Murai di Ciremai

Saya dan abang saya, Hairil, di puncak Gunung Ciremai

Saya dan abang saya, Hairil, di puncak Gunung Ciremai 3078 mdpl

Burung kecil bernyanyi

Ku tak tahu jenisnya

Tapi, merdu. Merdu sekali

Oh, merdu. Sampai di hati…

(Alami, Slank)

Teman-teman yang telah mendaki Ciremai selalu membawa kisah tentang cuaca ekstrim gunung itu. Tentang hujan derasnya. Tentang suhu dinginnya. Tentang angin kencangnya. Tentang badai yang sering terjadi di sana. Karena Ciremai itu penuh mistis. Kau buang air kecil dengan posisi berdiri maka sebentar kemudian hutan akan berdesau, pepohonan berderak-derak, fauna-fauna hutan terdiam, suasana mencekam, badai datang. Oleh karenanya, janganlah buang air kecil sambil berdiri, seperti nasihat guru ngaji kita. Atau bersikap tidak percaya saja mitos ini—seperti ajaran agama kita— sambil mempersiapkan diri dan segala peralatan yang memadai; suatu keharusan agar selamat saat mendaki gunung.

Saat saya mendaki Gunung Ciremai berdua bersama abang saya—alhamdulillah—badai tidak terjadi. Hujanpun hanya merintik sebentar. Angin kencang hanya sekali berhembus sebelum kami tidur di Camp Pengasinan. Sekali-kalinya angin kencang, suaranya seperti truk yang mendaki tanjakan, bergemuruh. Saya dan abang saya terdiam berpandang-pandangan, menunggu apakah angin itu akan melemparkan Coleman dalam beberapa detik kemudian. Syukurlah, tenda yang kami tempati cukup kuat menahan angin. Kami pun kembali menikmati sup makaroni kami, kemudian keluar sebentar untuk membangunkan anak-anak SMA di sebelah, yang flysheet tendanya terlepas karena angin satu-satunya itu. Tidak satupun dari mereka yang terbangun, jadi kami segera memasang penutup tenda yang lepas itu. Dengan tenda dome yang tipis tanpa lapisan penutup, adalah berbahaya apabila terjadi angin, hujan, atau sekedar embun sekalipun. Batas hidup mati di atas gunung begitu tipis karena seringkali tidak disadari.

Sebelumnya saya pun cemas bila terjadi badai. Untuk perlengkapan tanggap hujan, kami berdua hanya membawa dua jas hujan tanpa bawahan. Frame tenda salah yang kami bawa, tidak pas dan terlalu kencang saat dipasang pada dome. Sepertinya frame yang kami bawa untuk tenda Eiger, sedang tenda yang terbawa adalah Coleman. Inilah bahayanya bila tidak mengecek terlebih dahulu perlengkapan penting ini. Ditambah lagi, flysheet yang terbawa adalah untuk tenda enam orang. Sedang tenda yang kami bawa adalah yang berukuran tiga orang. Jadinya, flysheet itu kedodoran, yang kemudian kami ikat sana-sini agar pas pada tenda. Entah bagaimana bila datang badai.

Belum lagi cerita orang-orang di kaki gunung bahwa beberapa hari ini badai terus terjadi. Mereka pun meramalkan badai akan datang malam ini. Abang saya pun kemudian bilang, “Tenang saja. Gunung susah diprediksi”. Dan akhirnya, sesuailah dengan harapan kami, badai tidak datang, salahlah prediksi orang-orang. Dalam penampilannya yang sangar, abang saya ternyata pandai menjadi penenang yang baik.

Pagi hari, kami segera naik ke puncak. Angin tenang saja berhembus. Matahari bersinar hangat. Indah pemandangannya. Langit cerah. Tiada awan kelabu. Pemandangan alam melampaui lukisan Mooi Indie manapun. Inilah lukisan Sang Pencipta yang pula melukis pelangi. Bila di bumi ada banyak tempat seperti neraka, seperti medan perang di mana-mana, Tuhanpun memperlihatkan sepotong surga di sana. Walau tanpa sungai susu, tanpa anggur, pula tanpa istana hijau bertahtakan berlian; tapi adakah sesuatu yang cacat dari pemandangan Ciremai di pagi hari yang cerah? Sungguh hampir tiada yang invalid, Kawan.

Di puncak Ciremai, tidak puas rasanya memandang keindahan yang terbentang mengelilingi kami. Laut Jawa di terhampar luas tak terlihat ujungnya. Gunung Slamet berdiri kokoh di kejauhan, berwarna biru, dan sangat anggun. Hutan di sekitar seperti permadani hijau, menyejukkan mata. Kawah Ciremai terbentang seperti menyambut para pendaki yang tak luntur semangatnya.

Seekor burung kecil–yang kemudian saya tahu dari abang saya bahwa itulah burung murai—terus berada di dekat-dekat kami hingga ke puncak. Sejak pos Kuburan Kuda, sekitar delapan jam sebelum puncak, burung itu seperti menuntun jalan. Dia selalu terlihat terbang dan hinggap di dahan-dahan di depan kami berjalan. Di puncak gunung, dia mendekat, melompat-lompat malu-malu, seperti ingin berkenalan, namun tidak tahu caranya untuk berkenalan dengan manusia. Atau sebaliknya, justru kamilah yang tidak mengerti bahwa itulah cara berkenalan bangsa burung. Maafkan kami.

Murai di Ciremai

Murai di Ciremai, sepertinya ingin kenalan. Sejak Pos Kuburan Kuda, dia selalu berada di depan kami.

Kami kembali turun lewat jalur Linggajati lagi, mengejar waktu karena besoknya abang saya harus segera ke Jogjakarta dan saya mesti kembali ke Jakarta. Ini sebuah pendakian yang sangat berkesan. Perencanaannya singkat, berangkat Jumat sore; sambil hunting foto di Monas dan sholat Magrib di Istiqlal, menumpang bus jurusan Purwokerto, diturunkan tengah malam di tengah-tengah tol di Cirebon, menunggu semalaman elf jurusan Kuningan di terminal, mulai mendaki jam 7.30 pagi hari Sabtu dan kembali turun Ahad jam 10.30 pagi.

Saya sangat bersyukur bisa mendaki berdua. Kegemaran kami sama, namun baru dua kali kami mendaki bersama. Pertama kali saat mendaki Penanggungan saat saya berkunjung ke Malang, tempat abang saya kuliah sarjananya. Sebagai balasan, saya mengajak untuk mendaki Ciremai saat dia berkunjung ke tempat saya. Sembilan tahun, kami berpisah kota untuk masing-masing mengejar cita-cita. Susah dan lelah memang; karena tiadalah cita-cita di dunia ini yang gampang diraih. Namun saya tetap meyakinkan diri; suatu waktu cita-cita pun akan lelah dan menyerahkan dirinya untuk ditangkap. Seperti kuda, kambing, ayam, atau burung pipit yang tertempel getah pohon Kerara yang kami kejar-kejar di masa kecil dan tertangkap karena lelah. Mengejar cita-cita hanyalah urusan siapa yang paling lelah dan menyerah, antara pengejar cita-cita dan cita-citanya.

Posko Stapala, 12 Januari 2009

“Perjalanan bisa mendekatkan hati…”

anak-anak Hiparaca. Di gunung, siapapun bisa menjadi teman.

Bergambar dengan tetangga sebelah tenda: anak-anak Hiparaca. Di gunung, siapapun bisa menjadi teman.

hiatus tak lama

Dua bulan lebih saya tidak posting di blog ini; juga tidak di blog mana-mana. Semata-mata akibat perubahan rutinitas yang membuat saya merasa malas untuk menulis di sini. Entah hubungannya apa. Yang jelas, baru sekarang saya punya segala faktor yang mendukung saya untuk meng-update Catatan Kecil ini.

Selama dua bulan belakangan, jadwal saya sedikit teratur. Mandi jam segini, tidur jam segini, makan jam segini, naik kereta api listrik jam segini. Tidak carut marut seperti dulu. Mungkin itu pula yang mebuat saya tidak sempat menulis. Biasanya saya menulis di tengah malam buta, dan jadwal itu sekarang tidak ada.

Dua bulan belakangan saya magang di sebuah instansi pemerintah yang kantornya di depan gedung MPR. Masuk jam 7.30 dan pulang lebih jam lima sore. Terkadang pula lembur dan menginap di kantor. Kalau menyalahi jadwal, maka mesin pemindai tangan di sana akan menganggap saya sebagai manusia pemalas, tidak punya dedikasi, dan pantas dipotong penghasilannya sekian persen per hari per telat.

Sejak jadwal saya berubah, saya menjadi gampang sekali tidur. Sesampai di kos di daerah Jurang Mangu—atau bolehlah disebut Bintaro agar terdengar keren, padahal kos saya di dalam kampung—saya lebih memilih untuk tidur. Selepas jam delapan-sembilan malam saya lebih senang tidur. Ini agar saya tidak begitu lelah saat mengejar kereta pagi-pagi. Kereta Ciujung, Sudirman Ekspress, Depok Ekspress turun d i Palmerah, KRL, dan KRD, jadwalnya relatif tepat. Jadinya, saya mesti menyesuaikan jadwal mandi lebih pagi dibandingkan saat kuliah dulu agar tidak ketinggalan kereta.

Saya masih ada utang di sini. Banyak komentar yang tidak terbalas. Juga tentang award yang mungkin sekarang sudah tidak berjaman lagi. Tapi award itu diberi tiga bulan yang lalu, harusnya saya pasang karena itu adalah hadiah. Sekaranglah saya pasang. Tidak apa-apa sudah kuno, dari pada tidak sama sekali. Terima kasih, Mbak Putri. Rasa-rasanya tidak pantas blog ini mendapat award dari Mbak. Makanya, saya bingung untuk memilih siapa yang harus saya berikan kembali. Blog-blog yang saya kunjungi bagus-bagus sangat; tidak pantas rasanya saya yang memberikan award. Apalah rasa gengsinya mendapat award dari sini. Oh ya, sekali lagi, terima kasih Mbak Putri.

butterfly_award1

Kalibata, 27 Januari 2009, 14.00 WIB

Akhirnya bisa posting lagi. Senang rasanya. Seperti rindu yang terlepaskan. Seperti kasih yang tersampaikan.