Vespa

Saat itu beberapa bulan yang lalu, saat saya berencana memiliki sebuah vespa bermesin 2 langkah. Dari mencari di situs jual beli online dan menyesuaikan dengan anggaran, sampailah saya harus menelpon seorang penjual di Bandung. Mudah-mudahan, bila jadi, saya bisa mengambilnya sekalian menghadiri pernikahan teman di Palembang dulu, yang menikah di kota kembang itu.

Saya       : Kang, benar yang jual Corsa?

Penjual : Iya, Kang, benar.

Saya       : Eng, masih ada Corsa-nya?

Penjual  : Ah, maaf, Kang. Sudah kejual. Tapi memang belum saya hapus iklannya.

Saya       : Wah, belum rejeki saya berarti. Iya dah, Kang. Nuhun…

Penjual : Iya, Kang, nuhun. Maaf sudah dilepas duluan…

Saya       : Eh iya, dilepas ke mana?

Penjual : Diambil sama orang Jakarta.

Saya seperti mendengar suara dan logat tokoh di FTV, yang berlatar kawasan kebun teh, atau di suatu tempat di dataran Priangan, atau bila settingnya di kota Bandung. 😀

Corsa yang kami maksud adalah salah satu model Piaggio Vespa bermesin 2 langkah dan transmisi otomatis. Vespa ini diedarkan di Indonesia, sekitar tahun 1991 sampai dengan 2006. Tidak banyak yang tahu, bahwa Vespa adalah pelopor sepeda motor matic, bertahun-tahun sebelum skuter keluaran Korea dan Jepang datang dengan mesin tanpa gigi manual itu.

Mencari motor lama, termasuk Vespa lama, kata orang itu, seperti jodoh-jodohan. Pernyataan ini sebenarnya bisa didebatkan, karena saya pikir, ini bisa saja hanya agar hobby sepeda motor lama terdengar sebagai hal yang hebat dan ekslusif. Agar terkesan: tidak semua orang bisa, tergantung bertemu atau tidak dengan jodoh tadi.

Tapi, bisa jadi memang benar adanya. Vespa bisa saja dianggap sebagai perempuan, karena desainnya yang cantik, selama apapun tahun pembuatannya (dan sudah lazim, bila pemilik Vespa menamakan skuternya dengan nama perempuan). Mendapatkannya juga susah-susah gampang. Zaman dulu juga lebih sulit lagi, karena harus dibeli tunai, tidak ada kredit untuk Vespa. Zaman sekarang, peminatnya banyak. Kalau tidak punya budget cukup, jangan harap bisa mendapatkan vespa yang masih (atau sudah) rapi penampilan, mesin, dan kelistrikannya, serta lengkap dan legal surat-suratnya.

Dan lagi, mencari Vespa juga harus siap-siap merelakannya lepas ke tangan orang lain. Mau bagaimana lagi, belum tentu Vespa tersebut bisa kita rawat dengan baik. Mungkin, dan mudah-mudahan, orang yang mendapatkannya lebih bisa merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi kejadian tak beruntung itu tidak akan membuat kita menjadi iri hati berlebih-lebihan. Vespa tetaplah vespa, dengan kecantikannya dan segala keunggulan yang ada padanya: desain yang aman bagi pengendara dan mesin yang bandel, serta dengan kekurangannya yang harus diterima semua penggemar Vespa.

***

Suatu Sabtu siang, saya tiba di Bandung, dengan menumpang travel dari Jakarta dan dilanjutkan dengan taksi, yang saya dapatkan di sekitar jalan yang saya lupa namanya. Saya jadi datang untuk menghadiri pernikahan teman di kota itu, dan hal lainnya yang tidak terkait dengan acara pernikahan itu: memastikan suatu hal tetap baik-baik saja, semakin bahagia, dan segalanya berjalan sesuai dengan rencananya.

Di tengah Bandung yang macet karena akhir pekan, supirnya bercerita beberapa hal: tentang Bandung yang sudah terlalu ramai, mobil Jakarta yang banyak datang sejak tol dibuka (karena zaman dulu, pelesiran ke Bandung itu asyik. Orang-orang naik kereta api ke Bandung, tidak bawa kendaraan, dan di Bandung akan naik angkutan umum atau jalan kaki), kawasan Pecinan di Bandung, dan kebanggaan warga Bandung karena mempunyai seseorang yang bernama Ridwan Kamil.

Saya menimpali percakapannya dengan beberapa pertanyaan dan pendapat tidak penting, sekedar mengalirkan pembicaraan, oleh sebab penat yang masih ikut karena menyetir bersama kawan dari Sumbawa ke Lombok sehari sebelumnya. Misalnya, pertanyaan: apa di Bandung ada preman? (Pertanyaan yang aneh, memangnya ini Palembang? Hehe)

***

Rencana mengambil Vespa tentu saja tidak jadi. Tapi saya bertemu teman-teman dari Palembang, dan bertemu Huda alias Bantal! Mungkin ini namanya jodoh, padahal kami tidak janjian. Saya berterima kasih padanya karena menemani seharian dan memberi jempol ke saya secara sembunyi-sembunyi, meski dengan isyarat saya bilang padanya: Vespanya sudah diambil orang…

 

Pagi hari di Grogol, 17 Desember 2015

“Saya semakin kurus sekarang, apalagi sejak Kiki ke Sambas. Yah, biasa, bujang tidak ada yang urus. Hehe”.

Mencoba Buku Sket Baru

Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang

Buku sket saya yang ukuran A5 hilang. Saya berulang kali ke toko buku Gramedia untuk mencari, semoga ada stok buku sket dengan kertas Canson ukuran yang sama. Karena belum ada, saya coba cari di internet, kalau-kalau ada yang menjual buku sket yang bagus. Ketemu, pembuatnya ada di Jogja, Riphy Sketchbook. Saya lalu memesan buku sket dengan kertas Canson 300 gsm ukuran A5 dan dengan kertas hawai ukuran 100 x 190 mm.

Karena bukunya tiba hari Sabtu, saya jemput paketnya di kantor pos. Ternyata, kantor pos hanya terlihat sepi di luar saja, tapi di bagian dalamnya begitu sibuk. Beberapa petugas sibuk memilah-milah tumpukan paket dan menaruhnya di lemari-lemari kayu atau kantung-kantung besar. Seorang Bapak menanyakan dengan bersahabat apa gerangan maksud saya datang. Tidak butuh waktu lama, paket itu ditemukan, dan saya takjub dengan ringan tangannya beliau.

Sebenarnya saya tidak mengerti dengan kertas apa yang terbaik untuk menggambar. Dari artikel di internet yang saya baca, kertas terbaik itu tergantung siapa yang menggambar, mana kertas yang dia rasa paling cocok. Contohnya, Lapin, dia menggambar dengan kertas buku akunting. Gambarnya jangan ditanya bagusnya.

Dari beberapa referensi di internet, kertas yang bagus salah satunya adalah Canson. Buku sket saya yang hilang itu kertasnya bermerek Canson dengan berat 110 gsm. Kertas ini bagus, bersih, halus, dan tidak mengelupas bila menggunakan cat air. Namun, mungkin karena tipis, tinta pena gambar akan merembes, bila goresan pena berhenti sebentar di satu titik. Cat air juga bisa tembus karena memang tidak untuk jenis pewarna itu.

Kata penjual buku sket yang saya pesan, kertas Canson 300 gsm Watercolor adalah yang paling bagus untuk pena gambar dan cat air. Setelah saya coba, saya mesti setuju dengan pendapatnya ini. Awalnya saya sedikit terkejut dengan tebalnya, tapi kinerja kertasnya bisa diandalkan. Tinta pena gambar tidak merembes dan cat air menyerap dengan baik. Bahkan saya coba membuat gambar dengan cat air pada dua sisi di selembar kertasnya, warnanya tidak tembus. Ya, buku sketnya patut menjadi rekomendasi.

Oh ya, saya mulai menggambar tanpa menggunakan pensil sekarang dan langsung menggunakan pena gambar. Sebenarnya, pada beberapa sket saya pernah langsung menggunakan pena gambar, tapi khusus bila waktunya tidak banyak (karena bila menggunakan pensil dan pena, meskipun lebih rapi, namun lebih lama). Nah, saya mencoba konsisten untuk langsung menggunakan pena. Dengan langsung menggunakan pena, kita dipaksa jujur atas goresan yang telah kita buat.

Lama-lama, saya jadi menemukan kesamaan antara akuntansi dan sketching, sama-sama tidak boleh menggunakan pensil! 😀

Palembang, 11 Maret 2014

“Padahal kan laki-laki susah bila harus jujur :D”

Sketching Masjid Agung Palembang

Sketching Masjid Agung Palembang

Sketching Masjid Agung Palembang Sumsel

Sketching Masjid Agung Palembang Sumsel

Rumah Kapitan

Rumah Kapitan, Palembang

Rumah Kapitan, Palembang

Lokasinya di kawasan 7 Ulu, tidak begitu jauh dari Jembatan Ampera. Rumah kapitan adalah rumah kediaman pemimpin orang-orang  Tionghoa yang mulai mendiami Palembang di masa lalu. Dulunya, kawasan 7 Ulu bisa dibilang sebagai kawasan pecinan di Palembang. Namun sekarang, peninggalan yang bernuansa Cina di sana tidak banyak. Yang tersesisa salah satunya adalah rumah kapitan itu, yang terdiri dari dua rumah besar memanjang, satu berupa rumah panggung kayu, dan satunya berupa rumah berdinding bata tebal. Keduanya sekarang berfungsi rumah kediaman keturunan sang kapitan dan rumah untuk menyimpan abu leluhur.

Bangunan rumah kapitan bergaya campuran Eropa, Cina, dan Palembang.  Dinding dan tiang-tiangnya tebal dengan atap limas khas Palembang.

Saya beberapa kali ke sana. Sehari setelah Imlek tahun ini, saya berkunjung kembali. Di salah satu rumah, terlihat beberapa gadis remaja yang sedang berlatih tari tradisional. Sedang di halamannya, anak-anak yang lebih kecil tampak ramai bermain. Saya mengisi waktu dengan membuat sket salah satu rumah. Dan biasa, anak-anak kecil itu datang mengerubuti. Anak-anak kecil memang selalu tertarik dengan orang yang sedang menggambar, seperti laron yang tertarik dengan cahaya lampu teplok. 🙂

Saya sempat berbincang dengan seorang keturunan India yang sedang mengunjungi adiknya yang tinggal di sekitar rumah kapitan. Juga beberapa orang beretnis Tionghoa yang datang berziarah di rumah itu. Palembang yang merupakan kota pelabuhan sungai memang didiami oleh etnis yang beragam.

Sket yang saya bikin ini dibuat dengan pensil terlebih dahulu. Sebenarnya cara seperti ini tidak populer, karena tidak jujur atas garis-garis yang mungkin salah dibuat. Men-sket seharusnya tidak takut atas kesalahan itu. Lagipula, membuat sket dengan pensil terlebih dahulu seperti  bekerja dua kali, karena goresan pensil akan ditimpa lagi dengan tinta pena.

Palembang, 11 Maret 2014

“Anak-anak kecil di situ juga seperti terheran-heran melihat Ivon. Mereka bahkan bilang, semisal: “Napo motornyo cak itu, Kak?”, atau,”Cak motor Mister Bin”, dan tertawa-tawa saat Ivon tak langsung menyala meski disela tiga-empat kali. Dasar anak-anak.”

Rumah Kapitan, Palembang

Rumah Kapitan, Palembang

Pagar Alam

“Pagar Alam”

Seorang ibu yang sedang menanam padi

Di punggungnya tidur nyenyaknya seorang bayi

Wajahnya bulat menggemaskan

Dibelit kain batik panjang

Seperti kepompong di dahan pohon

 

Aku berjalan di pematang,

                                             memandang keduanya

Dan damai mengalir lembut,

                                             menentramkan dada

—Palembang , Maret 2013

Kau bisa membayangkan, bagaimana sebuah kota telah familiar denganmu, kau temui di saat malam menyelimutinya. Ketika jalanan telah sepi dan cahaya lampu jalan membuat ruang untuk mata memandang. Apakah memang selalu begitu, setiap kota yang telah kita singgahi selalu memberi kesan tertentu. Kadang saya bertanya, apakah di alam setelah mati, adakah sepotong tempat di dunia ditempatkan di sana? Ya, seandainya, bila rindu dengan suatu tempat di dunia: sebuah rumah semasa kecil, atau kota tempat mencari nafkah, atau taman tempat lari pagi, adakah kita bisa melepaskan rasa rindu dengan memandang atau merasakan suasananya di alam sana? (Namun dunia adalah air yang membasahi ujung jari, jelas kita tidak akan merindukannya bila berenang di samudera).

Saat menuju Gunung Dempo beberapa pekan yang lalu, saya tiba saat lewat tengah malam di Pagar Alam. Pagar Alam sebuah kota yang saya rasa yang paling indah di Sumatera Selatan. Pusat kotanya sebenarnya kecil saja dan tidak terlalu rapi. Namun, udaranya sejuk dan pemandangan alamnya bagus.  Di sana kita bisa menemukan sungai untuk berarung jeram, air terjun, jurang-jurang yang dalam, hutan yang masih perawan, lahan yang ditanam sayur mayur, persawahan hijau, kebun-kebun kopi dan teh, rumah-rumah panggung tua, beberapa peninggalan megalit, dan tentu saja, Gunung Dempo sebagai latarnya.

Saya pernah melewati pematang di beberapa persawahannya dan menyusuri jalan dengan kiri kanan kebun kopi serta lembah. Pemandangannya bagus. Ya, saya akan melampirkan beberapa foto agar kita bisa lihat sama-sama. 🙂

Suatu hari, saya sampai di sebuah kampung kecil di sebelah timur Gunung Dempo. Tempatnya benar-benar damai. Ada seorang petani yang tinggal dengan istri dan anaknya yang masih balita, serta beberapa ekor anjing, di sebuah rumah panggung kecil. Halaman rumahnya di tanami palawija dan sayur mayur serta terdapat beberapa kolam ikan lele. Katanya, dia akan pergi ke kota sekali sepekan untuk menjual hasil taninya itu.

Bila sempat di akhir pekan, saya berlari pagi menuju taman kotanya. Di sana hanya berkeliling sebentar, melihat masyarakat kotanya, mendengar mereka berbincang dengan bahasa Besemah, dan berbicara dengan penjual keliling. Dan sehabis berolah raga, siap-siaplah berhadapan dengan air dingin yang menusuk tulang saat mandi. Tapi, lama-lama, bisa terbiasa juga. Bila tidak mandi, justru dinginnya udara lebih terasa.

Suatu hari, saat meninggalkan Pagar Alam menuju Palembang, mobil yang kami tumpangi tidak sengaja melindas seekor kucing. Dengan rasa sangat bersalah, bapak yang menyopiri kami menepikan mobil dan menghampiri kucing yang tergeletak malang. Si bapak segera membuka baju yang dikenakannya, digunakan untuk membungkus kucing tersebut, dan menitipkan kepada seorang ibu di tepi jalan untuk dikuburkan. Ada kepercayaan orang Besemah, bila menabrak hewan dan meninggalkannya begitu saja, akan ada kecelakaan yang akan mereka alami nantinya. Saya mengesampingkan pembuktian untuk hal ini, namun kearifan lokal seperti itu mungkin untuk mengajarkan kita agar menyayangi dan bisa berlaku adil kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.

Dan bila sekali waktu sempat ke Pagar Alam, cobalah pempek kulit kuah model di dekat Simpang Telaga Biru, fettucini carbonara di Warung Tenda Chef Dadang, masakan cina di dekat Simpang Manna, pindang kerupuk di Karjak, atau ikan bumbu kuning di depan Karjak. Rasa adalah relatif dan saya bukan pemuja makanan yang bisa memberi nilai sebuah masakan, namun sebuah tempat selalu memiliki makanan khas di tempat itu. Cobalah, untuk mencicipi rasanya dan mengenal cita rasa masyarakatnya.

Prabumulih, Sumatera Selatan, 29 Januari 2014, 22:30 WIB

“Meski lumayan lama di Pagar Alam dan objek sketching sangat banyak, tapi tidak sempat. Ya, biasa saya, sok sibuk. Gantinya, ini beberapa foto yang sempat saya ambil di sana. Beberapa foto akan menyusul :)”.

Pagar Alam. Sepotong pemadangan kota dengan latar Gunung Dempo.

Pagar Alam. Sepotong pemadangan kota dengan latar Gunung Dempo.

Pagar Alam. Kebun teh di Gunung Dempo.

Pagar Alam. Kebun teh di Gunung Dempo.

Pagar Alam. Air Terjun Mangkok.

Pagar Alam. Air Terjun Mangkok.

Pagar Alam. Sebuah rumah panggung tradisional orang Pagar Alam.

Pagar Alam. Sebuah rumah panggung tradisional orang Pagar Alam.

Pagar Alam. Gubug petani kopi. Didiami oleh petani untuk menjaga tanaman kopi yang akan dipanen.

Pagar Alam. Gubug petani kopi. Didiami oleh petani untuk menjaga tanaman kopi yang akan dipanen. Setelah panen, gubug-gubug ini biasanya tidak didiami lagi.

Dari Dompu ke Dempo

Gunung Dempo, dari Pabrik PTPN 7

Gunung Dempo, dari Pabrik PTPN 7

Bagi saya, naik gunung adalah sebuah rekreasi. Seperti halnya pergi ke pantai atau ke taman. Gunung adalah di mana kita melihat pemandangan alam, menghirup segarnya udara, menyegarkan pikiran yang sedang suntuk, dan mendapat teman. Pikiran bahwa naik gunung adalah menaklukkan gunung selalu saya singkirkan dari kepala. Kita naik gunung, bukan pergi berkelahi. Lagipula, bagaimana mungkin manusia bisa menaklukkan gunung? Sedangkan selama ini, betapa kita sering merasa tak berdaya apabila gunung berapi aktif sebentar saja, mengeluarkan lava dan abunya serta menggetarkan wilayah sekitar dengan dentumannya, memaksa manusia mengungsi menjauh dari rumah dan harta benda yang mereka miliki.

Libur Natal tahun ini saya manfaatkan untuk mendaki Gunung Dempo di Pagar Alam, Sumatera Selatan, dari ajakan ketiga teman: Erwin, Evan, dan Asep. Erwin adalah junior saya di Stapala, tapi bila pengalaman naik gunung, saya tentu saja kalah dengan dia, dengan 20 puncak gunung yang sudah dia daki (dan ini adalah pendakian Dempo ketiga). Evan dan Asep bukanlah dari organisasi pegiat alam, bahkan Asep baru kali ini mendaki gunung. Namun, Evan sudah beberapa kali naik gunung sebelumnya dan dia merasa ketagihan. Sedangkan Asep, dia anak Bea Cukai, jadi jangan remehkan fisik dan mentalnya.

Kami berangkat ke Pagar Alam Kamis malam jam 19.00 WIB dengan menaiki travel Sinar Dempo. Di rumah makan Bintang Sumatera di Prabumulih, kami mampir untuk makan, dan di sinilah tas selempang saya berisi kamera saku, cokelat untuk selama pendakian, pisau survival, dan alat sketch tertinggal. Saya berusaha agar kehilangan mereka tidak mempengaruhi mood mendaki kali ini. Benda paling berharga dalam rupiah adalah kamera saku, tapi masih ada kamera 2 MP dari ponsel cupu saya untuk mengabadikan momen selama pendakian nanti. 😀

Kami tiba sekitar jam 03.30 WIB di pabrik teh PTPN 7 di Gunung Dempo. Kami akan kulo nuwun dengan Pak Anton, penjaga Gunung Dempo.  Sebelumnya, kami tidur sampai subuh di posko belakang rumah Pak Anton dan di masjid PTPN. Paginya, Pak Anton menelepon truk teh untuk mengantar kami bersama beberapa rombongan lainnya (anak-anak UMP dan mapala FT Unsri Layo) ke Tangsi 4, perkampungan kecil tempat titik awal pendakian.

Erwin bilang, Pak Anton punya versi lain sejarah kerajaan Sriwijaya. Erwin sempat memancing agar kapan-kapan Pak Anton mau bercerita lagi tentang itu. Sial, beliau bilang, “Ah, wawancara kan mahal”, sambil terkekeh jual mahal. Sejak rombongan mereka melihat siluet penari dengan pakaian kerajaan mengelilingi tenda mereka di Puncak Gunung Kerinci, Erwin tertarik dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Ah, saya akan ke Pagar Alam lagi untuk mengorek informasi penting itu. Mungkin dengan membawakan madu Sumbawa, Pak Anton akan berbaik hati menceritakannya lagi.

Perjalanan dari pabrik PTPN 7 sampai dengan Tangsi 4 ditempuh kira-kira 45 menit, dengan melewati perkebunan teh. Kami packing ulang di warung Pak RT (yang akrab dipanggil ayah dan emak untuk istrinya) mengurangi beberapa alat dan logistik yang bisa ditinggal, sarapan, dan memesan nasi bungkus untuk makan siang di perjalanan. Kami berempat akan mendaki bersama lima orang mahasiswa UMP (kampus S1 saya nih! :D), hingga rombongan kami berjumlah sembilan orang.

Memasuki Pintu Rimba Gunung Dempo

Memasuki Pintu Rimba Gunung Dempo

Rombongan kami mulai mendaki jam 10.00 WIB, tiba di Shelter 1 jam 12.00, dan Shelter 2 jam 15.00. Jalur Gunung Dempo bisa dikatakan cukup berat, karena terus mendaki, sedikit sekali jalan mendatar, dan keadaan jalur yang basah serta licin. Apalagi di shelter 2 hujan turun dengan sangat deras. Empat orang anak UMP dalam rombongan baru saja mendaki gunung, hingga perjalanan tidak bisa dipaksa cepat. Sebenarnya yang sedikit bikin kami geleng-geleng kepala adalah, persiapan alat mereka yang sangat minim. Tenda yang mereka bawa adalah tenda untuk anak-anak yang bergambar kartun (yang tiang-tiangnya tertinggal pula sebelum shelter 2 :tepok jidat:), raincoat yang berbahan mirip plastik kresek yang gampang rusak, dan mereka tidak membawa matras serta sleeping bag. Bagaimana bisa mereka berani naik gunung di musim hujan dengan alat seperti itu? :jedotin jidat:

Shelter 1 Gunung Dempo

Shelter 1 Gunung Dempo

Kami sampai puncak Dempo jam 19.30 WIB dan sampai di pelataran (lembah antara Puncak Dempo dan Puncak Merapi) setengah jam setelahnya. Kami segera mendirikan tenda serta memasak minuman hangat dan makan malam. Menu malam itu adalah nasi, sayur sop, mie instan, dan sarden. Menjelang tidur, Erwin mengajak saya untuk memperbaiki tenda anak-anak UMP dan memasangkan flysheet, sambil terus berdoa agar tidak turun hujan malam itu. Dua orang dari mereka kami ajak untuk tidur di tenda kami.

Pagi harinya, tiga orang yang tidur di tenda kartun itu ternyata sehat wal afiat! 😀 Kami segera membersihkan alat masak dan segera membuat sarapan. Kami memasak nasi, menggoreng pempek yang dibawa dari Palembang, membuat omelet, tempe dan dendeng goreng, serta kentang tumbuk (sarapan berenergi yang sebenarnya  cocok di gunung, karena gampang dibuat dari kentang, susu cair, keju, garam, dan bubuk merica)

Sarapan

Sarapan

Sekitar jam 10.00 WIB, rombongan kami mendaki Puncak Merapi. Cukup setengah jam hiking dari Pelataran. Jalur berupa tumbuhan kayu yang pendek di awal pendakian dan bebatuan. Puncak Merapi berupa kawah dengan air yang berwarna hijau (warnanya konon berubah-rubah, antara hijau dan putih). Kami merasa takjub atas pemandangan kawah dan tidak lupa mengambil gambar. Teman seperjalanan kami, anak-anak UMP bertenda kartun, terlihat sangat gembira karena pendakian mereka sukses sampai ke puncak, seperti tidak percaya atas apa yang mereka alami. Selamat ya, Bro. 😀

Kabut beberapa kali menutupi kawah, sehingga kesempatan mengambil gambar harus cepat-cepat dimanfaatkan. Oh ya, di sini, mengusir kabut dilakukan dengan cara melantunkan azan, tentu saja ini sifatnya percaya atau tidak.

Kawah Puncak Merapi, Gunung Dempo

Kawah Puncak Merapi, Gunung Dempo

Pelataran Gunung Dempo

Pelataran Gunung Dempo, lereng seberang adalah Puncak Merapi

Kami berkemas dan mulai turun jam 13.00 WIB dan tiba di shelter 2 jam 15.00 WIB. Di Shelter 2 inilah saya berpisah dengan rombongan, karena ingin mengejar waktu ke Palembang. Setidaknya saya harus tiba di tangsi 4 jam 18.00 WIB, agar bisa menelepon travel dan bisa dijemput jam 20.00 WIB. Besoknya ada seminar di kampus dan ini sangat penting. Jadi, dari shelter 2 saya mempercepat langkah dan sering berlari menuruni gunung. Syukurlah, bisa tiba jam 17.30 di Tangsi 4.

Saya beristirahat sebentar, memesan kopi, dan berbincang dengan anak-anak mapala FT Unsri. Mereka sangat ramah, sesama pendaki gunung memang selalu begitu (seperti halnya saat bertemu di jalur pendakian, di mana para pendaki saling menyapa). Dari Tangsi 4 saya naik ojek ke pabrik PTPN 7, tempat menunggu travel. Saya ingin pamitan dengan Pak Anton, tapi tidak bertemu dengannya. Tapi di posko, karena waktu itu saya pakai kaos Anniv 114-nya Milan, saya disapa dan mengobrol dengan seorang Milanisti dari Bengkulu. Kesamaan kegemaran, bahkan sekedar tim bola, memang bisa membuatmu akrab, meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya.

Akhirnya sampai juga keinginan naik Gunung Dempo. Tidak terbayang sebelumnya bila jalur Gunung Dempo semenantang itu, dan lebih tidak terbayang lagi adalah Puncak Merapi-nya yang ternyata bagus. Ini yang membuat pendaki manapun akan ingin kembali ke sana lagi. Ya, sampai jumpa di lain waktu, Dempo.

Terima kasih banyak untuk Erwin yang menjadi leader pendakian kali ini, mengkoordinir teman-teman, dan mempersiapkan pelbagai macam yang diperlukan. Juga Evan yang kocak dan Asep yang pendiam, rekan sepanjang perjalanan, kapan kita mendaki lagi?

Palembang, 31 Desember 2013

“Kabar baiknya, tas selempang saya tidak jadi hilang. Adalah seorang pelayan rumah makan yang menemukannya dan mengembalikan ke sopir travel. Terima kasih banyak untuknya”.

Enjoy Palembang

Dari segi pariwisata, Palembang sebenarnya termasuk kota yang tidak begitu istimewa. Ini dengan penilaian sederhana, seperti dari jumlah dan macam objek wisata. Wisata keindahan alam tidak banyak di sini, misalnya bila menghitung Pulau Kemaro, Sungai Musi, dan taman Punti Kayu. Bukit Siguntang, Taman Kambang Iwak, dan Taman Purbakala juga bolehlah dimasukkan dalam daftar ini. Selebihnya, ada beberapa objek wisata sejarah, seperti Museum Balaputera Dewa (yang sekarang berubah nama menjadi Museum Sumatera Selatan), Museum dr AK Gani, Museum Tekstil, Benteng Kuto Besak dengan bangunan-bangunan tua di sekitarnya: monpera, rumah burgemeester (walikota) Palembang yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, gedung waterleideng yang sekarang digunakan sebagai kantor walikota, gedung societiet, serta gedung schouburg (keduanya menjadi balai prajurit dan kantor Satpol PP). Selain itu, tentu saja ada Jembatan Ampera sebagai landmark kota (jembatan dan Sungai Musi-nya yang bagi saya selalu indah, meskipun ratusan kali saya lihat).

Bagi penduduk lokal, wisata Palembang adalah wisata belanja. Saban akhir pekan, maka mal-mal ramai sekali dipenuhi pengunjung dari kota Palembang sendiri, juga dari kota-kota lain di Sumatera Selatan. Warga kota dan wisatawan memang tidak punya banyak pilihan tempat dan macam wisata di kota ini, lebih-lebih yang kurang menyukai wisata alam dan wisata sejarah yang ada. Tapi, hal baiknya, Palembang sudah terkenal dengan wisata kuliner. Pempek, makanan terkenal ini, serta beberapa turunannya, sangat mudah sekali ditemukan di kota ini. Di mata saya yang perantau, warga Palembang sangatlah menggemari makanan khas mereka sendiri. Mereka makan pempek nyaris setiap hari, hampir-hampir seperti makan nasi!

Jadi, saat Ronron, teman saya di Stapala, datang ke Palembang kira-kira dua bulan yang lalu bersama seorang teman untuk menghadiri pernikahan teman mereka, saya sampaikan terlebih dahulu bahwa Palembang adalah kota yang biasa. Takutnya di bawah ekspektasi temannya itu (kalau anak Stapala yang memang suka ngebolang sih, saya tidak ambil pusing). Tapi dia bilang, temannya suka traveling dan suka dengan hal-hal tentang budaya dan sejarah. Oke, aman.

Dan setelah bertemu mereka, saya menyadari betapa serba kebetulan hubungan kami bertiga. Ini of the record karena kalau dijelaskan bisa jadi panjang. Tapi ujungnya, kami punya minat dan pandangan yang sama mengenai, misalnya, Sungai Musi sangat indah di malam hari.

Saya masih menyelesaikan pekerjaan di kantor sampai sore, jadi di malam hari baru bisa menjemput Ronron dan Mbak Lanny. Di hari pertama mereka datang, siang hari mereka sampai, langsung mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan pergi ke Pulau Kemaro. Dasar traveler. :geleng-geleng

Beberapa tempat yang kami kunjungi, saya buatkan pointer saja, adalah sebagai berikut (aidah, serasa bahasa laporan).

Martabak HAR di depan Masjid Agung

HAR adalah akronim dari nama pemilik usaha martabak india ini, yang didirikan di sekitar tahun 1930-an. Martabak HAR berupa martabak yang berisi dua buah telur ayam atau telur bebek (bisa dipilih), disajikan dengan kuah kari kentang, dan potongan cabai keriting dalam kecap asin. Tidak semua orang setulu’an (bahasa Plembang, artinya cocok) dengan rasa martabak ini. Tapi, kalau ke Palembang, makanan ini wajib dicoba.

Pindang Musi Rawas di Angkatan 45

Pindang di pulau Jawa adalah ikan yang diungkep dalam periuk atau kuali dan biasanya digoreng kembali bila ingin disajikan sebagai lauk. Tapi di Sumatera Selatan, pindang adalah semacam sop ikan. Ikan yang dijadikan pindang seperti ikan patin, ikan baung, ikan gabus salai, dan ikan semah. Tapi tidak saja ikan yang dijadikan bahan utama, bisa juga daging, udang, ayam, burung (seperti di Jejawi), dan bahkan di sebuah lesehan di Kota Pagar Alam, ada pindang kerupuk. Pindang rasanya asem pedas. Di Sumatera Selatan, ada beberapa pindang yang terkenal seperti pindang Sekanak, pindang Pegagan, pindang Meranjat, pindang Rupit, dan pindang Musi Rawas, yang dinamakan seperti nama daerah asalnya.

Kami mengobrol lama di sini, dan yang menyenangkan itu karena keduanya suka dengan citarasa Pindang Musi Rawas. Mbak Lanny orangnya sangat supel dan ramai. Bahkan sebelum kami meninggalkan tempat makan, Mbak Lanny dan Ronron sempat berfoto dengan para pramusaji. Mereka akrab seperti pernah saling kenal sebelumnya. Atau mungkin, para pramusajinya mengira kami awak media yang sedang mengulas kuliner di Palembang. 😀

Bunderan Stadion Jakabaring dan Jembatan Ampera

Malam belumlah begitu larut saat kami mampir di Bunderan Stadion Jakabaring di kawasan Ulu. Bunderan Stadion Jakabaring berupa bunderan kolam, dengan patung daun pohon aren dari alumunium bergaya futuristik, air mancur, rumput dan tanaman hias, serta lampu sorot yang berganti-ganti warna. Bunderan ini baru saja direnovasi untuk menyambut ISG ketiga yang diselengarakan di Palembang. Suasana bunderan ramai dengan warga kota yang datang, serta atlet atau offisial negara luar peserta ISG. Dari kawasan Jakabaring, kami mampir di Jembatan Ampera untuk mengambil foto. Anda tidak perlu bercerita pernah ke Palembang, bila punya foto dengan latar tulisan AMPERA warna hijau pada sebuah jembatan warna merah, kan?

Bunderan Stadion Jakabaring

Bunderan Stadion Jakabaring

Jogging di Taman Kambang Iwak

Pagi hari adalah saat yang tepat untuk menggerakkan badan dan mengisi paru-paru dengan udara segar. Diputuskanlah untuk jogging di Taman Kambang Iwak Besak, tempat biasanya penduduk kota Palembang berolahraga dan bersosialisasi (kata kakak saya yang lulusan arsitektur, taman kota sangatlah diperlukan bagi sebuah kota, agar masyarakat bisa saling kenal dan mencegah konflik horisontal). Taman Kambang Iwak adalah taman yang dibuat mengelilingi kambang (bahasa Plembang, artinya kolam), dengan jogging track dan tempat-tempat bercengkrama. Kolam itu sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari drainase perumahan Talang Semut bikinan Belanda. Di Sabtu pagi itu, Taman Kambang Iwak tidak begitu ramai. Sambil berjalan santai, kami berbincang mengenai kota dan budaya masyarakatnya. Mbak Lanny terlihat mengagumi suasana taman: orang-orang yang senam SKJ, pepohonan yang rindang, termasuk pohon bambu di sebuah kelokan yang tertata rapi.

Museum Sumatera Selatan

Dulunya, Museum Sumatera Selatan bernama Museum Bala Putera Dewa. Museum ini baru saja selesai direnovasi, bagian lobby-nya telah dibuka untuk umum, dengan ukiran relief kehidupan masyarakat Sumatera Selatan, dan lukisan motif bunga matahari pada dinding lainnya.

Ruang display Museum Sumatera Selatan terdiri dari beberapa ruang. Terdapat tiga ruangan besar dengan pembagian per zaman. Ruangan pertama untuk artefak dan fosil di zaman prasejarah. Ruangan kedua untuk masa prasasti dari zaman Sriwijaya (berisi cerita kedatangan Yang Dipertuan Hiyang, doa-doa yang puitis, hingga prasasti berisi kutukan bagi siapa yang berbuat dosa), arca-arca, tulisan dengan aksara Ulu pada bambu dan kulit kayu, kitab undang-undang yang berlaku di masa Kesultanan Palembang Darussalam, hingga senjata pada masa perjuangan kemerdekaan. Ruangan ketiga untuk kehidupan sosial masyarakat Sumatera Selatan, berisi perkakas yang digunakan sehari-hari, berbagai macam songket dan kain tenun, serta pakaian pengantin. Terdapat juga tempat display arca dan patung display di luar ruangan. Oh ya, jangan lupakan dua rumah limas di bagian belakang museum, yang sudah sangat familiar karena tergambar di uang kertas pecahan 10.000 rupiah.

Mbak Lanny bercerita mengenai pengalamannya mengunjungi museum-museum di Jepang, bagaimana di sana kunjungan museum dibuat menarik, seperti menyelesaikan misi, dengan stempel-stempel menarik yang dapat didapatkan pengunjung bila memasuki ruangan dan dapat ditukarkan dengan hadiah di akhir kunjungan. Ide demikian mungkin bisa diterapkan di museum di Indonesia, agar pengunjung (khususnya anak-anak) antusias, yang tentu saja membuat kunjungan museum bukanlah sesuatu yang membosankan lagi.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ruangan display-nya rapi dan nyaman.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ronron dan Mbak Lanny melihat kain songket.

Meseum Sumatera Selatan

Meseum Sumatera Selatan. Rumah Bari, rumah limas khas Palembang, di bagian belakang museum.

 

Hutan Wisata Punti Kayu

Dari Museum Sumatera Selatan, kami mengunjungi Hutan Wisata Punti Kayu. Hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan ini terletak di dalam kota, berisi pohon-pohon cemara, wahana permainan sederhana, dan kebun binatang mini. Kami menikmati suasana hutan kota dengan mengobrol di gazebo sambil menikmati es kelapa muda. Juga berfoto dengan gajah yang dapat dinaiki oleh pengunjung.

Punti Kayu

Punti Kayu. Berfoto bersama gajah. 😀

Mie Celor Pasar 26

Mie celor (bahasa Plembang, celor artinya rebus) adalah mie gemuk-gemuk yang direbus, disajikan dengan siraman kuah gurih, rebusan tauge, dan telur rebus. Kuahnya itu yang biasanya rasanya aneh bagi para pelancong; karena rasanya yang tidak begitu kuat. Seperti Mbak Lanny dan Ronron yang merasa kesulitan untuk mendefinisikan rasa dari mie ini. Tapi percayalah, bila telah lama di Palembang, kita mungkin bisa-bisa menjadi penggemarnya. 😀

Pempek Saga Sudi Mampir

Pempek yang terkenal di luar Palembang ada beberapa, sebut saja Candy, Vico, Nony, dan Beringin, tapi ada satu lagi pempek enak yang jarang sekali disebut. Adalah Pempek Saga Sudi Mampir, yang ada di depan kantor walikota (yang sekarang juga punya outlet baru yang modern di Demang Lebar Daun). Saya sengaja mengajak Mbak Lanny dan Ronron ke sini, agar bisa mencicip pempek yang paling enak di Palembang, menurut saya sih. Mungkin karena pempeknya disajikan selalu hangat. Hanya saja, harga pempek di sini lebih mahal dibandingkan para pesaingnya. Mengenai enaknya pempek ini, sepertinya keduanya setuju, dan belakangan Mbak Lanny memesan beberapa kotak pempek yang dikirim ke Bali dan rumahnya di Jakarta. 😀

Menghadiri Resepsi di Bukit Golf

Tujuan utama kedatangan Mbak Lanny dan Ronron ke Palembang adalah untuk menghadiri pernikahan teman mereka di Palembang. Saya mengantar mereka berdua dan baru menyadari bahwa pengantin laki-lakinya saya kenal namanya dan anak Jurangmangu juga. Ini sebuah kebetulan lagi.

Makan Durian di Rajawali

Setelah acara pernikahan, mobil kami dapat tambahan dua orang tamu. Rencananya kami akan mencari buah durian. Saya menyarankan di Jalan Rajawali, karena pengalaman di sini duriannya bagus-bagus. Sebenarnya ada tempat satu lagi, dengan harga yang lebih murah, yaitu di Pasar Kuto. Tapi karena sudah malam, dipilihlah di Jalan Rajawali saja. Duriannya memang enak-enak, dan kami mengambil beberapa foto yang lucu di antara durian-durian yang digantung pada gerobak.

Pulang

Minggu pagi, tiba saatnya Mbak Lanny dan Ronron untuk pulang ke Jakarta. Saya menyempatkan untuk membeli cindera mata untuk keduanya. Sebenarnya tokonya belum benar-benar dibuka, namun dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin, akhirnya mbak-mbak penjaganya luluh juga (padahal, mbak-mbaknya sebenarnya merasa kasihan :D).

Selama tiga hari mengantarkan mereka berdua, rasanya sebenarnya lumayan capai. Tapi, karena dasarnya saya senang jalan-jalan, tidak begitu terasa jadinya. Apalagi, Mbak Lanny dan Ronron adalah tipe yang bisa merasakan keindahan dan kekhasan kota di balik Kota Palembang yang biasa, seperti teman-teman saya yang pernah datang sebelumnya, pada suasana dan pemandangan kota yang sepertinya biasa.

Mungkin juga karena bukanlah yang paling penting apa yang kita kunjungi, namun dengan siapa kita kunjungi. Seperti halnya bukan apa yang kita makan, tapi dengan siapa kita makan. Ya, begitulah kira-kira.

Palembang, 31 Desember 2013

“Sudah empat tahun di sini, mungkin ini adalah tahun terakhir di kota ini. Harus sudah siap mengangkat ransel dan bertualang lagi”.

Jogjakarta

Kota sedang hujan rintik ketika saya tiba. Saya menunggu sebentar abang saya yang datang menjemput, sambil berbincang dengan Ragil, junior saya di kampus dulu yang secara kebetulan bertemu. Abang saya ada pekerjaan di Solo, tapi malam hari dia bisa kembali ke Jogjakarta. Sekalian besok pagi  bisa mengantar saya ke tempat teman baik saya, Huda, yang menikah di kampus UII.

Saya tidak sempat membeli oleh-oleh. Hanya bisa membawakan kopi Pagar Alam untuknya.

Kami menembus benang-benang hujan dengan sepeda motor, menuju kawasan Pogung. Setelah menyimpan ransel, kami keluar untuk makan mie di sebuah warung kopi. Malam semakin dingin. Mie instan berkuah selalu bisa menjadi bagian kombinasi yang cocok untuk suasana seperti itu. Selain segelas kopi atau teh hangat, dan mengobrol tentunya.

Di pagi hari, kami sarapan di dalam kompleks kampus UGM, dan setelahnya melihat lokasi resepsi. Di Gedung Multipurpose itu, tampak orang-orang berbatik dan berpakaian adat Jawa yang sedang mempersiapkan acara siang nanti. Setelah memastikan ancer-ancernya, kami kembali ke kost. Saya mandi dan sempat tidur sebentar karena masih terasa kantuk.

Setelah agak siang, saya bersepeda motor ke acara resepsi. Saya bertemu dengan kawan-kawan kantor yang datang, beberapa kawan kuliah dulu, dan berbincang sedikit. Huda tampak kaget sambil ketawa-ketawa melihat saya datang, karena sebelumnya memang saya tidak berencana dan tidak mengabarkan akan hadir. Terlihat dia sangat sumringah bersanding dengan wanita pujaannya, boru berparas manis berdarah Batak. Semoga samara, Bro.

Siang harinya, saya diajak abang saya bersepeda motor ke kawasan Candi Borobudur (Sempat kami berencana untuk mampir di Museum Affandi, tapi waktunya tidak cukup). Dia ada janji dengan seseorang untuk mengambil sebuah maket bangunan bambu dan dibuatkan gambar. Orang itu, seorang bapak-bapak, yang sangat tertarik dengan bambu dan bangunan dari bambu (yang belakangan saya baru tahu kalau beliau arsitek). Sangat menarik mendengarkan mereka berdiskusi, meskipun saya tidak begitu paham. Dunia engineering dan arsitektur memang menarik. Dunia mereka adalah dunia seni. Tidak seperti orang ekonomi yang akan melihat bangunan dari angka-angka rupiah. Item-item bangunan adalah item biaya yang menyusun rencana anggaran biaya, bukan bagaimana manusia berkreasi agar serasi dengan lingkungannya.

Kami ditawari menginap di tempat yang begitu-Jawa-sekali itu, tapi besok pagi-pagi sekali, saya mesti kembali ke Palembang. Sebenarnya saya ingin tinggal, setidaknya sampai malam saja, pasalnya di situ akan ada pergelaran wayang kulit. Melihat deretan tokoh wayang kulit yang sedang disiapkan, siapa yang tidak penasaran.

Men-setting wayang kulit.

Men-setting wayang kulit.

Agak sore, kami ke sebuah desa yang asri di sekitar candi. Desa Tegal Wangi namanya. Di mana kami bertamu di sebuah rumah yang ditinggali seorang lanjut usia. Abang saya pernah berkegiatan di desa itu dan dia kenal baik, meskipun tidak tahu nama beliau. Kami berbincang lumayan lama dan empunya rumah tidak memperbolehkan kami pulang sebelum kami makan.

Bangunan berstruktur bambu di desa Tegal Wangi

Bangunan berstruktur bambu di desa Tegal Wangi

Kami juga bertemu dengan seorang pengrajin batu bata. Dia bilang, dia dulu pernah diwawancara sama abang saya , difoto, dan di-shootingjuga pakai kamera, sampai membuatnya malu karena seperti artis. Ada-ada saja. 😀

Menjelang malam kami mampir sebentar untuk makan di sebuah warung tongseng di sekitar kawasan candi. Warung tongseng ini tidak biasa, karena yang diolah menjadi tongseng bukanlah daging kambing atau ayam. Bahannya dari jamur. Teksturnya mirip dengan daging, rasanya juga tidak kalah enak.

Malam hari kami kembali ke Jogjakarta. Hujan turun sepanjang jalan Magelang-Jogjakarta. Menjelang larut malam, kami mencari angkringan, sesuatu yang wajib bila berkunjung ke kota itu. Juga duduk beralas tikar sambil minum kopi di alun-alun keraton. Sekarang di alun-alun, ada kereta-keretaan yang bisa disewa, berlampu warna-warni, dan digerakkan dengan kayuh sepeda. Alun-alun menjadi semarak dengan kehadiran mereka.

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.35 WIB

“Terhayut aku akan nostalgia. Saat kita sering luangkan waktu. Nikmati bersama. Suasana Jogja…-Jogjakarta, Kla”

Gili Trawangan

Saya lahir dan menghabiskan masa SMA di Pulau Lombok, pulau yang tidak habis-habisnya diceritakan tentang keindahannya. Ada budaya masyarakat yang luhur, pantai-pantai yang indah, persawahan hijau dan hutan yang sejuk, serta Gunung Rinjani yang cantik. Tapi, banyak sekali tempat di pulau itu yang belum pernah saya kunjungi. Misalnya, saya belum pernah mengunjungi Gili Trawangan. Padahal, Gili Trawangan itu dekat saja dari Mataram. Sedekat jarak Mataram dari Gili Trawangan, tentu saja kan.

Nah, berangkat dari hal itu, di masa lebaran tahun 2012, saya mempunyai waktu satu hari sebelum berangkat ke Palembang dari Mataram. Kiki, adik saya, berjanji untuk menemani. Minggu pagi, setelah kami menumpang bus PO Dunia Mas semalaman dari Dompu, kami segera berkemas. Karena sepeda motor Kiki masih di Dompu, jadinya kami meminjam sepeda motor dari Reny. Reny adalah teman kuliah Kiki, mereka sudah bersama sejak jadi mahasiswa tingkat satu.

Ada dua rute menuju Gili Trawangan dari Mataram. Pertama, ke arah utara lewat pegunungan di Pusuk, yang nanti akan tembus ke Lombok Utara. Kedua, lewat garis pantai sebelah barat Pulau Lombok, jajaran pantai-pantai berpasir putih, termasuk Senggigi di dalamnya. Kami memutuskan untuk ke Gili Trawangan dengan melewati rute Pusuk, dan kembali ke Mataram lewat Senggigi.

Kami berangkat dari Mataram sekitar jam sebelas pagi. Pemandangan sepanjang jalan cukup menarik, apalagi setelah memasuki kawasan wisata Pusuk. Kiri kanan jalan berupa hutan yang terjaga keasriannya. Ruas jalan menanjak, berkelok, dan cukup sempit, sehingga perlu lebih berhati-hati.  Di puncak punggungan bukit, sebelum jalan menurun, kami mampir sebentar. Dari tempat itu, kita bisa melihat pemandangan lembah, garis pantai, hingga pulau-pulau kecil di seberang. Udara terasa dingin. Di tepi-tepi jalan, banyak dijumpai kera-kera yang duduk menunggu, barangkali ada pengendara lewat yang berbaik hati memberi makanan.

Pusuk, Lombok Utara

Pusuk, Lombok Utara

Setelah melewati kawasan yang sejuk, kami memasuki dataran rendah yang panas. Baiknya, cuaca sedang cerah-cerahnya. Pemandangan persawahan dan perbukitan di tepinya terlihat seperti di lukisan, dengan langit biru terang. Tidak lama kami sampai di Bangsal, menitipkan sepeda motor, dan membeli karcis perahu di loket yang tersedia. Sambil menyantap makanan ringan, kami menunggu panggilan dari petugas yang memberi pengumuman lewat pengeras suara. Perahu akan jalan apabila batas jumlah penumpang untuk sebuah perahu telah terpenuhi.

Perjalanan perahu dari Bangsal ke Gili Trawangan menempuh waktu sekitar 30 menit.  Perahu yang kami tumpangi berisi berpuluh orang, ada wisatawan lokal dan mancanegara, juga penduduk lokal yang tampaknya membawa barang dagangan. Di tengah-tengah perjalanan, gelombang laut agak meninggi, menyebabkan perahu bergoyang kencang. Beberapa penumpang yang panik, mengambil baju pelampung seakan-akan saat itu keadaan darurat. Sedang penumpang yang lainnya, tidak begitu ambil pusing. Mungkin sudah terbiasa.

Di samping kami duduk, ada seorang bule (bule, kata yang sangat rasial dari bahasa Indonesia :D), mungkin masih belasan umurnya, sepanjang perjalanan perahu terlihat sangat gembira. Wajahnya bulat jenaka dengan pipi yang merah. Berulang kali dia mengambil gambar pemandangan dengan kameranya dan senyum-senyum sendiri. Belakangan, saat perahu menepi, kami perhatikan senyumnya melebar. Antusias sekali.

Perahu menepi di pantai yang berpasir putih dengan air laut yang jernih, terkesan hijau toska.  Terlihat papan yang bertuliskan “Welcome to Gili Trawangan”, menyambut wisatawan yang datang.

Menepi di Gili Trawangan

Menepi di Gili Trawangan

Saya dan Kiki berjalan kaki di ruas jalan yang mengelilingi pulau. Sepanjang jalan, terlihat wisatawan yang berjalan kaki, bersepeda, juga naik cidomo, delman khas suku Sasak. Seperti yang kita tahu, di kawasan Gili, kendaraan darat bermotor dilarang. Aturan yang diberlakukan untuk sedikit mengobati rasa bersalah manusia, untuk menjaga keasrian lingkungan.

Kami mampir sebentar di sebuah warung makan untuk makan siang, juga di sebuah warung es krim. Beberapa macam dan rasa es krim gelato tersedia, mengobati haus di bawah sinar matahari yang terik. Tidak jauh berjalan, juga terdapat juga kolam yang berisi anak-anak penyu. Sebuah sarana eco-wisata bagi wisatawan dan anak-anaknya, untuk mengenal lebih dekat dengan penyu. Termasuk mengenal betapa susahnya mereka beranak pinak di alam dan sifat sensitif mereka terhadap perubahan lingkungan.

Melihat tukik, anak-anak penyu.

Melihat tukik, anak-anak penyu.

Kami tidak lama di pulau. Saya sedikit flu akibat AC yang terlalu dingin di bus semalam, membuat tidak bisa menikmati angin pantai dan teriknya matahari. Kami segera pulang, menyeberang kembali ke Bangsal, dan bersepeda motor menyusuri kawasan pantai di sebelah barat Pulau Lombok. Jalan aspal begitu mulus, berkelak-kelok mengikuti kontur pantai, dan naik turun bila melewati bukit. Cuaca masih cerah dan membuat pemandangan pantai begitu cantik. Senja yang turun memancarkan garis-garis keemasan di sela-sela dedaunan kelapa. Air laut begitu biru, tenang seperti biasa, menyimpan rahasia. Suatu suasana yang kadang kala tidak dikira, suasana seperti itu ternyata tidak begitu jauh dari kota.

Pantai sepanjang jalan pulang.

Pantai sepanjang jalan pulang.

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.30 WIB

“Mengisi waktu, memposting tulisan-tulisan yang lama. :D”

Berkemah di Pantai Tanjung Kalian, Bangka

Saya sengaja merebahkan diri di atas pasir pantai. Di atas adalah langit malam yang begitu cerah seluas pandangan. Bimasakti melintang di langit, putih terang seperti kabut. Cahaya lampu dari Mercusuar Tanjung Kelian secara berkala menyapu cakrawala. Suara debur ombak dan desau angin pantai membuat malam semakin tenteram.

Sejak tadi pagi (24/8/2013), kami menjejakkan kaki di bagian barat pulau timah itu. Kami datang dari Palembang, berangkat pukul tujuh tiga puluh, dan menempuh dua setengah jam perjalanan dengan menggunakan jetfoil Sumber Bangka 7. Tidak banyak hal menarik selama perjalanan menyusuri Sungai Musi hingga jetfoil membelah Selat Bangka. Kecuali bila kita bisa menikmati pemandangannya; karena Sungai Musi itu sendiri, deretan rumah-rumah panggung tepi sungai, rawa-rawa, dan di suatu tempat di mana ada puluhan anak-anak berenang di sisi jetfoil yang senang sekali bila dilempar uang kertas. Kau harus mencoba menyusuri Musi sekali waktu.

Kami begitu penasaran dengan mercusuar yang putih tinggi menjulang tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Kelian. Bangunan itu jelas buatan di masa kolonial, terlihat cantik. Apalagi bila definisi cantikmu adalah putih dan tinggi semampai (itu manusia apa tiang masjid ya? :D). Kata Pak Supri, penjaga mercusuar, pengunjung bisa menaiki tangga sampai ke pucuk mercusuar. Tarifnya tidak mahal, Rp5000,00 saja per orang. Kami tentu saja tidak melewatkan itu.

Mercusuar Tanjung Kalian

Mercusuar Tanjung Kalian

Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa leluasa memandang sekitar. Pemandangan Selat Bangka, ujung-ujung pantai bagian barat, garis pantai di selatan, hingga wilayah perkotaan di sebelah utara, sejauh mata bisa memandang.

Pemandangan dari atas mercusuar

Pemandangan dari atas mercusuar

Ngobrol sama Pak Supri

Ngobrol sama Pak Supri

Setelah dari mercusuar, lapar mendera sehingga kami mencari warung makan untuk makan siang. Sebelumnya, Pak Supri menyarankan kami untuk menggunakan travel, bila ingin jalan-jalan ke Muntok atau ke Bukit Menumbing. Sambil menyantap makan siang di depan pelabuhan, yang pemilik warungnya adalah orang Palembang (dan punya tato Slank di lengan kanannya :D), kami menunggu datangnya mobil travel. Sempat kami dan supir travel berselisih paham,  karena tentu saja kami baru akan setuju bila tarif dan rutenya cocok, sedangkan dia menganggap kami sudah setuju dari awal. Akhirnya, asal idak jadi bae, kami sepakat dengan tarif Rp250.000,00 dengan minibus Daihatsu Xenia di luar bensin, untuk mengantar kami ke Bukit Menumbing. Harga yang cukup sepadan kami rasa, mengingat kami rombongan berlima.

Bukit Menumbing adalah tempat bersejarah di mana Soekarno, Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S. Suryadarma, Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Agus Salim, pernah diasingkan. Perjalanan ke Menumbing tidaklah lama, sekitar 45 menit, namun setelah Muntok, mobil akan melewati jalur sempit, berliku, yang kiri-kanannya hutan. Di suatu ketinggian, kami berhenti di sebuah shelter yang dari tempat itu, kami bisa melihat pemandangan Muntok dan kawasan pantai dari atas.

Di puncak Bukit Menumbing terdapat Wisma Menumbing tempat para pejuang bangsa tinggal selama pengasingan. Udara di wisma terasa dingin, berasa sekali karena kami baru datang dari kawasan pantai. Bangunan wisma masih terlihat bagus dan terawat. Di dalam wisma, kita bisa melihat mobil Ford BN 10 peninggalan Bung Karno, perabotan yang masih asli (termasuk kursi dan meja kerja sang presiden), foto-foto berbingkai, dan tulisan-tulisan penjelasan sejarah. Oh ya, kami sangat beruntung, karena penjaga mengijinkan kami memasuki kamar tidur Bung Karno dan Bung Hatta. Di dalamnya terdapat dua tempat tidur sederhana, meja kecil, peci yang digantung, serta sejadah yang dilipat rapi.

Wisma Menumbing

Wisma Menumbing

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Setelah dari Bukit Menumbing, Pak Supir mengantar kami ke Pantai Tanjung Ular. Pantai itu berupa teluk dengan beberapa perahu nelayan bersandar,yang terlihat lebih indah dari Pantai Tanjung Kelian; dengan airnya yang jernih, pasirnya putih berbutir besar-besar, dan batu-batu karang. Kami hanya sebentar saja di sana, sejenak melihat suasananya, dan mengambil beberapa gambar.

Dari Pantai Tanjung Ular kami kembali ke Muntok. Di tengah perjalanan, kami mampir di Batu Balai, sebuah struktur batu yang unik, seperti ada yang sengaja menyusunnya. Di tengah susunan batu, terdapat ruangan kecil yang terlihat sisa taburan bunga dan wadah untuk membakar kemenyan. Sepertinya, tempat itu biasa digunakan orang untuk bertapa.

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! :D

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! 😀

Muntok adalah kota kecil yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat. Muntok terlihat rapi, hijau, dan bersih. Di Muntok terdapat beberapa tempat yang kami kunjungi, misalnya monumen  Soekarno Hatta, Wisma Ranggam (tempat pengasingan juga, namun di Muntok), Masjid Jami’,  dan Klenteng Kung Fuk Min. Masjid dan klenteng berdiri berdampingan, mungkin untuk menggambarkan toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat Bangka.

Monumen Soekarno-Hatta

Monumen Soekarno-Hatta

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami'

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami’

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Wisma Ranggam.  Kali ini Cecep jadi model.

Wisma Ranggam. Kali ini Cecep jadi model gendum.

Sebelum kembali ke Tanjung Kalian, kami juga diantar berkeliling di komplek PN Timah, suasananya seperti perumahan Pertamina atau komplek Pusri di Palembang. Menuju Tanjung Kalian, kami melewati jalur yang berbeda, kawasan pantai sebelas selatan. Bangka benar-benar kaya dengan pantai.

Sekembali ke Tanjung Kelian, kami bersantai di tepi pantai sambil menikmati es kelapa muda (es dogan, sebutan warga setempat, sama seperti di Palembang) dan dua piring otak-otak ikan. Mendekati waktu matahari terbenam, kami menyusuri pantai, mencari tempat yang bagus untuk menangkap momen matahari tercelup ke dalam air laut. Pantau terlihat ramai dengan orang-orang yang bercengkrama dengan teman-teman atau keluarganya. Farid dan Cecep membawa kamera DSLR, keduanya memang gemar fotografi, dan sibuk menangkap gambar yang terbaik. Saya juga mencoba mengabadikan gambar dengan kamera poket saya, yang tentu saja hasilnya tidak bagus :D.  Jadi saja, akhirnya saya memilih duduk memeluk lutut, memandang matahari yang berwarna oranye, seperti orang patah hati.

Menunggu Sunset

Menunggu sunset

Menjelang malam, kami segera mendirikan tenda dome, di bawah pohon cemara, tidak jauh dari mercusuar. Beberapa dari kami ke tempat Pak Supri untuk meminjam toilet dan salat magrib. Setelah tenda berdiri, kami membeli nasi putih dan mie instan (jauh-jauh ke sini, makan mie instan :'(), makanan yang tersisa di warung makan depan pelabuhan. Kami membawa kompor gas kecil dan nesting, jadi bisa digunakan untuk memasak. Rencananya sih malamnya mau bakar ikan, tapi tadi sore kami tidak menemukan tempat orang menjual ikan. Jadinya rencana bakar dan makan ikan segar tinggal menjadi mimpi saja.

Masak seadanya :D

Masak seadanya 😀

Tapi tidak mengapa, setidaknya kami bisa menikmati pemandangan dan suasana pantai di saat malam, sambil mengobrol dan minum kopi buatan sendiri. Di daerah asal kami masing-masing, memang tidaklah sulit mendapatkan suasana sebagus itu. Tapi di Palembang, tempat kami bekerja, ceritanya lain lagi. Selain karena sangat jarang menemukan suatu malam yang langitnya bersih (akibat polusi udara dan polusi cahaya), juga kami jarang sekali menyempatkan diri memandang alam sekitar. Pekerjaan kadang kala membuat manusia menjadi mesin: hanya mengenal rutinitas tidur, berangkat ke kantor, balik ke kost setelah langit gelap, main video game, dan tidur lagi. Seperti tidak merasa bosan.

Sampai dengan pukul 12 malam, Pantai Tanjung Kalian tidaklah benar-benar sepi. Masih ada orang-orang yang menghabiskan waktu untuk memancing ikan sepanjang pantai. Di dekat kami mendirikan tenda, malah ada sekeluarga dengan dua anak kecilnya, menggelar tikar menunggu mata kail disambar ikan. Saya sempat berbicara dengan seorang pemancing dan dia menyebutkan nama ikan yang dia dapatkan malam itu.

Setelah tidur malam dengan nyenyak karena capek, pagi-pagi sekali kami bangun dan membereskan tenda. Tujuan kami adalah melihat matahari terbit. Kami berjalan di sisi sebelah pelabuhan, dan duduk sabar menunggu matahari muncul. Rasanya beruntung, bisa melihat sunset dan sunrise dalam perjalanan singkat kami.

Kami kembali lagi ke mercusuar, untuk mandi dan persiapan kembali ke Palembang. Saya menyempatkan diri untuk berenang di pantai. Airnya tidaklah sebening kristal, tapi cukup bersih. Segar sekali rasanya berenang di waktu pagi hari yang cerah, dengan sinar matahari yang masih hangat.

Kami segera membeli tiket jetfoil dan sarapan, tentu saja di warung depan pelabuhan. Oh ya, di hari itu, ada acara tapak tilas Bung Karno. Salah satu acaranya adalah pawai dengan berjalan kaki dari Muntok ke Tanjung Kalaian, dengan pakaian dan penampilan orang di masa perjuangan kemerdekaan. Di setiap kelompok pawai selalu ada peserta yang berpenampilan ala Soekarno, beberapa lainnya mengucir kepang rambutnya dan membawa rantang atau perlengkapan lain, dan setiap kelompok membawa bendera PNI. Mereka terlihat sangat menghayati perannya.

Rombongan "Bung Karno"

Rombongan “Bung Karno”

Jetfoil berangkat pukul 11.00, kembali membelah Selat Bangka dan menyusuri Sungai Musi menuju Palembang. Perjalanan ini memang terlalu singkat, rasanya sayang sekali hanya semalam. Tapi, kami beruntung bisa mengunjungi beberapa tempat wisata; Pantai Tanjung Kalian, Wisma Menumbing, Pantai Tanjung Ular, Batu Balai, Masjid Jami’, Klenteng Kung Fuk Min, Wisma Ranggam, dan melihat suasana Muntok. Itu tidak lepas dari kebaikan pak supir travel. Sepanjang jalan dia bercerita banyak tentang Bangka; tentang tempat wisata, sejarah, dan kehidupan masyarakatnya, seperti pemandu wisata. Terima kasih banyak untuknya.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

MP Mangkunegara Palembang, 15 Oktober 2013

“Selama ada teman yang bisa diajak bertualang, merantau tak ubahnya jalan-jalan :)”.

Beberapa informasi lainnya, mungkin berguna bila ingin ke Muntok:

  1. Penyedia angkutan jetfoil Palembang-Bangka ada dua, yaitu Sumber Bangka dan Bahari Ekspress.  Pelayanan keduanya relatif sama, dengan tarif Rp195.000,00 s.d Rp220.000,00. Untuk yang ingin kenyamanan, baiknya tidak memilih kelas ekonomi, karena duduknya di bagian buritan yang tidak berdinding dan bangkunya tidak ada senderan kepala. Jetfoil berangkat jam 07.00 pagi dari Palembang, dan jam 11.00 siang dari Bangka, dengan perjalanan 2,5 jam. Tiket bisa dibeli di kantor pemasarannya, atau bisa langsung ke Pelabuhan Boom Baru atau Pelabuhan Tanjung Kalian. Datanglah setidaknya jam enam pagi, takutnya tiketnya habis.
  2. Tarif sewa travel selama 24 jam di Muntok rata-rata Rp250.000,00 di luar bensin dan supir. Jasa supir sekitar Rp150.000,00 sehari. Bagusnya kita berkunjung ramai-ramai, jadi bisa menghemat biaya.
  3. Kami kurang mengerti tentang penginapan di Muntok. Tapi kabarnya, beberapa kamar Wisma Menumbing akan diubah menjadi penginapan.
  4. Untuk berkeliling Muntok mungkin cukup sehari, tapi bila ingin melihat Bangka, setidaknya butuh tiga hari. Pantai-pantai yang indah di Bangka adanya di Sungai Liat, sekitar tiga jam dari Muntok.
  5. Bila ingin berkemah di Pantai Tanjung Kalian, sebaiknya memberitahukan para penjaga mercusuar, dan tidak mendirikan tenda terlalu jauh dari mercuruar, dengan pertimbangan keamanan.

beberapa hal lainnya di Medan

Polonia dan Kualanamu

Saya dan Mbak Esty tiba hari Rabu,  yang merupakan hari terakhir Polonia beroperasi, dan kembali ke Palembang hari Sabtu saat Kualanamu beroperasi di hari ketiganya. Kualanamu adalah bandar udara yang baru untuk Sumatera Utara, bergaya modern penuh dengan kaca dan alucopan, terletak di Kabupaten Deli Serdang, kira-kira 30 kilometer dari Kota Medan. Sebenarnya Kualanamu masih dalam tahap finishing, namun telah mulai dipakai. Kereta api menuju ke sana telah beroperasi, tapi stasiunnya yang langsung terhubung dengan bandara masih dikerjakan. Di hari Sabtu itu, banyak pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing, masyarakat yang dibolehkan masuk sampai sebelum ruang tunggu, dan huruf raksasa di bangunan utama bandara yang masih belum lengkap; masih Kualanamu Inter (bukan Kualanamu Internazionale Milan, kan? :D).

Oh ya, tarif kereta api Rp80.000,00 per orang, taksi sekitar Rp160.000,00 sekali jalan, dan bus Rp20.000,00 per orang. Yang menjadi topik yang ramai dibicarakan adalah airport tax sebesar Rp100.000,00 per orang, dan di koran lokal banyak masyarakat yang berpendapat itu terlalu mahal.

Sekali lagi tentang Istana Maimun dan Masjid Almashun

Di jaman masa jayanya, Kesultanan Deli memang menjadi entitas pemerintahan yang makmur. Tanahnya yang luas disewakan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda, menjadi sumber pemasukan yang luar biasa (ingat kan, tembakau Deli sangat terkenal di Jerman). Walaupun sekarang menjadi cerita kejayaan masa lalu, sejalan dengan hilangnya kekuasaan politik kesultanan dan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda kemudian dinasionalisasi di era Presiden Soekarno, namun bangunan peninggalan Kesultanan Deli tetap mencatat cerita tersebut. Masjid Al Mashun dikabarkan menghabiskan dana satu juta Gulden untuk pembuatannya. Masjid tersebut bergaya campuran India, Turki, dan Spanyol. Kabarnya, kaca patri di jendela-jendelanya dikirim dari Cina, lampu gantung bikinan Prancis, dan batu marmer diimpor dari Italia. Lantai, dinding, dan tiang-tiang dihiasi dengan motif bunga dan tetumbuhan, khas art nouveau. Saya kagum dengan tiang-tiang di tengah bangunan utama, yang tampaknya dibuat dari dua susun batu marmer dan diukir halus seperti bentuk bunga di ujung atasnya, mihrab yang berbentuk separuh kubah, serta mimbar yang dibuat sebagian besar dari batu marmer. Namun, beberapa bagian bangunan, seperti beberapa kaca patri, telah rusak dan seperti belum diganti dalam waktu yang lama. Mungkin sebabnya, biaya perawatan bangunan semegah itu tentu tidaklah sedikit.

Masjid Al Mashun

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun

Masjid Al Mashun, Medan

Sebelas dua belas dengan Masjid Almashun, Istana Maimun juga merupakan bangunan yang cantik. Istana yang berwarna kuning, warna kebesaran Melayu itu, dibuat dengan gabungan bermacam gaya arsitektur. Atapnya bangunan utamanya ceper, dengan jendela kecil-kecil di bagian atas, lengkung-lengkung pada teras dan tangga masuk, dinding yang tebal, jendela dan pintu-pintu utama yang besar, kubah-kubah dengan dasar segi empat, dan lukisan-ukiran corak bunga-tetumbuhan pada ubin lantai, dinding, lubang angin di atas jendela, dan plafon.  Siapapun yang merancang dan membangun istana itu, pasti ingin orang-orang pada kemudian masa tetap dapat melihat keindahan pada bangunan itu.

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun

Istana Maimun, Medan

Museum Sumatera Utara

Di Sabtu pagi, saya sempat jalan-jalan ke Museum Sumatera Utara. Meskipun di akhir pekan, suasana museum terlihat sepi. Hanya ada beberapa kelompok anak-anak SD yang datang berkunjung. Tidak ada pengunjung umum. Saya saja dikira mahasiswa oleh mbak-mbak penjaganya (Eh iya, saya kan masih berstatus mahasiswa kan? :D).

Tarif memasuki museum adalah Rp1.000,00. Dengan tidak meremehkan nilai uang seribu rupiah, menurut saya, terasa aneh bila memasuki tempat wisata sejarah dengan hanya seribu perak. Akan lebih berarti bila nilainya sedikit lebih besar. Saya pikir,  pengunjung tentu saja tidak akan keberatan, yang mana di lain sisi, karcis bioskop di hari sekarang (yang telah menjadi kebutuhan hiburan hampir wajib orang kota) bisa mencapai Rp50.000,00 untuk satu-dua jam film Holywood.

Ruang display Museum Sumatera Utara dibagi dalam dua lantai. Lantai pertama, di sayap kanan dari depan, diisi dengan benda-benda di zaman prasejarah, kemudian zaman Hindu-Budha, zaman kedatangan dan perkembangan Islam, dan zaman kolonial. Di sayap kiri, dimulai dengan ruang gubernur, yang memajang foto-foto gubernur yang pernah memimpin Sumatera Utara. Kemudian berlanjut pada ruang yang memajang benda-benda dari zaman perjuangan kemerdekaan. Lantai kedua, lebih ke arah budaya masyarakat Sumatera Utara. Di sayap kiri, dipajang alat dan perlengkapan, termasuk pakaian adat, yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara sehari-hari, dari masa ke masa. Di sayap kanan, terdapat maket-maket rumah adat dari pelbagai suku asli Sumatera Utara, manekin orang Nias, perlengkapan untuk bertani, menangkap ikan, berburu, dan menenun. Di ujung ruangan, terdapat beberapa gambar dan tulisan mengenai suku-suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara. Display di ruangan tersebut memperlihatkan kepada pengunjung, bahwa Medan atau Sumatera tidaklah identik dengan Suku Batak. Terdapat bermacam suku dan etnis lain, yang berbeda adat, budaya, bahkan agama. Suku-suku asli terdiri dari Batak, Melayu, Simalungun, Toba, Mandailing, Karo, Pakpak, dan Nias, serta suku-etnis pendatang seperti Jawa, Cina, Arab, dan India.

Kondisi museum cukup terawat dengan baik, kecuali pada beberapa bagian di lantai dua, yang pada salah satu bagian temboknya dipenuhi dengan coretan vandalisme pengunjung. Selain itu, penerangan di lantai dua juga masih kurang. Termasuk juga aroma apek yang tercium yang membuat tidak nyaman. Seorang anak SD berkata ke saya, “Bang, datang sendiri? Kalau naik di atas ngeri, Bang”. Mungkin suasana lantai dua seram bagi mereka.

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Kuliner Medan

Berkunjung ke Medan tentu saja sayang bila tidak mencicip kulinernya yang terkenal, semacam bika ambon, bolu gulung, pancake durian, buah durian, masakan khas etnis Cina, India, dan Arab di Medan. Kami hanya sempat mencicip masakan untuk berbuka di Ramadhan Fair samping Masjid Almashun, dimsum yang ringan-ringan di Resto Nelayan, dan mie aceh Titi Bobrok. Mie aceh kepitingnya enak (dengan satu ekor kepiting) dan tidak sampai menguras kantong karena cukup ditebus dengan uang Rp17.500,00 per porsinya.

Bubur Masjid Raya

Saya sebenarnya tidak begitu suka makan bubur yang tidak manis. Namun, bubur Masjid Raya Medan sudah cukup dikenal dan amat sayang bila tidak mencicipinya. Bubur tersebut merupakan bubur dari beras yang dicampur dengan daging, dilengkapi sayuran semacam urap, dan beberapa buah kurma. Beberapa orang keturunan Arab membuat bubur tersebut dalam belanga yang besar dan mengihidangkan dalam ratusan piring pada meja panjang. Sebelum berbuka, para pengunjung Masjid Raya dapat mengambil bubur tersebut, dengan segelas teh manis, dan berbuka sama-sama pada karpet serta tikar-tikar yang digelar di halaman masjid.

Bubur Masjid Raya

Bubur Masjid Raya

Angkot dan Supir Medan

Supir yang berasal dari Medan sudah terkenal dengan “kepiawaiannya” mengendarai kendaraan umum di kota-kota besar. Bagaimana bila di daerah asal mereka?

Selama di Medan, alat transportasi yang kami gunakan adalah angkot. Menaiki angkot di Medan adalah sebuah horor tersendiri, bagi siapa yang tidak biasa atau yang jantungan. Angkot dikemudikan dengan kecepatan tinggi, menikung tiba-tiba, dan sering kali hampir menyerempet kendaraan lain. Namun kerennya, tidak terjadi sentuhan fisik antar kendaraan (apa ini bahasanya…). Selain itu, sepertinya penumpang juga mesti terbiasa dengan suasana bila supir angkot dan pengendara lain bersitegang di tengah jalan. Namun tenang saja, seperti tipikal orang Medan yang terkenal itu, mereka kadang keras di ucapan saja, tidak sampai main fisik.

Selain angkot, transportasi di Medan ada taksi, bajaj, becak motor (bentor), dan sudako, semacam oplet khas Medan.

Bentor

Bentor

Sudako

Sudako

Teman-kenalan baru

Karena diklat diikuti peserta dari beberapa kantor perwakilan, mau tidak mau tentu saja saya mendapat kenalan dan teman baru. Selama di Medan, seusai diklat di kelas sampai jam lima, mereka menjadi teman jalan-jalan.  Kami biasanya dalam satu kelompok yang bisa membuat angkot atau sudako menjadi penuh dan cepat menjadi akrab.

Palembang, 19 Agustus 2013. Diposting dulu, sebelum lupa.

“Foto-fotonya menyusul ya”