Alhamdulillah, setelah bertahan selama tiga tahun, saya diwisuda juga. Walaupun ini adalah hal biasa di mana-mana; tapi senang saja rasanya. Diwisuda artinya saya lulus kuliah. Siapa pula orang di dunia ini yang tidak senang bila lulus kuliah?
Lagipula, wisuda kemarin sedikit istimewa. Sebabnya, selain Ibu Sri Mulyani Indrawati, hadir juga Haryono Umar, wakil ketua KPK yang juga alumnus STAN 1981. Dia datang mewakili institusi KPK; sebuah lembaga yang ditakuti para koruptor Indonesia dan selalu bisa merekam pembicaraan telepon kapan saja.
Ibu Menteri menyampaikan ceramah-nasihatnya yang menarik didengar. Ada kata-kata pedas—khas dia—juga kata-kata yang memberi semangat dan harapan untuk kami yang diwisuda. Tentang kasus hangat aparat departemennya yang tertangkap KPK, yang katanya, ”Sungguh memalukan”. Candaannya tentang kampus Jurangmangu yang fisiknya jelek bukan main, sampai pernah dilihatnya kambing berkeliaran di depan perpustakaan. Juga tentang harapannya pada kami semua, ”Kalian adalah bagian dari solusi Indonesia”. Pelan-pelan saya simak kata-katanya; mencoba mencernanya dalam hati dan pikiran saya.
Sedang Bapak Haryono Umar datang untuk menyampaikan orasi ilmiah tentang korupsi. Korupsi, satu kata yang sering menjadi streotip sebagian orang untuk kampus saya. Juga untuk lulusannya. Tapi, tidak mengapa sebenarnya. Lulusan kampus ini juga tidak sedikit yang mampu bersikap jujur dan berintegritas, di instansi pemerintah tempat mereka ditugaskan; juga di tempat lain di mana mereka dibutuhkan.
Setelah berupa-rupa kata sambutan, ceramah, atau orasi namanya; tibalah seorang kawan maju ke depan. Dia—dengan suara lantang—membacakan semacam ikrar atau janji atau pakta tentang integritas anti korupsi. Sebuah peristiwa sederhana namun bersejarah. Ini adalah pertama kalinya janji anti-korupsi dilakukan oleh wisudawan universitas di Indonesia. Saya tentu saja ikut mengucapkannya—dengan ucapan, hati, dan pikiran saya. Saya percaya; dengan mengucapkannya, saya telah memiliki niat baik di hati saya.
Sebelum naik di panggung untuk diwisuda, juga ada semacam janji tertulis yang harus ditandatangani. Apalah beratnya menandatanganinya; sama seperti mengucapkannya. Nanti; saat menghadapai situasi kondisi secara nyata dan sebenar-benarnya; di situlah baru terasa beratnya.
Tapi, tidak usahlah terlalu dipikirkan. Lagi pula yang terpenting adalah perbuatan, bukan semata pikiran. Santai saja. Sambil menunggu acara selesai, lebih asyik becanda dengan kawan-kawan di barisan belakang. Mengejek kawan-kawan yang urutannya di belakang-belakang, yang bernomor urut besar, padahal nomor urut saya juga besar. Atau diejek kawan-kawan yang punya nomor urut kecil. Termasuk juga ikut memberikan aplaus meriah bagi wisudawan paling belakang. Di wisuda STAN, tepuk tangan untuk wisudawan terbaik dan terakhir hampir sama meriahnya. Jadi, ada dua cara agar kamu bisa terkenal; jadi wisudawan terbaik, atau wisudawan terakhir.
Kembali tentang saya yang akhirnya jadi alumnus juga; sangat terasa ini anugerah luar biasa. Saya dulu sempat tidak semangat kuliah di akuntansi. Tapi, tentu saja saya harus bertanggung jawab. Pada ortu, juga tentunya kepada Dia Yang Maha Pemurah yang telah memberi waktu, kesehatan, dan segala kebaikan. Tidaklah buruk, setelah dijalani akhirnya terbiasa juga. Saya lulus. Pakai predikat “sangat memuaskan” pula, biarpun IPK tidak seberapa. Sekarang ingin rasanya segera berlari; karena saya percaya ada mimpi yang menunggu di sana; untuk dikejar, tidak menunggu lama.
Rabu, 15 Oktober 2008
“Selamat untuk STAN 2005 yang baru saja diwisuda. Bilapun menapakkan kaki nanti di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Bali, Papua, ataupun Belanda, janganlah lupa atas ikrar yang telah diucapkan kepada negeri ini–Indonesia yang indah ini.”