rp50.000,00 dengan nilai perangko 1500 rupiah per buah. Istimewanya, dengan nilai segitu bisa untuk dikirim ke mana saja di Indonesia. Fotonya saya pasang foto Gedung P kampus STAN dua versi: yang jadul dan yang modern. Soalnya, saya bingung mau dipasang foto apa. Masa foto saya sendiri? Narsis betul. Juga masa fotonya mbak Dian Sastrowardoyo, memangnya saya ini siapanya dia?

Jadi total pengeluarannya Rp200.000,00. Saya kirim kartu-kartu itu ke semua teman seinstansi yang seangkatan di semua perwakilan di Indonesia; dari Banda Aceh hingga Jayapura; dari Mataram sampai Menado. Juga saya kirim untuk teman Stapala yang yang penempatannya agak jauh, seperti di Sulubussalam, Bulukumba, Pasangkayu, dan Kuala Tungkal. Saya kirim juga untuk Posko Stapala di kampus Jurangmangu.

Empat puluh lembar kartu ucapan pastinya juga masih kurang. Jadinya, kalau ada beberapa orang yang satu kantor, saya tulis nama mereka dalam satu kartu. Iya, biar irit. Hehehe.

Empat puluh kartu ternyata tidak sebentar untuk menuliskan dan menempelkan perangkonya. Sebelum bertugas ke Musi Rawas, sempat separuhnya saya tulis. Sisanya saya tulis di malam yang besoknya saya mesti pulang kampung. Jadinya malam itu saya tidak tidur sama sekali karena menyelesaikan kartu-kartu itu. Akibatnya, di pesawat Palembang-Jakarta saya tertidur pulas. Ileran pula. Sempat saya lihat mbak pramugari tertawa lihat saya ileran. Huh, memangnya orang tampan tidak boleh ileran apa?

Semoga semuanya bermanfaat. Setidaknya, teman saya pasti tersenyum lihat itu kartu. Seperti Arif Sulistyo yang bertugas di KPP Pratama Bulukumba. Dia bilang dia kira dapat surat dari KPK! Hahaha. Ini gara-gara di sampulnya ada logo KPN yang sekilas mirip logo KPK. Memang saya bikin mirip, kecuali ada tambahan gambar arah mata angin di kanan atas logonyanya. Di pojok kiri atas sampul kartu juga saya print begini: “M. N. Juna Putra & Keluarga; Kantor Pengelana Nasional; Kantor Pusat di Palembang”. Serius sekali. Bapak pos juga pasti mengira kalau Kantor Pengelana Nasional itu benar-benar ada. Padahal masih menumpang gedungnya di ruang arsip gedung kantor kami. Itupun secara ilegal.

Oh, ya, maksud saya, menulis ini sebenarnya juga untuk mengucapkan selamat Idul Fitri untuk teman-teman yang setia membaca blog ini. Mohon maaf atas laku yang dibuat dan kata yang terucap; yang tidak enak di hati. Semoga Allah menerima ibadah kita. Amin.

Palembang, 22 September 2010

“Semoga tahun depan bisa bertemu Ramadan dan mengirim kartu lebaran dengan kertas daur ulang”.



kantor dan pekerjaan impian

Alkisah, ada sebuah kantor bernama Kantor Pengelana Nasional. Kantor ini adanya di ibukota negara. Tapi juga punya kantor perwakilan, satu kantor di setiap pulau-pulau besar. Misalnya, di Jawa punya satu kantor, di Sulawesi, di Kalimantan, di Sumatera, di Papua, dan di Nusa Tenggara masing-masing satu kantor. Rotasi pegawainya juga secara berkala, teratur, dan adil untuk menambah pengalaman. Pegawainya mesti diseleksi secara ketat karena banyak peminatnya. Kenapa banyak peminatnya? Sebab, pekerjaannya sangat menyenangkan.

Pekerjaan utama pegawainya adalah jalan-jalan. Ya, jadi turis atau pengelana. Itu sebabnyaa nama kantornya Kantor Pengelana Nasional.

Keahlian pegawainya dibagi-bagi dalam spesialisasi pantai, laut, gunung, gua, sungai, hutan, dan udara. Spesialisasi ini diperoleh dari diklat dan ujian sertifikasi. Seorang pegawai boleh mempunyai beberapa sertifikat spesialisasi. Sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk jenjang karir tentu ada jenjang jabatannya. Ada jabatan fungsional Pengelana, dari Pengelana Muda, Pengelana Pratama, Pengelana Madya, sampai Pengelana Agung.

Pegawai boleh berpenampilan semenarik dan seunik yang dia inginkan. Asalkan sopan dan rapi. Kalau gondrong, harus tetap wangi dan rajin mandi. Sepeda lipatnya boleh disimpan di samping meja kerja. Meja dan kursi kerjanya boleh berbentuk selera dia. Ruang kerjanya boleh ditempel poster-poster. Syaratnya harus keren dan memperhatikan nilai estetika.

Setiap bulan pegawai ditugaskan untuk jalan-jalan. Pegawai diberikan surat tugas ke mana, sesuai dengan lingkup wilayah tugasnya dan spesialisasinya. Bisa ke pantai, laut, gua, sungai, hutan, dan gunung. Bisa susur pantai, snorkling, diving, caving, hiking, rafting, paralayang, terjun payung, rockclimbing, bersepeda, sampai sekedar camping ceria. Bisa sendirian, bisa juga dalam tim. Selain di dalam negeri, terdapat seleksi per tahun  bagi pegawai, untuk berkunjung keluar negeri, misalnya mendaki Gunung Kilimanjaro di Afrika.

Pegawai diwajibkan menuliskan kisah perjalanannya. Semakin menarik, semakin bagus. Tulisan-tulisan kisah perjalanan mereka diterbitkan dalam majalah yang diterbitkan berkala oleh kantor. Foto-foto perjalanan juga jangan sampai lupa. Sebab, dalam bisunya, foto bahkan lebih banyak bercerita dibandingkan kata-kata. Demikian sabda para juru foto.

Wah, pasti menyenangkan sekali kerja di Kantor Pengelana Nasional. Namun yang terlupa dipikirkan adalah manfaat kantor ini bagi masyarakat. Awalnya saya tidak tahu apa manfaatnya. Lupa dikonsep visi dan misinya. Tapi kata Hudha, kantor ini berguna untuk memajukan pariwisata dalam negeri. Pegawai diberikan dana perjalanan untuk dibelanjakan di setiap objek wisata. Agar masyarakat di sekitar objek wisata bertambah pendapatannya. Ya, ya, alasan itu bisa diterima. Sedang menurut saya sendiri, setelah saya pikir-pikir, kantor ini juga berfungsi untuk membuat dokumentasi tempat-tempat indah di Indonesia. Dokumentasi ini berupa catatan perjalanan dan foto-foto. Diharapkan adanya dokumentasi ini untuk mempermudah masyarakat Indonesia dan warga negara asing untuk mengenal tempat-tempat yang indah di negeri ini. Agar masyarakat negeri ini bisa lebih dekat dengan negerinya sendiri. Mengenal keindahan alam dan budaya negeri ini.

Wah, seandainya kantor seperti itu ada, ya. Hehehe.

Palembang, 6 Juli 2010, sore menjelang magrib, di ruang arsip yang ada gitarnya.

“Dari obrolan saya dan Hudha yang sudah lama sekali tidak naik gunung”.

Tahun Ini Saya Tidak Berangkat Ke Semeru

Ernest bilang kalau catatan-catatan di facebook dan tulisan-tulisan saya di blog sarat dengan kegelisahan. Terima kasih, Nest. Saya sadari juga, akhir-akhir ini saya merasa terlalu banyak berpikir yang terlalu serius. Atau mungkin, sayanya ini yang menganggap terlalu serius. By the way, Ernest ini bukanlah Ernest suaminya Nirina. Tapi dia Ernest, sobat saya, anak Stapala, dia perempuan, yang kostnya dulu di daerah PJMI. Kalau dulu kami ramai-ramai mengantar Ernest pulang, biasanya kami mampir dulu di Mamat—warung indomie—dan di sana kami makan indomie.

Baiklah, saya ingin bercerita tentang apa ya, kali ini?

Ehm

Begini. Akhir-akhir ini saya merasa diawasi oleh seseorang. Awalnya sih senang ada yang perhatian. Orang itu bilang kagum sama saya. Apa itu istilahnya orang yang kagum sama orang lain?

Masiver?

Bukan. Itu mah kelompok orang-orang yang senang sama D’Masiv.

FBCL?

Bukan juga. Itu kepanjangan dari Fans Berat Cinta Laura. Cahyo Ari Wibowo alias Mbah Terong, kawan saya juga di Stapala, katanya dia bergabung di FBCL.

Duhai, anak muda jaman sekarang. Yang disukai D’Massif lah. Idolanya Cinta Laura lah.

Jadi, awalnya, SMS-nya itu ucapan-ucapan pemberi semangat. Juga ucapan selamat: misal selamat makan, selamat tidur, selamat apa-apa saja. Itu khas orang-orang yang lagi senang sama orang lain. Tapi, sebab saya tidak tahu siapa dia, saya jadi cuek saja. Maaf untuk siapa kamu itu, maaf bila saya tidak membalas SMS dari kamu.

Lama-lama, jadi agak serem juga. Dia tahu nama saya. Dia tahu kapan saya berangkat ke kantor. Tahu kapan saya pulang dari kantor. Kapan saya berangkat kuliah. Kapan saya balik dari depan, tempat saya makan malam. Kapan saya makan siang.

Dia tahu kalau jam lima lebih saya pulang dari kantor. Dia tahu kalau saya berangkat kuliah jam enam sore. Dia juga tahu, kalau saya pulang dari kuliah jam sembilan malam.

Saya pikir, mungkin dia salah orang. Jadi, saya telpon dia itu, dan benar ada yang angkat. Suaranya pakai logat Palembang Metropolis. Dia bilang, dia tahu, kalau saya pulang-pergi kantor dan kuliah pakai sepeda warna kuning! Siapa lagi yang pakai sepeda warna kuning bolak-balik Demang Lebar Daun-Lorong Gembira di tiap pagi dan petang! Merinding saya. Tapi, syukurlah suaranya perempuan. Kalau laki-laki, lebih merinding lagi pasti.

Oh, siapakah kamu itu? Saya sudah terlalu tua untuk seperti ini; seperti di masa-masa dulu di SMA atau kisah-kisah dalam komik serial cantik.

Demang Lebar Daun, 10 Desember 2009

“Kawan-kawan baik angkatan 2007 bulan Desember ini akan berangkat ke Mahameru. Duhai Ren, Ernest, Selly, Hendy, Isma, dan Rian, titipkan salam hangat saya untuk puncak itu. Hati-hatilah di jalan.”

hiatus tak lama

Dua bulan lebih saya tidak posting di blog ini; juga tidak di blog mana-mana. Semata-mata akibat perubahan rutinitas yang membuat saya merasa malas untuk menulis di sini. Entah hubungannya apa. Yang jelas, baru sekarang saya punya segala faktor yang mendukung saya untuk meng-update Catatan Kecil ini.

Selama dua bulan belakangan, jadwal saya sedikit teratur. Mandi jam segini, tidur jam segini, makan jam segini, naik kereta api listrik jam segini. Tidak carut marut seperti dulu. Mungkin itu pula yang mebuat saya tidak sempat menulis. Biasanya saya menulis di tengah malam buta, dan jadwal itu sekarang tidak ada.

Dua bulan belakangan saya magang di sebuah instansi pemerintah yang kantornya di depan gedung MPR. Masuk jam 7.30 dan pulang lebih jam lima sore. Terkadang pula lembur dan menginap di kantor. Kalau menyalahi jadwal, maka mesin pemindai tangan di sana akan menganggap saya sebagai manusia pemalas, tidak punya dedikasi, dan pantas dipotong penghasilannya sekian persen per hari per telat.

Sejak jadwal saya berubah, saya menjadi gampang sekali tidur. Sesampai di kos di daerah Jurang Mangu—atau bolehlah disebut Bintaro agar terdengar keren, padahal kos saya di dalam kampung—saya lebih memilih untuk tidur. Selepas jam delapan-sembilan malam saya lebih senang tidur. Ini agar saya tidak begitu lelah saat mengejar kereta pagi-pagi. Kereta Ciujung, Sudirman Ekspress, Depok Ekspress turun d i Palmerah, KRL, dan KRD, jadwalnya relatif tepat. Jadinya, saya mesti menyesuaikan jadwal mandi lebih pagi dibandingkan saat kuliah dulu agar tidak ketinggalan kereta.

Saya masih ada utang di sini. Banyak komentar yang tidak terbalas. Juga tentang award yang mungkin sekarang sudah tidak berjaman lagi. Tapi award itu diberi tiga bulan yang lalu, harusnya saya pasang karena itu adalah hadiah. Sekaranglah saya pasang. Tidak apa-apa sudah kuno, dari pada tidak sama sekali. Terima kasih, Mbak Putri. Rasa-rasanya tidak pantas blog ini mendapat award dari Mbak. Makanya, saya bingung untuk memilih siapa yang harus saya berikan kembali. Blog-blog yang saya kunjungi bagus-bagus sangat; tidak pantas rasanya saya yang memberikan award. Apalah rasa gengsinya mendapat award dari sini. Oh ya, sekali lagi, terima kasih Mbak Putri.

butterfly_award1

Kalibata, 27 Januari 2009, 14.00 WIB

Akhirnya bisa posting lagi. Senang rasanya. Seperti rindu yang terlepaskan. Seperti kasih yang tersampaikan.

Ode Malam Lebaran

Saya tidak mudik tahun ini. Kenapa? Tanggung saja waktunya. Sebentar lagi saya ada yudisium soalnya. Jadi aja, waktunya sempit untuk mudik. Biarlah di sini saja; di pinggiran Jakarta sambil menikmati sunyinya hari-hari terakhir Ramadhan.

Tapi syukurlah tidak terlalu sepi di kampus. Lho, kok di kampus? Begini, selama bulan puasa ini saya tinggal di kampus. Di posko mapala kampus saya. Menginap bareng Udik yang orang Solo, Ucup yang orang Bekasi, Jalu yang orang Magelang, Sebastian yang orang Mentawai, Antonius yang orang Sukoarjo, kadang Endji yang orang Surabaya yang datang mentraktir makan—terima kasih banyak untuknya. Jadi, saya tidur, mandi, sahur, berbuka di kampus. Hari-hari terakhir di kampus ini; saya ingin lebih dekat dengan kampus ini. Kalaulah tidak di kampus; di hari-hari terakhir Ramadhan, saya duduk-duduk dan sering tertidur di An Nashr, masjid depan kampus yang baru saja dipasang empat unit Air Conditioner.

Menjelang lebaran, waktu terasa lamban berputar. Saya ingat rumah. Ingat dengan ramainya rumah saat berbuka; oleh keluarga dan orang-orang yang mampir di rumah. Ingat dengan masakan hasil laut yang di gelar di atas tikar pandan. Ingat dengan Sepat—sambal kuah asli Sumbawa—yang tiap berbuka dibuat oleh ibu saya yang orang Sumbawa. Menjelang lebaran begini, seharusnya saya ada di rumah. Tiduran di gazebo belakang rumah sambil mengobrol dengan ibu, bibi, dan paman-paman saya; tentang kuliah, ibukota, sayuran yang baru ditanam, dan ikan lele di kolam. Atau duduk di teras depan, ikut-ikut mengobrol tentang kuda pacuan bersama ayah, abang, sepupu, dan juga paman-paman yang semuanya menggemari pacuan kuda.

Malam lebaran ini tidak demikian. Jalan di depan posko ramai dengan pengendara sepeda motor hilir mudik; dengan pusat keramaiaannya di Bundaran Sektor 9 yang disesaki asap kembang api. Entah mengapa, mereka begitu bahagia saat Ramadhan berakhir. Tengah malam, saya hanya duduk sendirian di depan posko sambil memetik gitar. Mencari-cari chord lagu Home-nya Michael Bubble. Juga saya carikan nada intronya dengan harmonika merek Hero buatan Republik Rakyat China. Tapi, karena tidak ada alat penyangga harmonika yang digantung di leher (apa ya namanya?), saya tidak bisa memainkan keduanya secara bersamaan. Ah, biarlah.

Iseng saya rekam suara saya sambil memetik gitar dengan mode MMScompatible. Ugh, ternyata mendengar rekaman suara sendiri malu rasanya. Nadanya ke sini, suara saya malah entah ke mana. Saya coba rekam beberapa kali. Hasilnya sama saja. Ah sudahlah, tidak usah dipaksa; toh saya tidak dibayar. Saya hapus yang sangat-sangat jelek dan memilih yang saya anggap bagus; yang sedikit mirip dan banyak sekali bedanya dengan suara penyanyi aslinya. Begini syairnya yang saya lompat-lompatkan.

Maybe surrounded by

A million people I

Stilll feel allalone

I just wanna go home

Oh, I miss you, you know

Let me go home

I’m just too far

From where you are

I wanna come home

Saya kirim MMS ke adik saya, dengan rekaman yang menurut saya paling bagus nadanya. Pastilah dia mengerti Michael Bubble, karena dia pernah jadi penyiar radio. Mengerti di sini artinya bukan mengerti watak, kemauan, sampai perilaku si Michael Bubble, tapi artinya tahu kalau Michael Bubble itu penyanyi. MMS-nya buat semua keluarga di rumah, khususnya untuk ibu saya. Beberapa saat kemudian sebuah SMS masuk di ponsel saya. Dari Kiki, adik perempuan saya satu-satunya itu. Begini SMS-nya.

Jelek sekali suaranya,,,

He..he..he.. Ternyata tidak sesuai harapan. Tapi, berpikir positif saja. Mungkin dia sedang tidak berselera mendengar suara yang merdu karena sedang sibuk-sibuknya jadi mahasiswa baru.

Posko Stapala, 13:34, 7 Oktober 2008

“Ingin sekali bertemu Ramadhan tahun depan. Banyak sekali salah yang saya lakukan dalam Ramadhan ini. Bila ada waktu untuk saya”

Ayat-Ayat Cinta: mengapa harus difilmkan?

Sekitar pertengahan 2005 lalu, saya dipinjami novel sama teman satu kosan. Warna kuning krem, judulnya unik: Ayat-Ayat Cinta, ada testimoni dari orang-orang terkenal, ditambah lagi perkataan teman yang sedikit maksa: “Lo harus baca, Ris!. Gue saja sampai gerimis” membuat saya langsung tertarik. Selanjutnya, begitu tertariknya saya pada novel ini dan ingin orang lain juga membacanya, empat jilid telah saya beli untuk saya hadiahkan kepada adik, teman dan perpustakaan SMA saya dulu. Adik saya jadi ketularan suka sama novel Ayat-Ayat Cinta, seringkali dalam obrolan kami, yang dibicarakan adalah tentang baik hatinya Fahri, tentu juga tentang Aisha. Betapapun imajinatifnya kedua tokoh tersebut, kami mengobrolkannya seperti membicarakan orang benar-benar ada di dunia; seakan tetangga kami yang tiap hari kami lihat, atau begitu nyatanya, seperti saudara-saudari jauh kami yang kami sangat tahu seluk beluk tentang mereka.

Menurut saya, adik saya, dan ribuan orang lainnya, novel ini bagus, terlepas dari kekurangannya: tokoh Fahri yang benar-benar sempurna dan beruntung dan tokoh Aisha yang juga benar-benar sempurna. Di luar kekurangannya ini, yang justru menjadi keunikan cerita, novel ini tentulah berhasil—seperti maksud penulisnya—sebagai novel pembangun jiwa, memberi inspirasi kepada banyak orang tentang cinta, kesabaran, usaha keras, dan menjadi muslim yang benar-benar muslim. Lebih dari itu, novel ini sekaligus memuat ajaran-ajaran agama tentang hubungan kepada penganut agama lain dan perlakuan agama kepada perempuan. Istimewanya, novel ini tidak hanya dibaca oleh kalangan muslim saja namun dari kalangan non muslim juga.

Ketika novel ini benar-benar ingin dijadikan film, saya adalah pembaca yang kurang setuju. Menurut saya, biarlah alur cerita dalam novel tersebut di dalam angan-angan pembaca saja. Bukan karena apa-apa, sosok Fahri dan Aisha tentu sangat sulit dibuat nyata. Ini bukan masalah fisik, bukanlah tentang mencari pemeran yang mirip. Fahri dibuat tidak ganteng pun tidak masalah (dalam novel tidak dijelaskan ciri-ciri wajah Fahri, kecuali sekali waktu disebut ”mirip bintang film Hongkong”), mencari orang cantik untuk mewakili Aisha yang keturunan Asia-Eropa tentulah tidak sulit. Namun, adakah yang sanggup memerankan keindahan hati mereka? Sehingga para penonton terhanyut, seakan membaca novel, dan tidak menganggap bahwa itu hanya akting belaka?