grandong ke palembang

Grandong (821/SPA/2007), kawan kami anak Solok itu datang ke Palembang. Ada diklat prajabatan selama seminggu di sini. Tapi karena saya kebetulan tidak bisa menjemput, jadilah Bantal yang menjemput dia yang sebenarnya sudah tiba di depan kantor kami. Sementara diantar di kost kami dulu. Istirahat dari penat perjalanan menggunakan travel Solok-Palembang.

Saat istirahat siang, saya menghampiri Grandong di kost. Hampir-hampir saya tidak kenal dia, karena rambutnya dicukur setengah-satu sentimeter. Calon pegawai negeri sipil yang akan ikut prajab memang harus dicukur cepak. Tidak bisa tidak.

Malam harinya, saya mengajak Grandong jalan-jalan melihat-lihat kota Palembang. Kemudian kami mampir di depan Kantor Walikota Palembang. Di sana ada warung pempek yang katanya paling enak sedunia. Sebab, konon di sanalah pempek paling enak se-Palembang. Pempek paling enak sedunia kan di Palembang, kan? Dan benar, pempeknya benar enak. Tapi sayangnya, agak mahal. Namun setidaknya bagus juga pemandangan di sana: Kantor Walikota yang berhias lampu-lampu menyorot dinding gedung dari bawah. Terang benderang di tengah gelap langit malam.

Malam itu Grandong yang bayar. Sombong betul dia tidak mau dibayari. Mentang-mentang mau prajab dan mau terima rapelan. Mentang-mentang baru dicukur botak juga.

Besoknya, Grandong diantar Marley. Mau lihat-lihat sudut-sudut Palembang katanya. Mau sholat di Masjid Agung.  Dan sorenya, kami menaiki Marley ke Balai Diklat Depkeu di Sukarami. Saya belum ke sana dan Grandong pikir saya sudah ke sana. Jadinya, kami sempat tersasar lebih dahulu. Kasihan Grandong, lumayan juga berat koper itu dipangku di atas sepeda motor. Syukurlah ada bapak-bapak juru ojek—yang memang selalu ada di mana-mana—memberi petunjuk jalan. Kami pun sampai ke tujuan. Tanpa kurang satu apapun. Sehat wal afiat.

Beberapa hari kemudian, menjelang Grandong kembali ke Solok, dia mesti mencicipi makanan asli Sumatera Selatan: pindang. Katanya, dia dan kawan-kawan angkatannya yang diklat di Palembang sudah mencicipi beberapa makanan asli Palembang. Yang paling berkesan saat makan Martabak Har. Tidak cocok di lidah, kata mereka. Padahal, setahu saya, walau belum pernah mencoba, Martabak Har adalah makanan yang lezat. Demikian juga kata Bantal yang pernah makan Martabak Har.

Mungkin belum terbiasa. Dulu, awal-awal ke Palembang juga, saya agak aneh dengan makanan semacam tekwan dan model. Dua makanan ini adalah semacam pempek namun diberi kuah kaldu. Aneh betul rasanya saat pertama kali mencobanya. Saya senyum-senyum getir saat ditanya enak apa tidak. Tidak enak hati bila bilang tidak enak. Tapi lama-lama dan sering-sering, jadi terasa enak juga. Sekarang, kalau makan tekwan atau model, saya suka kuahnya banyak-banyak. Tambahkan jeruk agar mengurangi aroma kaldu dan imbangi asamnya jeruk dengan kecap manis. Cobalah.

Jadilah kami makan pindang di RM Pindang Musi Rawas di Angkatan 45. Kemudian pulang. Besok pagi-pagi sekali, Grandong harus ke bandara. Travel bisa dipesan lewat telepon, dan besok pagi-pagi sekali sudah akan dijemput di depan kantor kami.

Di luar kebiasaan di posko dulu, pagi-pagi sekali Grandong sudah bangun. Mungkin sekitar jam empat. Kaget saya. Katanya, sudah jadi kebiasaan diklat prajab. Harus bangun pagi-lagi benar. Marvelous!

Selamat jalan, Grandong. Semoga dapat penempatan yang bagus. Dapat di Praya, seperti yang kau inginkan. Semoga bisa bertemu lagi; kalau tidak di Jakarta, mungkin di Pulau Lombok. Ya, karena Kota Praya ada di sana.

Kota Lubuklinggau, 28 Agustus 2010, 22:29 WIB

“Grandong nama aslinya Ren. Entah siapa yang beri nama dia Grandong”.