Berkemah di Pantai Tanjung Kalian, Bangka

Saya sengaja merebahkan diri di atas pasir pantai. Di atas adalah langit malam yang begitu cerah seluas pandangan. Bimasakti melintang di langit, putih terang seperti kabut. Cahaya lampu dari Mercusuar Tanjung Kelian secara berkala menyapu cakrawala. Suara debur ombak dan desau angin pantai membuat malam semakin tenteram.

Sejak tadi pagi (24/8/2013), kami menjejakkan kaki di bagian barat pulau timah itu. Kami datang dari Palembang, berangkat pukul tujuh tiga puluh, dan menempuh dua setengah jam perjalanan dengan menggunakan jetfoil Sumber Bangka 7. Tidak banyak hal menarik selama perjalanan menyusuri Sungai Musi hingga jetfoil membelah Selat Bangka. Kecuali bila kita bisa menikmati pemandangannya; karena Sungai Musi itu sendiri, deretan rumah-rumah panggung tepi sungai, rawa-rawa, dan di suatu tempat di mana ada puluhan anak-anak berenang di sisi jetfoil yang senang sekali bila dilempar uang kertas. Kau harus mencoba menyusuri Musi sekali waktu.

Kami begitu penasaran dengan mercusuar yang putih tinggi menjulang tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Kelian. Bangunan itu jelas buatan di masa kolonial, terlihat cantik. Apalagi bila definisi cantikmu adalah putih dan tinggi semampai (itu manusia apa tiang masjid ya? :D). Kata Pak Supri, penjaga mercusuar, pengunjung bisa menaiki tangga sampai ke pucuk mercusuar. Tarifnya tidak mahal, Rp5000,00 saja per orang. Kami tentu saja tidak melewatkan itu.

Mercusuar Tanjung Kalian

Mercusuar Tanjung Kalian

Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa leluasa memandang sekitar. Pemandangan Selat Bangka, ujung-ujung pantai bagian barat, garis pantai di selatan, hingga wilayah perkotaan di sebelah utara, sejauh mata bisa memandang.

Pemandangan dari atas mercusuar

Pemandangan dari atas mercusuar

Ngobrol sama Pak Supri

Ngobrol sama Pak Supri

Setelah dari mercusuar, lapar mendera sehingga kami mencari warung makan untuk makan siang. Sebelumnya, Pak Supri menyarankan kami untuk menggunakan travel, bila ingin jalan-jalan ke Muntok atau ke Bukit Menumbing. Sambil menyantap makan siang di depan pelabuhan, yang pemilik warungnya adalah orang Palembang (dan punya tato Slank di lengan kanannya :D), kami menunggu datangnya mobil travel. Sempat kami dan supir travel berselisih paham,  karena tentu saja kami baru akan setuju bila tarif dan rutenya cocok, sedangkan dia menganggap kami sudah setuju dari awal. Akhirnya, asal idak jadi bae, kami sepakat dengan tarif Rp250.000,00 dengan minibus Daihatsu Xenia di luar bensin, untuk mengantar kami ke Bukit Menumbing. Harga yang cukup sepadan kami rasa, mengingat kami rombongan berlima.

Bukit Menumbing adalah tempat bersejarah di mana Soekarno, Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S. Suryadarma, Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Agus Salim, pernah diasingkan. Perjalanan ke Menumbing tidaklah lama, sekitar 45 menit, namun setelah Muntok, mobil akan melewati jalur sempit, berliku, yang kiri-kanannya hutan. Di suatu ketinggian, kami berhenti di sebuah shelter yang dari tempat itu, kami bisa melihat pemandangan Muntok dan kawasan pantai dari atas.

Di puncak Bukit Menumbing terdapat Wisma Menumbing tempat para pejuang bangsa tinggal selama pengasingan. Udara di wisma terasa dingin, berasa sekali karena kami baru datang dari kawasan pantai. Bangunan wisma masih terlihat bagus dan terawat. Di dalam wisma, kita bisa melihat mobil Ford BN 10 peninggalan Bung Karno, perabotan yang masih asli (termasuk kursi dan meja kerja sang presiden), foto-foto berbingkai, dan tulisan-tulisan penjelasan sejarah. Oh ya, kami sangat beruntung, karena penjaga mengijinkan kami memasuki kamar tidur Bung Karno dan Bung Hatta. Di dalamnya terdapat dua tempat tidur sederhana, meja kecil, peci yang digantung, serta sejadah yang dilipat rapi.

Wisma Menumbing

Wisma Menumbing

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Setelah dari Bukit Menumbing, Pak Supir mengantar kami ke Pantai Tanjung Ular. Pantai itu berupa teluk dengan beberapa perahu nelayan bersandar,yang terlihat lebih indah dari Pantai Tanjung Kelian; dengan airnya yang jernih, pasirnya putih berbutir besar-besar, dan batu-batu karang. Kami hanya sebentar saja di sana, sejenak melihat suasananya, dan mengambil beberapa gambar.

Dari Pantai Tanjung Ular kami kembali ke Muntok. Di tengah perjalanan, kami mampir di Batu Balai, sebuah struktur batu yang unik, seperti ada yang sengaja menyusunnya. Di tengah susunan batu, terdapat ruangan kecil yang terlihat sisa taburan bunga dan wadah untuk membakar kemenyan. Sepertinya, tempat itu biasa digunakan orang untuk bertapa.

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! :D

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! 😀

Muntok adalah kota kecil yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat. Muntok terlihat rapi, hijau, dan bersih. Di Muntok terdapat beberapa tempat yang kami kunjungi, misalnya monumen  Soekarno Hatta, Wisma Ranggam (tempat pengasingan juga, namun di Muntok), Masjid Jami’,  dan Klenteng Kung Fuk Min. Masjid dan klenteng berdiri berdampingan, mungkin untuk menggambarkan toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat Bangka.

Monumen Soekarno-Hatta

Monumen Soekarno-Hatta

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami'

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami’

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Wisma Ranggam.  Kali ini Cecep jadi model.

Wisma Ranggam. Kali ini Cecep jadi model gendum.

Sebelum kembali ke Tanjung Kalian, kami juga diantar berkeliling di komplek PN Timah, suasananya seperti perumahan Pertamina atau komplek Pusri di Palembang. Menuju Tanjung Kalian, kami melewati jalur yang berbeda, kawasan pantai sebelas selatan. Bangka benar-benar kaya dengan pantai.

Sekembali ke Tanjung Kelian, kami bersantai di tepi pantai sambil menikmati es kelapa muda (es dogan, sebutan warga setempat, sama seperti di Palembang) dan dua piring otak-otak ikan. Mendekati waktu matahari terbenam, kami menyusuri pantai, mencari tempat yang bagus untuk menangkap momen matahari tercelup ke dalam air laut. Pantau terlihat ramai dengan orang-orang yang bercengkrama dengan teman-teman atau keluarganya. Farid dan Cecep membawa kamera DSLR, keduanya memang gemar fotografi, dan sibuk menangkap gambar yang terbaik. Saya juga mencoba mengabadikan gambar dengan kamera poket saya, yang tentu saja hasilnya tidak bagus :D.  Jadi saja, akhirnya saya memilih duduk memeluk lutut, memandang matahari yang berwarna oranye, seperti orang patah hati.

Menunggu Sunset

Menunggu sunset

Menjelang malam, kami segera mendirikan tenda dome, di bawah pohon cemara, tidak jauh dari mercusuar. Beberapa dari kami ke tempat Pak Supri untuk meminjam toilet dan salat magrib. Setelah tenda berdiri, kami membeli nasi putih dan mie instan (jauh-jauh ke sini, makan mie instan :'(), makanan yang tersisa di warung makan depan pelabuhan. Kami membawa kompor gas kecil dan nesting, jadi bisa digunakan untuk memasak. Rencananya sih malamnya mau bakar ikan, tapi tadi sore kami tidak menemukan tempat orang menjual ikan. Jadinya rencana bakar dan makan ikan segar tinggal menjadi mimpi saja.

Masak seadanya :D

Masak seadanya 😀

Tapi tidak mengapa, setidaknya kami bisa menikmati pemandangan dan suasana pantai di saat malam, sambil mengobrol dan minum kopi buatan sendiri. Di daerah asal kami masing-masing, memang tidaklah sulit mendapatkan suasana sebagus itu. Tapi di Palembang, tempat kami bekerja, ceritanya lain lagi. Selain karena sangat jarang menemukan suatu malam yang langitnya bersih (akibat polusi udara dan polusi cahaya), juga kami jarang sekali menyempatkan diri memandang alam sekitar. Pekerjaan kadang kala membuat manusia menjadi mesin: hanya mengenal rutinitas tidur, berangkat ke kantor, balik ke kost setelah langit gelap, main video game, dan tidur lagi. Seperti tidak merasa bosan.

Sampai dengan pukul 12 malam, Pantai Tanjung Kalian tidaklah benar-benar sepi. Masih ada orang-orang yang menghabiskan waktu untuk memancing ikan sepanjang pantai. Di dekat kami mendirikan tenda, malah ada sekeluarga dengan dua anak kecilnya, menggelar tikar menunggu mata kail disambar ikan. Saya sempat berbicara dengan seorang pemancing dan dia menyebutkan nama ikan yang dia dapatkan malam itu.

Setelah tidur malam dengan nyenyak karena capek, pagi-pagi sekali kami bangun dan membereskan tenda. Tujuan kami adalah melihat matahari terbit. Kami berjalan di sisi sebelah pelabuhan, dan duduk sabar menunggu matahari muncul. Rasanya beruntung, bisa melihat sunset dan sunrise dalam perjalanan singkat kami.

Kami kembali lagi ke mercusuar, untuk mandi dan persiapan kembali ke Palembang. Saya menyempatkan diri untuk berenang di pantai. Airnya tidaklah sebening kristal, tapi cukup bersih. Segar sekali rasanya berenang di waktu pagi hari yang cerah, dengan sinar matahari yang masih hangat.

Kami segera membeli tiket jetfoil dan sarapan, tentu saja di warung depan pelabuhan. Oh ya, di hari itu, ada acara tapak tilas Bung Karno. Salah satu acaranya adalah pawai dengan berjalan kaki dari Muntok ke Tanjung Kalaian, dengan pakaian dan penampilan orang di masa perjuangan kemerdekaan. Di setiap kelompok pawai selalu ada peserta yang berpenampilan ala Soekarno, beberapa lainnya mengucir kepang rambutnya dan membawa rantang atau perlengkapan lain, dan setiap kelompok membawa bendera PNI. Mereka terlihat sangat menghayati perannya.

Rombongan "Bung Karno"

Rombongan “Bung Karno”

Jetfoil berangkat pukul 11.00, kembali membelah Selat Bangka dan menyusuri Sungai Musi menuju Palembang. Perjalanan ini memang terlalu singkat, rasanya sayang sekali hanya semalam. Tapi, kami beruntung bisa mengunjungi beberapa tempat wisata; Pantai Tanjung Kalian, Wisma Menumbing, Pantai Tanjung Ular, Batu Balai, Masjid Jami’, Klenteng Kung Fuk Min, Wisma Ranggam, dan melihat suasana Muntok. Itu tidak lepas dari kebaikan pak supir travel. Sepanjang jalan dia bercerita banyak tentang Bangka; tentang tempat wisata, sejarah, dan kehidupan masyarakatnya, seperti pemandu wisata. Terima kasih banyak untuknya.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

MP Mangkunegara Palembang, 15 Oktober 2013

“Selama ada teman yang bisa diajak bertualang, merantau tak ubahnya jalan-jalan :)”.

Beberapa informasi lainnya, mungkin berguna bila ingin ke Muntok:

  1. Penyedia angkutan jetfoil Palembang-Bangka ada dua, yaitu Sumber Bangka dan Bahari Ekspress.  Pelayanan keduanya relatif sama, dengan tarif Rp195.000,00 s.d Rp220.000,00. Untuk yang ingin kenyamanan, baiknya tidak memilih kelas ekonomi, karena duduknya di bagian buritan yang tidak berdinding dan bangkunya tidak ada senderan kepala. Jetfoil berangkat jam 07.00 pagi dari Palembang, dan jam 11.00 siang dari Bangka, dengan perjalanan 2,5 jam. Tiket bisa dibeli di kantor pemasarannya, atau bisa langsung ke Pelabuhan Boom Baru atau Pelabuhan Tanjung Kalian. Datanglah setidaknya jam enam pagi, takutnya tiketnya habis.
  2. Tarif sewa travel selama 24 jam di Muntok rata-rata Rp250.000,00 di luar bensin dan supir. Jasa supir sekitar Rp150.000,00 sehari. Bagusnya kita berkunjung ramai-ramai, jadi bisa menghemat biaya.
  3. Kami kurang mengerti tentang penginapan di Muntok. Tapi kabarnya, beberapa kamar Wisma Menumbing akan diubah menjadi penginapan.
  4. Untuk berkeliling Muntok mungkin cukup sehari, tapi bila ingin melihat Bangka, setidaknya butuh tiga hari. Pantai-pantai yang indah di Bangka adanya di Sungai Liat, sekitar tiga jam dari Muntok.
  5. Bila ingin berkemah di Pantai Tanjung Kalian, sebaiknya memberitahukan para penjaga mercusuar, dan tidak mendirikan tenda terlalu jauh dari mercuruar, dengan pertimbangan keamanan.