Enjoy Palembang

Dari segi pariwisata, Palembang sebenarnya termasuk kota yang tidak begitu istimewa. Ini dengan penilaian sederhana, seperti dari jumlah dan macam objek wisata. Wisata keindahan alam tidak banyak di sini, misalnya bila menghitung Pulau Kemaro, Sungai Musi, dan taman Punti Kayu. Bukit Siguntang, Taman Kambang Iwak, dan Taman Purbakala juga bolehlah dimasukkan dalam daftar ini. Selebihnya, ada beberapa objek wisata sejarah, seperti Museum Balaputera Dewa (yang sekarang berubah nama menjadi Museum Sumatera Selatan), Museum dr AK Gani, Museum Tekstil, Benteng Kuto Besak dengan bangunan-bangunan tua di sekitarnya: monpera, rumah burgemeester (walikota) Palembang yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, gedung waterleideng yang sekarang digunakan sebagai kantor walikota, gedung societiet, serta gedung schouburg (keduanya menjadi balai prajurit dan kantor Satpol PP). Selain itu, tentu saja ada Jembatan Ampera sebagai landmark kota (jembatan dan Sungai Musi-nya yang bagi saya selalu indah, meskipun ratusan kali saya lihat).

Bagi penduduk lokal, wisata Palembang adalah wisata belanja. Saban akhir pekan, maka mal-mal ramai sekali dipenuhi pengunjung dari kota Palembang sendiri, juga dari kota-kota lain di Sumatera Selatan. Warga kota dan wisatawan memang tidak punya banyak pilihan tempat dan macam wisata di kota ini, lebih-lebih yang kurang menyukai wisata alam dan wisata sejarah yang ada. Tapi, hal baiknya, Palembang sudah terkenal dengan wisata kuliner. Pempek, makanan terkenal ini, serta beberapa turunannya, sangat mudah sekali ditemukan di kota ini. Di mata saya yang perantau, warga Palembang sangatlah menggemari makanan khas mereka sendiri. Mereka makan pempek nyaris setiap hari, hampir-hampir seperti makan nasi!

Jadi, saat Ronron, teman saya di Stapala, datang ke Palembang kira-kira dua bulan yang lalu bersama seorang teman untuk menghadiri pernikahan teman mereka, saya sampaikan terlebih dahulu bahwa Palembang adalah kota yang biasa. Takutnya di bawah ekspektasi temannya itu (kalau anak Stapala yang memang suka ngebolang sih, saya tidak ambil pusing). Tapi dia bilang, temannya suka traveling dan suka dengan hal-hal tentang budaya dan sejarah. Oke, aman.

Dan setelah bertemu mereka, saya menyadari betapa serba kebetulan hubungan kami bertiga. Ini of the record karena kalau dijelaskan bisa jadi panjang. Tapi ujungnya, kami punya minat dan pandangan yang sama mengenai, misalnya, Sungai Musi sangat indah di malam hari.

Saya masih menyelesaikan pekerjaan di kantor sampai sore, jadi di malam hari baru bisa menjemput Ronron dan Mbak Lanny. Di hari pertama mereka datang, siang hari mereka sampai, langsung mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan pergi ke Pulau Kemaro. Dasar traveler. :geleng-geleng

Beberapa tempat yang kami kunjungi, saya buatkan pointer saja, adalah sebagai berikut (aidah, serasa bahasa laporan).

Martabak HAR di depan Masjid Agung

HAR adalah akronim dari nama pemilik usaha martabak india ini, yang didirikan di sekitar tahun 1930-an. Martabak HAR berupa martabak yang berisi dua buah telur ayam atau telur bebek (bisa dipilih), disajikan dengan kuah kari kentang, dan potongan cabai keriting dalam kecap asin. Tidak semua orang setulu’an (bahasa Plembang, artinya cocok) dengan rasa martabak ini. Tapi, kalau ke Palembang, makanan ini wajib dicoba.

Pindang Musi Rawas di Angkatan 45

Pindang di pulau Jawa adalah ikan yang diungkep dalam periuk atau kuali dan biasanya digoreng kembali bila ingin disajikan sebagai lauk. Tapi di Sumatera Selatan, pindang adalah semacam sop ikan. Ikan yang dijadikan pindang seperti ikan patin, ikan baung, ikan gabus salai, dan ikan semah. Tapi tidak saja ikan yang dijadikan bahan utama, bisa juga daging, udang, ayam, burung (seperti di Jejawi), dan bahkan di sebuah lesehan di Kota Pagar Alam, ada pindang kerupuk. Pindang rasanya asem pedas. Di Sumatera Selatan, ada beberapa pindang yang terkenal seperti pindang Sekanak, pindang Pegagan, pindang Meranjat, pindang Rupit, dan pindang Musi Rawas, yang dinamakan seperti nama daerah asalnya.

Kami mengobrol lama di sini, dan yang menyenangkan itu karena keduanya suka dengan citarasa Pindang Musi Rawas. Mbak Lanny orangnya sangat supel dan ramai. Bahkan sebelum kami meninggalkan tempat makan, Mbak Lanny dan Ronron sempat berfoto dengan para pramusaji. Mereka akrab seperti pernah saling kenal sebelumnya. Atau mungkin, para pramusajinya mengira kami awak media yang sedang mengulas kuliner di Palembang. 😀

Bunderan Stadion Jakabaring dan Jembatan Ampera

Malam belumlah begitu larut saat kami mampir di Bunderan Stadion Jakabaring di kawasan Ulu. Bunderan Stadion Jakabaring berupa bunderan kolam, dengan patung daun pohon aren dari alumunium bergaya futuristik, air mancur, rumput dan tanaman hias, serta lampu sorot yang berganti-ganti warna. Bunderan ini baru saja direnovasi untuk menyambut ISG ketiga yang diselengarakan di Palembang. Suasana bunderan ramai dengan warga kota yang datang, serta atlet atau offisial negara luar peserta ISG. Dari kawasan Jakabaring, kami mampir di Jembatan Ampera untuk mengambil foto. Anda tidak perlu bercerita pernah ke Palembang, bila punya foto dengan latar tulisan AMPERA warna hijau pada sebuah jembatan warna merah, kan?

Bunderan Stadion Jakabaring

Bunderan Stadion Jakabaring

Jogging di Taman Kambang Iwak

Pagi hari adalah saat yang tepat untuk menggerakkan badan dan mengisi paru-paru dengan udara segar. Diputuskanlah untuk jogging di Taman Kambang Iwak Besak, tempat biasanya penduduk kota Palembang berolahraga dan bersosialisasi (kata kakak saya yang lulusan arsitektur, taman kota sangatlah diperlukan bagi sebuah kota, agar masyarakat bisa saling kenal dan mencegah konflik horisontal). Taman Kambang Iwak adalah taman yang dibuat mengelilingi kambang (bahasa Plembang, artinya kolam), dengan jogging track dan tempat-tempat bercengkrama. Kolam itu sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari drainase perumahan Talang Semut bikinan Belanda. Di Sabtu pagi itu, Taman Kambang Iwak tidak begitu ramai. Sambil berjalan santai, kami berbincang mengenai kota dan budaya masyarakatnya. Mbak Lanny terlihat mengagumi suasana taman: orang-orang yang senam SKJ, pepohonan yang rindang, termasuk pohon bambu di sebuah kelokan yang tertata rapi.

Museum Sumatera Selatan

Dulunya, Museum Sumatera Selatan bernama Museum Bala Putera Dewa. Museum ini baru saja selesai direnovasi, bagian lobby-nya telah dibuka untuk umum, dengan ukiran relief kehidupan masyarakat Sumatera Selatan, dan lukisan motif bunga matahari pada dinding lainnya.

Ruang display Museum Sumatera Selatan terdiri dari beberapa ruang. Terdapat tiga ruangan besar dengan pembagian per zaman. Ruangan pertama untuk artefak dan fosil di zaman prasejarah. Ruangan kedua untuk masa prasasti dari zaman Sriwijaya (berisi cerita kedatangan Yang Dipertuan Hiyang, doa-doa yang puitis, hingga prasasti berisi kutukan bagi siapa yang berbuat dosa), arca-arca, tulisan dengan aksara Ulu pada bambu dan kulit kayu, kitab undang-undang yang berlaku di masa Kesultanan Palembang Darussalam, hingga senjata pada masa perjuangan kemerdekaan. Ruangan ketiga untuk kehidupan sosial masyarakat Sumatera Selatan, berisi perkakas yang digunakan sehari-hari, berbagai macam songket dan kain tenun, serta pakaian pengantin. Terdapat juga tempat display arca dan patung display di luar ruangan. Oh ya, jangan lupakan dua rumah limas di bagian belakang museum, yang sudah sangat familiar karena tergambar di uang kertas pecahan 10.000 rupiah.

Mbak Lanny bercerita mengenai pengalamannya mengunjungi museum-museum di Jepang, bagaimana di sana kunjungan museum dibuat menarik, seperti menyelesaikan misi, dengan stempel-stempel menarik yang dapat didapatkan pengunjung bila memasuki ruangan dan dapat ditukarkan dengan hadiah di akhir kunjungan. Ide demikian mungkin bisa diterapkan di museum di Indonesia, agar pengunjung (khususnya anak-anak) antusias, yang tentu saja membuat kunjungan museum bukanlah sesuatu yang membosankan lagi.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ruangan display-nya rapi dan nyaman.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ronron dan Mbak Lanny melihat kain songket.

Meseum Sumatera Selatan

Meseum Sumatera Selatan. Rumah Bari, rumah limas khas Palembang, di bagian belakang museum.

 

Hutan Wisata Punti Kayu

Dari Museum Sumatera Selatan, kami mengunjungi Hutan Wisata Punti Kayu. Hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan ini terletak di dalam kota, berisi pohon-pohon cemara, wahana permainan sederhana, dan kebun binatang mini. Kami menikmati suasana hutan kota dengan mengobrol di gazebo sambil menikmati es kelapa muda. Juga berfoto dengan gajah yang dapat dinaiki oleh pengunjung.

Punti Kayu

Punti Kayu. Berfoto bersama gajah. 😀

Mie Celor Pasar 26

Mie celor (bahasa Plembang, celor artinya rebus) adalah mie gemuk-gemuk yang direbus, disajikan dengan siraman kuah gurih, rebusan tauge, dan telur rebus. Kuahnya itu yang biasanya rasanya aneh bagi para pelancong; karena rasanya yang tidak begitu kuat. Seperti Mbak Lanny dan Ronron yang merasa kesulitan untuk mendefinisikan rasa dari mie ini. Tapi percayalah, bila telah lama di Palembang, kita mungkin bisa-bisa menjadi penggemarnya. 😀

Pempek Saga Sudi Mampir

Pempek yang terkenal di luar Palembang ada beberapa, sebut saja Candy, Vico, Nony, dan Beringin, tapi ada satu lagi pempek enak yang jarang sekali disebut. Adalah Pempek Saga Sudi Mampir, yang ada di depan kantor walikota (yang sekarang juga punya outlet baru yang modern di Demang Lebar Daun). Saya sengaja mengajak Mbak Lanny dan Ronron ke sini, agar bisa mencicip pempek yang paling enak di Palembang, menurut saya sih. Mungkin karena pempeknya disajikan selalu hangat. Hanya saja, harga pempek di sini lebih mahal dibandingkan para pesaingnya. Mengenai enaknya pempek ini, sepertinya keduanya setuju, dan belakangan Mbak Lanny memesan beberapa kotak pempek yang dikirim ke Bali dan rumahnya di Jakarta. 😀

Menghadiri Resepsi di Bukit Golf

Tujuan utama kedatangan Mbak Lanny dan Ronron ke Palembang adalah untuk menghadiri pernikahan teman mereka di Palembang. Saya mengantar mereka berdua dan baru menyadari bahwa pengantin laki-lakinya saya kenal namanya dan anak Jurangmangu juga. Ini sebuah kebetulan lagi.

Makan Durian di Rajawali

Setelah acara pernikahan, mobil kami dapat tambahan dua orang tamu. Rencananya kami akan mencari buah durian. Saya menyarankan di Jalan Rajawali, karena pengalaman di sini duriannya bagus-bagus. Sebenarnya ada tempat satu lagi, dengan harga yang lebih murah, yaitu di Pasar Kuto. Tapi karena sudah malam, dipilihlah di Jalan Rajawali saja. Duriannya memang enak-enak, dan kami mengambil beberapa foto yang lucu di antara durian-durian yang digantung pada gerobak.

Pulang

Minggu pagi, tiba saatnya Mbak Lanny dan Ronron untuk pulang ke Jakarta. Saya menyempatkan untuk membeli cindera mata untuk keduanya. Sebenarnya tokonya belum benar-benar dibuka, namun dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin, akhirnya mbak-mbak penjaganya luluh juga (padahal, mbak-mbaknya sebenarnya merasa kasihan :D).

Selama tiga hari mengantarkan mereka berdua, rasanya sebenarnya lumayan capai. Tapi, karena dasarnya saya senang jalan-jalan, tidak begitu terasa jadinya. Apalagi, Mbak Lanny dan Ronron adalah tipe yang bisa merasakan keindahan dan kekhasan kota di balik Kota Palembang yang biasa, seperti teman-teman saya yang pernah datang sebelumnya, pada suasana dan pemandangan kota yang sepertinya biasa.

Mungkin juga karena bukanlah yang paling penting apa yang kita kunjungi, namun dengan siapa kita kunjungi. Seperti halnya bukan apa yang kita makan, tapi dengan siapa kita makan. Ya, begitulah kira-kira.

Palembang, 31 Desember 2013

“Sudah empat tahun di sini, mungkin ini adalah tahun terakhir di kota ini. Harus sudah siap mengangkat ransel dan bertualang lagi”.

Leave a comment