akhirnya tidak salah datang

Saya sempat berpikir mbak-mbak tetangga kost kami mungkin punya nama yang lain. Mbak tetangga kost kami itu namanya Ayu, tapi kenapa di karangan bunga namanya Titi?

Saya tidak enak bila tidak datang di acara resepsi hari itu. Soalnya, Mbak Ayu dan ibunya itu baik sekali sama kami, Yoga dan saya. Dulu, sering sekali kami dibagi makanan dan kue-kue. (Kami kadang-kadang saja membantu memasangkan lampu di plafon rumah) Bahkan, undangannya pun diantarkan langsung ke kantor kami oleh beliau berdua. Tentunya, bila tidak ada halangan, kami harus datang.

Saya masih bingung, jadinya saya perhatikan lamat-lamat layar LCD yang di luar ruangan utama Gedung Dharma Wanita itu. Make up memang bisa membuat orang pangling, tapi wajah pengantinnya terlihat beda sekali. Mungkin saya telat datang dan ini acara pernikahan orang berbeda. Mana amplopnya sudah saya masukkan pula. Juga tidak ada es krim. Jadinya saya pulang saja.

Siang itu panas sekali dan saya naik angkot. Sebelumnya, saya jalan beberapa ratus meter karena angkotnya tidak lewat jalan itu. Sial. Perut lapar dan tidak ada ojek yang lewat.

Tiba di kantor saya segera memeriksa undangan yang tergeletak di atas meja. Hari itu tanggal 8 Mei, dan tanggal yang tertulis di undangan itu 15 Mei. Pantas saja pengantinnya beda!

***

15 Mei kemarin akhirnya saya tidak salah datang. Ada es puter di sana. Juga, tentu saja siang itu saya makan. Saya bertemu teman kuliah, dan saya sempat pangling.

Prabumulih, 18 Mei 2010, baru tiba tadi pagi

“Minggu-minggu ini suhu di Palembang panas nian…”

bekerja adalah ibadah (copas)

Bismillahirrohmaanirrohiim,,

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan” (At-Taubah: 105)

Sahabatku, kita sering mengira orang yang ahli agama, ahli ibadah adalah orang yang paling banyak shalat sunnahnya, banyak puasanya, atau rajin tilawahnya. Betul memang, hal itu adalah sebagian dari ciri-ciri orang yang ahli ibadah. Namun orang yang giat bekerja, tekun dalam mencari nafkah untuk keluarga, jujur dalam berusaha, jarang kita masukkan sebagai ciri dari orang yang ahli ibadah. Padahal, sifat-sifat tersebut juga harus dipunyai oleh seorang muslim yang baik.

Negara kita, yang mayoritas muslim, masih jauh tertinggal dari Negara lain dalam memiliki sifat-sifat teladan seperti ini. Penduduk kita masih dicap sebagai penduduk yang pemalas, tidak disiplin, suka mementingkan kepentingan pribadi, dan tidak mau bekerja keras. Mereka hanya memberlakukan agama sebagai aktifitas rutin saja, ya sholat, ya puasa Romadhon, namun tidak menjadikan agama Islam sebagai jalan hidup di dunia. Kadang sudah haji, namun tetap saja masih korupsi.

Sahabat, kita harus bekerja. Agar pekerjaan kita memiliki nilai ibadah, sudah selayaknya kita mengetahui kriterianya agar kita tidak salah dalam bekerja dan berusaha. Kriteria itu adalah motivasi bekerja, cara kerja, bidang kerja dan hasil kerja.

Kriteria yang pertama, motivasi bekerja. Sebagaimana hadist pertama dalam Arbain Nawawi, niat adalah hal yang penting. Niat karena mencari ridho Alloh semata.

Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa; pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiha mereka menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja keras membelah kayu bakar. Dan para sahahat pun berkomentar: “Celakalah pemuda itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk Sabilillah (jalan Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian berkata demikian. Sesungguhnya bila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (mengemis), maka ia berarti dalam Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari nafkah serta mencukupi kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka iapun dalam Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermnegah-megahan serta hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan setan)”.

Kriteria yang kedua, cara kerja. Setelah niat, maka kita harus bekerja dengan baik, dengan professional (itqan). Bukan asal jadi, tidak tepat waktu dan hanya menyuruh orang lain. Seseorang yang bekerja dengan baik, akan memperoleh hasil yang baik pula. Agar bekerja bernilai ibadah, maka orang itu harus mempunyai keterampilan yang memadai. Kita lihat misalnya Nabi Syuaib dan Nabi Musa. Nabi Musa melamar kepada orang kaya (Nabi Syuaib), lalu anak orang kaya itu mengatakan: “Jadikanlah dia orang yang bekerja kepada kita, karena ia orang yang kuat dan dapat dipercaya”.

Dalam Al-Quran surat Al-Qashas ayat 26, mengenai permohonan Nabi Yusuf dapat disimak dalam ayat ini, berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (negara Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” Cara melamar seperti itu, apabila ditanyakan kepada kita, katakan: “Saya bisa” kalau sekarang memakai persyaratan formal, maksudnya untuk menjajaki kemampuan pelamar tersebut. Dalam sebuah hadits tegas sekali Rasulullah saw. Mengatakan: “Bila sesuatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Kriteria yang ketiga, bidang kerja. Islam tidak pernah membeda-bedakan pekerjaan itu halus atau kasar, pekerjaan otot atau pekerjaan otak. Yang penting, halal dan memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan. Diriwayatkan dulu Nabi pernah berjabat tangan lalu mencium tangan Saad bin Muadz, seorang yang pekerjaannya memecah batu, dan mengatakan “Inilah dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala!”.

Dalam sebuah hadist juga dikatakan, Nabi bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak. (HR. Bukhari & Muslim).

Kriteria yang keempat, hasil kerja. Apapun pekerjaan kita, harus menghasilkan sesuatu yang bermafaat bagi sesama, untuk kesejahteraan, karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Nabi juga pernah menyolatkan seorang wanita yang pekerjaannya adalah membersihkan masjid. Disebutkan dalam satu hadist: Ada seorang perempuan yang senantiasa menyapu masjid, kemudian mati. Nabi SAW lalu menanyakan tentang perem­puan itu. Dijawab bahwa dia telah wafat. Nabi bersabda: “Mengapa kalian tidak mem­beritahukannya kepadaku?” Maka beliau mendatangi kubu­rannya lalu mensalatkannya. (HR. Asy-Syaikhani, Abu Daud, dan Ibn Majah). Meski hanya membersihkan masjid, tapi dengannya orang bisa sholat dan mengaji dengan tenang. Hasil pekerjaannya amatlah berguna bagi banyak orang.

Sahabat, dengan keempat kriteria di atas, maka insya Alloh pekerjaan yang kita geluti selama ini menjadi amal ibadah, setiap ayunan langkah dihitung sebagai dzikir dan setiap tulisan tangan menjadi penambah pahala bagi kita semua. Semoga pekerjaan kita yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Alloh akan selalu berada di atas rel kebenaran dan kebajikan dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, bukan hanya untuk diri kita, tapi juga keluarga, agama dan Negara kita. Janganlah sekalipun menghalalkan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang haram tempatnya adalah neraka.

Wallahu a’lam.

Disarikan dari khutbah Jum’at di Masjid Telkom Pettarani, 25 Februari 2011.

Senin yang dingin di ruangan, 9 Mei 2011, Demang Lebar Daun

“Diambil dari catatan kawan saya Nurudin Hanif di FB. Kenal beberapa orang yang namanya Hanif dan semuanya pendiam”.