bercerita lagi

Akhir pekan ini rasanya menenangkan sekali. Tugas dua bulan dari kantor sudah selesai, laporannya sudah terbit, dan saya bisa tidur lebih awal setiap hari. Sebenarnya, beberapa pekan belakangan ini tidak perlu begadang, meskipun ada beberapa hari yang mesti dilalui dengan tidur larut malam. Masalahnya, saya masih berusaha keras agar tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Padahal itu seringkali membuat saya menjadi kewalahan bila mendekati deadline serta menjadi jarang makan dan jarang mandi.

Ini pengalaman pertama saya memegang lap*ran keuangan, sesuatu yang biasa saja bagi sarjana akuntansi manapun. Namun, ternyata itu sangat banyak sekali yang mesti dilihat kecocokan angkanya. Bila tidak cocok, saya menjadi penasaran dan akan berpose seperti patung The Thinker, karya Auguste Rodin. Bila ketidakcocokan itu tidak kunjung ditemukan sebabnya, maka rasa penasaran itu berubah menjadi pusing dan ciri fisik lainnya yang menandakan stress ringan. Maka, bila sudah larut malam, saya akan segera tidur dan melupakan semuanya (oh, tentu saja tidak semuanya). Setidaknya itu mengurangi satu masalah, yaitu masalah kantuk. Nah, biasanya setelah tidur, walaupun sebentar, pikiran akan jernih lagi atau setidaknya tubuh menjadi fit kembali. Itu sangat membantu untuk menemukan angka mana gerangan yang membuat semuanya tidak imbang.

Sabtu hari ini tidak ada kelas kuliah karena baru saja ujian semester. Jadi saya ke rumah sakit, yang rencananya sudah lama sekali. Saya menjadi tergugah lagi saat membaca sepotong kisah Christino Ronaldo, yang rela tidak mentato badan karena dia rutin mendonorkan darahnya. Meskipun saya tidak memiliki tato—kecuali bekas imunisasi di lengan kanan—sayapun ingin bisa mendonorkan darah lagi.

Tapi saya datang terlalu siang, jadi saya mencatat nama-nama dokternya saja dan bertanya di mana mereka membuka praktik.

Oh ya, di belakang rumah sakit ada sebuah bangunan lama yang termasuk bagian rumah sakit juga. Saya tidak paham dengan arsitektur, hingga hanya bisa menebak bangunan itu sepertinya bergaya mediteranian. Gayanya seperti bangunan-bangunan di Italy dan Spanyol (seperti di film-film), dengan balkon melengkung dan railing dari besi tempa, jendela yang kecil, serta bagian atas jendela dan pintu yang berbentuk busur. Balkon dan railing itu yang tidak kuku, melengkung cantik dan rapi sekali.

Saya sempat masuk ke dalam, dan menemukan ruang lobby yang tinggi, dengan jendela-jendela kaca yang bisa dibuka tutup dengan tuas-tuas besar, sistemnya semacam cara kerja kaca nako.

Saya tertarik dengan bangunan-bangunan lama. Saya pikir, mereka benar-benar dibuat oleh seniman. Bentuknya indah dan teruji ketahanannya berpuluh tahun. Beberapa bangunan lama yang saya perhatikan, bentuknya selalu rapi dan kokoh. Misalnya, tangga melengkung di Watertoren yang sekarang menjadi Kantor Walikota Palembang, lengkungannya sangat rapi seperti hasil cetakan puding. Itu istimewa sekali, lain dari biasanya. Pasalnya, seringkali bangunan-bangunan publik di masa sekarang, apalagi bila dikerjakan oleh kontraktor lokal, seperti dibuat asal jadi.

Saya kemudian kembali ke tempat parkir, mengeluarkan buku sketch dan alat-alatnya di bagasi sepeda motor saya yang setia, karena selalu diservis dan diganti oli secara rutin. Mereka selalu ada di sana, jadi tidak susah bila memerlukan sewaktu-waktu. Dari pojok halaman di bawah pohon tanjung, saya mulai menggambar. Tapi, saya tidak terlalu betah di situ, karena tempat duduk dari cansteen yang tidak terlalu nyaman. Saya jadi berpikir untuk membeli kursi lipat yang saya lihat di Ac* Hardware. Namun, perlu dipertimbangkan lagi, karena sepertinya itu tidak muat di bagasi Vega Riani, disingkat Vega R, sepeda motor saya. 😀

Seperti di Spanyol kan? :D

Seperti bangunan di Eropa bagian selatan kan? 😀

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Palembang, 29 Juni 2013, 23:50

“Setelah tulisan ini; saya mungkin akan lebih rutin bercerita. Sekedar menertawakan diri sendiri. Seperti kemarin saya hampir ketinggalan pesawat sewaktu ke Jogja atau hampir kehilangan seluruh data di notebook saya :D”.

kiki ke palembang

Palembang

Monpera, alias Monumen Perjuangan Rakyat

Waktunya bisa tepat seperti itu. Awalnya, jadwal tugas dari kantor mulai di awal pekan, yang mana hari kamisnya adalah hari wisuda. Jadi, saya akan ijin sehari penuh untuk mengikuti seremoni itu. Saat hari-hari (sok) sibuk itupun, tentu saja tidak ada waktu untuk mengajak Kiki jalan-jalan. Jadi, lebih baik rencana mengajak Kiki dibatalkan saja.

Tapi ternyata jadwalnya diundur seminggu, dan itu adalah kabar yang amat baik, meskipun tiket belum di tangan. Saya kemudian mencari tiket di situs-situs maskapai penerbangan dan dapat tiket yang lebih murah separuhnya dibandingkan saat musim lebaran. Voyla!

Kiki tiba dengan kerudung dan koper merah marun, cengar-cengir dengan kawat gigi warna biru, dan logat Mataram. Saya senang sekali melihatnya.

Hari wisuda, kami bermotor ke tempat Mbak Esty, teman kantor sekampus yang juga wisuda. Dari sana, dengan mobil pinjaman Mbak Dewi yang juga menemani Mbak Esty, kami berangkat ke OPI Convention Center. Jalanan ramai, lebih-lebih di Jembatan Ampera, karena hari itu ada dua universitas yang mengadakan seremonial wisudanya di Seberang Ulu.

Acara wisuda berjalan dengan baik. Ada menteri PAN yang hadir dan saya menaruh perhatian akan pesan yang dia sampaikan. Meskipun Kementerian PAN mengurusi masalah aparatur negara, pesannya adalah agar para wisudawan tidak takut untuk menjadi wirausahawan. Pengalamannya yang lulus dari fakultas teknik di sebuah universitas teknik di Bandung dan pulang ke Aceh mendirikan perusahaan konsultan dengan karyawan dua orang mahasiswa saja—yang sekarang tumbuh menjadi ratusan orang—mungkin bisa menjadi inspirasi bagi wisudawan yang hadir.

Selesai acara wisuda, kami istrahat saja, setelah sebelumnya makan siang berempat di seputaran Kambang Iwak. Malam harinya baru kami jalan-jalan, makan martabak HAR di depan Masjid Agung. Malam semakin larut seperti gula dalam air teh panas, tapi bundaran air mancur masih ramai. Lampu-lampu disorot ke arah air mancur dan cahayanya berganti-ganti warna. Kami mampir di sana, dan mengambil beberapa gambar.

Besoknya saya ke kantor terlebih dahulu sampai sore. Habis magrib kami keluar, rencananya mau nonton film. Jadi saya ajak Kiki ke PIM, Palembang Indah Mall. Kami menonton The Raid, film yang sebenarnya tidak mau saya tonton untuk kedua kalinya, karena terlalu banyak adegan berdarah-darah. Tapi mau bagaimana lagi, si Kiki maunya nonton film itu.

Dan, namanya perempuan, entah kenapa tergoda membeli sepatu, padahal sepatunya sudah beberapa pasang. Dua kali kami bolak-balik lantai dua dan lantai tiga karena si Kiki bingung memilih sepatu yang mana. Saya hanya kasih saran dua-duanya bagus, tapi pilih satu saja. Hehe.

Di suatu pagi di hari Sabtu, Kiki ingin sekali melihat markasnya Sriwijaya FC. Komplek Jakabaring Sport City (JSC) sebenarnya bisa dijadikan tempat rekreasi. Selain taman-taman terawat dan jogging track yang bagus, di bagian belakang terdapat danau sebagai wahana olah raga air. Pemandangannya asri, airnya bersih, dan lingkungan disekitarnya juga (masih) terpelihara kebersihannya.

Stadion Gelora Sriwijaya.

Stadion Gelora Sriwijaya. Sama adik ane :D.

Nah, si Kiki diajak ke mana lagi ya? Ke mana lagi ke Palembang, kalau tidak ke Pulau Kemaro!

Setelah dari JSC, dan ke Masjid Agung, kami berjalan kaki menyusuri Benteng Kuto Besak, Monpera, Museum Sultan Badaruddin II, dan mencari perahu di bawah Jembatan Ampera, sambil mengambil-ambil gambar. Setelah sebelumnya melihat kota yang gemerlap dan lalu lintas yang banyak kendaraan mewah, barulah terlihat sisi lain kota di sekitar jembatan, kawasan para pedagang kecil mencari nafkah. Mungkin ini penilaian secara subjektif, tapi kesenjangan ekonomi di kota ini kadang-kadang terlihat dengan kasat mata.

Kami menyewa sebuah perahu getek untuk pergi-pulang Pulau Kemaro dengan tarif Rp60.000,00. Si Kiki kasihan melihat penampilan dan gestur si bapak pengemudi perahu. Dia memang gampang kasihan kepada orang lain. Perjalanan sekitar 30 menit sekali jalan. Getek yang kami tumpangi sesekali terombang-ambing karena perahu lebih besar atau perahu boat lewat dengan begitu kencangnya.

Naik getek di Sungai Musi

Naik getek di Sungai Musi

Di tengah perjalanan, masih di atas sungai, tiba-tiba hujan turun disertai angin. Syukurlah, tidak begitu jauh dari posisi perahu yang kami tumpangi, ada kios bahan bakar terapung. Bapak pengemudi perahu dengan cekatan menambatkan perahunya, menyapa pemilik kios, dan mempersilakan kami agar berteduh di dalam. Saya sebenarnya sedikit waspada—mungkin ini berlebihan—namun saat itu sedang hujan, kami di tengah sungai, dan bisa saja terjadi apa-apa. Namun, pemilik kios hanya penampilannya saja yang seram. Saya sempat berbicara dengannya, dan mengetahui kami dari NTB, dia bercerita bahwa pernah beberapa tahun tinggal dan bekerja di Praya, Lombok Tengah. Terima kasih untuknya, sudah memberi tempat berteduh bagi kami bertiga.

Rumah Rakit, Sungai Musi

Rumah Rakit, Sungai Musi.Tempat kami berteduh sebentar ketika hujan.

Pulau Kemaro adalah sebuah pulau biasa di tengah sungai dengan dermaga kecil. Sepotong ujungnya digunakan sebagai areal wisata, di mana di tempat itu berdiri tempat peribadatan bagi umat Budha, berupa beberapa bangunan wihara dan sebuah pagoda. Terdapat juga satu-dua makam, beberapa patung, dan sebuah pohon beringin yang kabarnya dianggap keramat. Pengunjung biasanya datang untuk menikmati suasana pulau yang sejuk oleh pohon-pohon besar, berfoto di depan pagoda, atau di samping patung panda dan tokoh-tokoh di cerita kera sakti.

Di hari Minggu, hari Kiki kembali ke Mataram, saya sempatkan dia untuk mencoba mie celor. Mie celor yang paling banyak penggemarnya adalah Mie Celor Pasar 26. Pengunjung sangat ramai, dan syukurnya kami mendapat tempat duduk. Tapi, karena banyak sekali yang memesan, mie yang kami pesan tidak kunjung datang. Setelah beberapa kali menanyakan lagi, akhirnya terhidanglah mie celor yang menggugah selera, meskipun hanya sepiring yang dihidangkan dan sepiringnya lagi lupa. Tapi tidak usah cemas, porsi sepiring mie celor bisa untuk dua orang. Dengan mienya yang gemuk, kuah yang kental, dan sebutir telur rebus, itu sangat mengenyangkan bila dimakan sendirian.

Dengan penerbangan jam 10-11 pagi, Kiki pulang ke Mataram. Saya senang bisa sempat mengajaknya berkunjung ke Palembang. Sebentar lagi dia akan lulus kuliah, melanjutkan koasnya, dan mungkin saja tidak lama lagi akan ada yang melamar dia. Kapan lagi saya bisa mengajaknya jalan-jalan ke sini? Meskipun kata si Kiki, Palembang tidak sekeren Mataram; karena tidak ada pantai serta macetnya melelahkan hati dan pikiran bila mau ke mana-mana. 😀

Palembang, 23 Juni 2013
“Tulisan lebih setahun yang lalu. Baru diupload sekarang. :D”