Film Laskar Pelangi

“Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya” (Pak Harfan, Laskar Pelangi)

Bila boleh memberi pendapat tentang film Laskar Pelangi, bisalah diwakili dengan satu kata, ditambah satu tanda seru: bagus! Film garapan Riri Riza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser) ini tidaklah mengecewakan; setidaknya menurut saya dan kawan-kawan yang menonton tadi malam. Saya rasa, penonton dan pembaca novel Laskar Pelangi yang lainpun berpendapat demikian. Penonton dapat dibuat tertawa saat melihat tingkah polah tokoh-tokohnya yang kocak, dan terdiam ketika menyaksikan kesedihan dan kata-kata bijak di sana.

Settingnya mengambil suasana Belitong di tahun 1974, 1979, dan 1999. Suasananya benar-benar dibikin retro; mobil-mobil dan truk keluaran jaman itu, dandanan ala orang-orang jaman itu, bahkan lagu latarnya ada yang diambil dari lagunya Rhoma Irama jaman itu. Kita bisa melihat suasana pertambangan timah yang sedang jaya-jayanya, dengan mesin-mesin besar, material tambang yang menggunung, anak-anak Laskar Pelangi yang bekerja sambilan sebagai buruh tambang, dan plang tulisan—tentu saja—Dilarang Masuk Bagi Yang Tidak Memiliki Hak. Juga suasana PN Timah setelah kolaps, dengan mobil-mobil yang teronggok berkarat, dan gedung-gedung yang tertinggal reruntuhannya saja.

Satu hal yang tidak hilang dan menjadi ciri khas novelnya, adalah kekuatan bahasa dan dialog para tokohnya. Misalnya, di awal-awal, kita dibuat tertawa saat Kucai—sang ketua kelas tak tergantikan—mengadu kepada Ibu Muslimah, “Ibunda Guru, bagaimanalah aku bisa bertahan? Kelakuan anak-anak tu macam setan!” Atau ketika Pak Harfan bercerita tentang perahu Nabi Nuh, Ikal berbisik kepada Samson, “Bila kau tak rajin sholat, baiknya kau pintar-pintar berenang. Tidak berguna kau punya otot besar macam tu”.

Bila melihat anak-anak Laskar Pelangi, tokoh yang paling kocak tentu saja si Mahar. Tingkah polah dan gaya bicaranya yang bebas dan sok dewasa membuat dia menonjol dibanding tokoh-tokoh lain. “Mungkin Tuk Bayan Tula bisa membantu masalahmu… Masalahmu dan A Ling…”, ajakannya ini membuat Ikal tidak kuasa menolak untuk bertemu dengan seorang dukun di pulau terpencil itu. Tapi, selain Mahar, tokoh yang lainpun cukup hidup–kecuali Trapani dan Syahdan yang nyaris sebagai pemeran figuran. Lintang yang pikirannya begitu matang di usianya yang masih sangat muda. Flo yang baik hati namun menggemari kebathinan. Harun yang memberi warna tersendiri, yang kadang menenangkan kawan-kawannya. A Kiong yang bertampang lucu. Serta Ikal sendiri, yang hatinya berbunga-bunga tak terkira saat melihat wajah A Ling pertama kali.

Tokoh lain, Pak Harfan dan Ibu Muslimah, benar-benar luar biasa. Kedua pejuang ini mengabdikan hidupnya untuk pendidikan yang tentu saja tidak memberikan keuntungan materi kepada mereka. Pak Harfan yang berprinsip bahwa sekolahnya bukanlah sekolah yang menjadikan pendidikan agama sebagai pelajaran tambahan; karena pelajaran agama adalah yang utama. Bahwa kecerdasan murid tidaklah diukur dengan materi dan angka-angka semata. Bahwa kecerdasan itu sesungguhnya ada di hati. Juga Ibu Muslimah yang keihklasannya patutlah menjadi tauladan, “Aku bercita-cita menjadi guru. Bukan menjadi istri seorang saudagar”.

Secara keseluruhan, film ini bagus dan cocok masuk ke dalam daftar yang layak ditonton. Ada tentang perjuangan guru-guru luar biasa yang tidak mengajarkan materi melainkan dengan hati, ada tentang semangat dan persaudaraan anak-anak miskin Belitong, ada tentang pendidikan, cinta, bahkan tentang ketimpangan sosial dan eksploitasi alam. Bila selama ini semangat sedang menurun dan harapan begitu samar, baiknya kita menyimak perkataan Ikal saat kembali bertemu Lintang, “Aku ke sini ingin berterima kasih kepada kalian semua. Aku akan ke Sorbonne!”

Posko Stapala, Jumat 26 September 2008, 15:34
“Menonton bareng Laskar Pelangi Pendaki: Pak Dosko, Kadal, Udik, Gobog, Uhe, Mas Tompy dan Mbak Endah (ini suami-istri yang inspiratif) cukup menghibur diri yang terpaksa tidak mudik karena kampung halaman yang kejauhan…”