Dari Dompu ke Dempo

Gunung Dempo, dari Pabrik PTPN 7

Gunung Dempo, dari Pabrik PTPN 7

Bagi saya, naik gunung adalah sebuah rekreasi. Seperti halnya pergi ke pantai atau ke taman. Gunung adalah di mana kita melihat pemandangan alam, menghirup segarnya udara, menyegarkan pikiran yang sedang suntuk, dan mendapat teman. Pikiran bahwa naik gunung adalah menaklukkan gunung selalu saya singkirkan dari kepala. Kita naik gunung, bukan pergi berkelahi. Lagipula, bagaimana mungkin manusia bisa menaklukkan gunung? Sedangkan selama ini, betapa kita sering merasa tak berdaya apabila gunung berapi aktif sebentar saja, mengeluarkan lava dan abunya serta menggetarkan wilayah sekitar dengan dentumannya, memaksa manusia mengungsi menjauh dari rumah dan harta benda yang mereka miliki.

Libur Natal tahun ini saya manfaatkan untuk mendaki Gunung Dempo di Pagar Alam, Sumatera Selatan, dari ajakan ketiga teman: Erwin, Evan, dan Asep. Erwin adalah junior saya di Stapala, tapi bila pengalaman naik gunung, saya tentu saja kalah dengan dia, dengan 20 puncak gunung yang sudah dia daki (dan ini adalah pendakian Dempo ketiga). Evan dan Asep bukanlah dari organisasi pegiat alam, bahkan Asep baru kali ini mendaki gunung. Namun, Evan sudah beberapa kali naik gunung sebelumnya dan dia merasa ketagihan. Sedangkan Asep, dia anak Bea Cukai, jadi jangan remehkan fisik dan mentalnya.

Kami berangkat ke Pagar Alam Kamis malam jam 19.00 WIB dengan menaiki travel Sinar Dempo. Di rumah makan Bintang Sumatera di Prabumulih, kami mampir untuk makan, dan di sinilah tas selempang saya berisi kamera saku, cokelat untuk selama pendakian, pisau survival, dan alat sketch tertinggal. Saya berusaha agar kehilangan mereka tidak mempengaruhi mood mendaki kali ini. Benda paling berharga dalam rupiah adalah kamera saku, tapi masih ada kamera 2 MP dari ponsel cupu saya untuk mengabadikan momen selama pendakian nanti. 😀

Kami tiba sekitar jam 03.30 WIB di pabrik teh PTPN 7 di Gunung Dempo. Kami akan kulo nuwun dengan Pak Anton, penjaga Gunung Dempo.  Sebelumnya, kami tidur sampai subuh di posko belakang rumah Pak Anton dan di masjid PTPN. Paginya, Pak Anton menelepon truk teh untuk mengantar kami bersama beberapa rombongan lainnya (anak-anak UMP dan mapala FT Unsri Layo) ke Tangsi 4, perkampungan kecil tempat titik awal pendakian.

Erwin bilang, Pak Anton punya versi lain sejarah kerajaan Sriwijaya. Erwin sempat memancing agar kapan-kapan Pak Anton mau bercerita lagi tentang itu. Sial, beliau bilang, “Ah, wawancara kan mahal”, sambil terkekeh jual mahal. Sejak rombongan mereka melihat siluet penari dengan pakaian kerajaan mengelilingi tenda mereka di Puncak Gunung Kerinci, Erwin tertarik dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Ah, saya akan ke Pagar Alam lagi untuk mengorek informasi penting itu. Mungkin dengan membawakan madu Sumbawa, Pak Anton akan berbaik hati menceritakannya lagi.

Perjalanan dari pabrik PTPN 7 sampai dengan Tangsi 4 ditempuh kira-kira 45 menit, dengan melewati perkebunan teh. Kami packing ulang di warung Pak RT (yang akrab dipanggil ayah dan emak untuk istrinya) mengurangi beberapa alat dan logistik yang bisa ditinggal, sarapan, dan memesan nasi bungkus untuk makan siang di perjalanan. Kami berempat akan mendaki bersama lima orang mahasiswa UMP (kampus S1 saya nih! :D), hingga rombongan kami berjumlah sembilan orang.

Memasuki Pintu Rimba Gunung Dempo

Memasuki Pintu Rimba Gunung Dempo

Rombongan kami mulai mendaki jam 10.00 WIB, tiba di Shelter 1 jam 12.00, dan Shelter 2 jam 15.00. Jalur Gunung Dempo bisa dikatakan cukup berat, karena terus mendaki, sedikit sekali jalan mendatar, dan keadaan jalur yang basah serta licin. Apalagi di shelter 2 hujan turun dengan sangat deras. Empat orang anak UMP dalam rombongan baru saja mendaki gunung, hingga perjalanan tidak bisa dipaksa cepat. Sebenarnya yang sedikit bikin kami geleng-geleng kepala adalah, persiapan alat mereka yang sangat minim. Tenda yang mereka bawa adalah tenda untuk anak-anak yang bergambar kartun (yang tiang-tiangnya tertinggal pula sebelum shelter 2 :tepok jidat:), raincoat yang berbahan mirip plastik kresek yang gampang rusak, dan mereka tidak membawa matras serta sleeping bag. Bagaimana bisa mereka berani naik gunung di musim hujan dengan alat seperti itu? :jedotin jidat:

Shelter 1 Gunung Dempo

Shelter 1 Gunung Dempo

Kami sampai puncak Dempo jam 19.30 WIB dan sampai di pelataran (lembah antara Puncak Dempo dan Puncak Merapi) setengah jam setelahnya. Kami segera mendirikan tenda serta memasak minuman hangat dan makan malam. Menu malam itu adalah nasi, sayur sop, mie instan, dan sarden. Menjelang tidur, Erwin mengajak saya untuk memperbaiki tenda anak-anak UMP dan memasangkan flysheet, sambil terus berdoa agar tidak turun hujan malam itu. Dua orang dari mereka kami ajak untuk tidur di tenda kami.

Pagi harinya, tiga orang yang tidur di tenda kartun itu ternyata sehat wal afiat! 😀 Kami segera membersihkan alat masak dan segera membuat sarapan. Kami memasak nasi, menggoreng pempek yang dibawa dari Palembang, membuat omelet, tempe dan dendeng goreng, serta kentang tumbuk (sarapan berenergi yang sebenarnya  cocok di gunung, karena gampang dibuat dari kentang, susu cair, keju, garam, dan bubuk merica)

Sarapan

Sarapan

Sekitar jam 10.00 WIB, rombongan kami mendaki Puncak Merapi. Cukup setengah jam hiking dari Pelataran. Jalur berupa tumbuhan kayu yang pendek di awal pendakian dan bebatuan. Puncak Merapi berupa kawah dengan air yang berwarna hijau (warnanya konon berubah-rubah, antara hijau dan putih). Kami merasa takjub atas pemandangan kawah dan tidak lupa mengambil gambar. Teman seperjalanan kami, anak-anak UMP bertenda kartun, terlihat sangat gembira karena pendakian mereka sukses sampai ke puncak, seperti tidak percaya atas apa yang mereka alami. Selamat ya, Bro. 😀

Kabut beberapa kali menutupi kawah, sehingga kesempatan mengambil gambar harus cepat-cepat dimanfaatkan. Oh ya, di sini, mengusir kabut dilakukan dengan cara melantunkan azan, tentu saja ini sifatnya percaya atau tidak.

Kawah Puncak Merapi, Gunung Dempo

Kawah Puncak Merapi, Gunung Dempo

Pelataran Gunung Dempo

Pelataran Gunung Dempo, lereng seberang adalah Puncak Merapi

Kami berkemas dan mulai turun jam 13.00 WIB dan tiba di shelter 2 jam 15.00 WIB. Di Shelter 2 inilah saya berpisah dengan rombongan, karena ingin mengejar waktu ke Palembang. Setidaknya saya harus tiba di tangsi 4 jam 18.00 WIB, agar bisa menelepon travel dan bisa dijemput jam 20.00 WIB. Besoknya ada seminar di kampus dan ini sangat penting. Jadi, dari shelter 2 saya mempercepat langkah dan sering berlari menuruni gunung. Syukurlah, bisa tiba jam 17.30 di Tangsi 4.

Saya beristirahat sebentar, memesan kopi, dan berbincang dengan anak-anak mapala FT Unsri. Mereka sangat ramah, sesama pendaki gunung memang selalu begitu (seperti halnya saat bertemu di jalur pendakian, di mana para pendaki saling menyapa). Dari Tangsi 4 saya naik ojek ke pabrik PTPN 7, tempat menunggu travel. Saya ingin pamitan dengan Pak Anton, tapi tidak bertemu dengannya. Tapi di posko, karena waktu itu saya pakai kaos Anniv 114-nya Milan, saya disapa dan mengobrol dengan seorang Milanisti dari Bengkulu. Kesamaan kegemaran, bahkan sekedar tim bola, memang bisa membuatmu akrab, meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya.

Akhirnya sampai juga keinginan naik Gunung Dempo. Tidak terbayang sebelumnya bila jalur Gunung Dempo semenantang itu, dan lebih tidak terbayang lagi adalah Puncak Merapi-nya yang ternyata bagus. Ini yang membuat pendaki manapun akan ingin kembali ke sana lagi. Ya, sampai jumpa di lain waktu, Dempo.

Terima kasih banyak untuk Erwin yang menjadi leader pendakian kali ini, mengkoordinir teman-teman, dan mempersiapkan pelbagai macam yang diperlukan. Juga Evan yang kocak dan Asep yang pendiam, rekan sepanjang perjalanan, kapan kita mendaki lagi?

Palembang, 31 Desember 2013

“Kabar baiknya, tas selempang saya tidak jadi hilang. Adalah seorang pelayan rumah makan yang menemukannya dan mengembalikan ke sopir travel. Terima kasih banyak untuknya”.

Enjoy Palembang

Dari segi pariwisata, Palembang sebenarnya termasuk kota yang tidak begitu istimewa. Ini dengan penilaian sederhana, seperti dari jumlah dan macam objek wisata. Wisata keindahan alam tidak banyak di sini, misalnya bila menghitung Pulau Kemaro, Sungai Musi, dan taman Punti Kayu. Bukit Siguntang, Taman Kambang Iwak, dan Taman Purbakala juga bolehlah dimasukkan dalam daftar ini. Selebihnya, ada beberapa objek wisata sejarah, seperti Museum Balaputera Dewa (yang sekarang berubah nama menjadi Museum Sumatera Selatan), Museum dr AK Gani, Museum Tekstil, Benteng Kuto Besak dengan bangunan-bangunan tua di sekitarnya: monpera, rumah burgemeester (walikota) Palembang yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, gedung waterleideng yang sekarang digunakan sebagai kantor walikota, gedung societiet, serta gedung schouburg (keduanya menjadi balai prajurit dan kantor Satpol PP). Selain itu, tentu saja ada Jembatan Ampera sebagai landmark kota (jembatan dan Sungai Musi-nya yang bagi saya selalu indah, meskipun ratusan kali saya lihat).

Bagi penduduk lokal, wisata Palembang adalah wisata belanja. Saban akhir pekan, maka mal-mal ramai sekali dipenuhi pengunjung dari kota Palembang sendiri, juga dari kota-kota lain di Sumatera Selatan. Warga kota dan wisatawan memang tidak punya banyak pilihan tempat dan macam wisata di kota ini, lebih-lebih yang kurang menyukai wisata alam dan wisata sejarah yang ada. Tapi, hal baiknya, Palembang sudah terkenal dengan wisata kuliner. Pempek, makanan terkenal ini, serta beberapa turunannya, sangat mudah sekali ditemukan di kota ini. Di mata saya yang perantau, warga Palembang sangatlah menggemari makanan khas mereka sendiri. Mereka makan pempek nyaris setiap hari, hampir-hampir seperti makan nasi!

Jadi, saat Ronron, teman saya di Stapala, datang ke Palembang kira-kira dua bulan yang lalu bersama seorang teman untuk menghadiri pernikahan teman mereka, saya sampaikan terlebih dahulu bahwa Palembang adalah kota yang biasa. Takutnya di bawah ekspektasi temannya itu (kalau anak Stapala yang memang suka ngebolang sih, saya tidak ambil pusing). Tapi dia bilang, temannya suka traveling dan suka dengan hal-hal tentang budaya dan sejarah. Oke, aman.

Dan setelah bertemu mereka, saya menyadari betapa serba kebetulan hubungan kami bertiga. Ini of the record karena kalau dijelaskan bisa jadi panjang. Tapi ujungnya, kami punya minat dan pandangan yang sama mengenai, misalnya, Sungai Musi sangat indah di malam hari.

Saya masih menyelesaikan pekerjaan di kantor sampai sore, jadi di malam hari baru bisa menjemput Ronron dan Mbak Lanny. Di hari pertama mereka datang, siang hari mereka sampai, langsung mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan pergi ke Pulau Kemaro. Dasar traveler. :geleng-geleng

Beberapa tempat yang kami kunjungi, saya buatkan pointer saja, adalah sebagai berikut (aidah, serasa bahasa laporan).

Martabak HAR di depan Masjid Agung

HAR adalah akronim dari nama pemilik usaha martabak india ini, yang didirikan di sekitar tahun 1930-an. Martabak HAR berupa martabak yang berisi dua buah telur ayam atau telur bebek (bisa dipilih), disajikan dengan kuah kari kentang, dan potongan cabai keriting dalam kecap asin. Tidak semua orang setulu’an (bahasa Plembang, artinya cocok) dengan rasa martabak ini. Tapi, kalau ke Palembang, makanan ini wajib dicoba.

Pindang Musi Rawas di Angkatan 45

Pindang di pulau Jawa adalah ikan yang diungkep dalam periuk atau kuali dan biasanya digoreng kembali bila ingin disajikan sebagai lauk. Tapi di Sumatera Selatan, pindang adalah semacam sop ikan. Ikan yang dijadikan pindang seperti ikan patin, ikan baung, ikan gabus salai, dan ikan semah. Tapi tidak saja ikan yang dijadikan bahan utama, bisa juga daging, udang, ayam, burung (seperti di Jejawi), dan bahkan di sebuah lesehan di Kota Pagar Alam, ada pindang kerupuk. Pindang rasanya asem pedas. Di Sumatera Selatan, ada beberapa pindang yang terkenal seperti pindang Sekanak, pindang Pegagan, pindang Meranjat, pindang Rupit, dan pindang Musi Rawas, yang dinamakan seperti nama daerah asalnya.

Kami mengobrol lama di sini, dan yang menyenangkan itu karena keduanya suka dengan citarasa Pindang Musi Rawas. Mbak Lanny orangnya sangat supel dan ramai. Bahkan sebelum kami meninggalkan tempat makan, Mbak Lanny dan Ronron sempat berfoto dengan para pramusaji. Mereka akrab seperti pernah saling kenal sebelumnya. Atau mungkin, para pramusajinya mengira kami awak media yang sedang mengulas kuliner di Palembang. 😀

Bunderan Stadion Jakabaring dan Jembatan Ampera

Malam belumlah begitu larut saat kami mampir di Bunderan Stadion Jakabaring di kawasan Ulu. Bunderan Stadion Jakabaring berupa bunderan kolam, dengan patung daun pohon aren dari alumunium bergaya futuristik, air mancur, rumput dan tanaman hias, serta lampu sorot yang berganti-ganti warna. Bunderan ini baru saja direnovasi untuk menyambut ISG ketiga yang diselengarakan di Palembang. Suasana bunderan ramai dengan warga kota yang datang, serta atlet atau offisial negara luar peserta ISG. Dari kawasan Jakabaring, kami mampir di Jembatan Ampera untuk mengambil foto. Anda tidak perlu bercerita pernah ke Palembang, bila punya foto dengan latar tulisan AMPERA warna hijau pada sebuah jembatan warna merah, kan?

Bunderan Stadion Jakabaring

Bunderan Stadion Jakabaring

Jogging di Taman Kambang Iwak

Pagi hari adalah saat yang tepat untuk menggerakkan badan dan mengisi paru-paru dengan udara segar. Diputuskanlah untuk jogging di Taman Kambang Iwak Besak, tempat biasanya penduduk kota Palembang berolahraga dan bersosialisasi (kata kakak saya yang lulusan arsitektur, taman kota sangatlah diperlukan bagi sebuah kota, agar masyarakat bisa saling kenal dan mencegah konflik horisontal). Taman Kambang Iwak adalah taman yang dibuat mengelilingi kambang (bahasa Plembang, artinya kolam), dengan jogging track dan tempat-tempat bercengkrama. Kolam itu sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari drainase perumahan Talang Semut bikinan Belanda. Di Sabtu pagi itu, Taman Kambang Iwak tidak begitu ramai. Sambil berjalan santai, kami berbincang mengenai kota dan budaya masyarakatnya. Mbak Lanny terlihat mengagumi suasana taman: orang-orang yang senam SKJ, pepohonan yang rindang, termasuk pohon bambu di sebuah kelokan yang tertata rapi.

Museum Sumatera Selatan

Dulunya, Museum Sumatera Selatan bernama Museum Bala Putera Dewa. Museum ini baru saja selesai direnovasi, bagian lobby-nya telah dibuka untuk umum, dengan ukiran relief kehidupan masyarakat Sumatera Selatan, dan lukisan motif bunga matahari pada dinding lainnya.

Ruang display Museum Sumatera Selatan terdiri dari beberapa ruang. Terdapat tiga ruangan besar dengan pembagian per zaman. Ruangan pertama untuk artefak dan fosil di zaman prasejarah. Ruangan kedua untuk masa prasasti dari zaman Sriwijaya (berisi cerita kedatangan Yang Dipertuan Hiyang, doa-doa yang puitis, hingga prasasti berisi kutukan bagi siapa yang berbuat dosa), arca-arca, tulisan dengan aksara Ulu pada bambu dan kulit kayu, kitab undang-undang yang berlaku di masa Kesultanan Palembang Darussalam, hingga senjata pada masa perjuangan kemerdekaan. Ruangan ketiga untuk kehidupan sosial masyarakat Sumatera Selatan, berisi perkakas yang digunakan sehari-hari, berbagai macam songket dan kain tenun, serta pakaian pengantin. Terdapat juga tempat display arca dan patung display di luar ruangan. Oh ya, jangan lupakan dua rumah limas di bagian belakang museum, yang sudah sangat familiar karena tergambar di uang kertas pecahan 10.000 rupiah.

Mbak Lanny bercerita mengenai pengalamannya mengunjungi museum-museum di Jepang, bagaimana di sana kunjungan museum dibuat menarik, seperti menyelesaikan misi, dengan stempel-stempel menarik yang dapat didapatkan pengunjung bila memasuki ruangan dan dapat ditukarkan dengan hadiah di akhir kunjungan. Ide demikian mungkin bisa diterapkan di museum di Indonesia, agar pengunjung (khususnya anak-anak) antusias, yang tentu saja membuat kunjungan museum bukanlah sesuatu yang membosankan lagi.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ruangan display-nya rapi dan nyaman.

Museum Sumatera Selatan

Museum Sumatera Selatan. Ronron dan Mbak Lanny melihat kain songket.

Meseum Sumatera Selatan

Meseum Sumatera Selatan. Rumah Bari, rumah limas khas Palembang, di bagian belakang museum.

 

Hutan Wisata Punti Kayu

Dari Museum Sumatera Selatan, kami mengunjungi Hutan Wisata Punti Kayu. Hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan ini terletak di dalam kota, berisi pohon-pohon cemara, wahana permainan sederhana, dan kebun binatang mini. Kami menikmati suasana hutan kota dengan mengobrol di gazebo sambil menikmati es kelapa muda. Juga berfoto dengan gajah yang dapat dinaiki oleh pengunjung.

Punti Kayu

Punti Kayu. Berfoto bersama gajah. 😀

Mie Celor Pasar 26

Mie celor (bahasa Plembang, celor artinya rebus) adalah mie gemuk-gemuk yang direbus, disajikan dengan siraman kuah gurih, rebusan tauge, dan telur rebus. Kuahnya itu yang biasanya rasanya aneh bagi para pelancong; karena rasanya yang tidak begitu kuat. Seperti Mbak Lanny dan Ronron yang merasa kesulitan untuk mendefinisikan rasa dari mie ini. Tapi percayalah, bila telah lama di Palembang, kita mungkin bisa-bisa menjadi penggemarnya. 😀

Pempek Saga Sudi Mampir

Pempek yang terkenal di luar Palembang ada beberapa, sebut saja Candy, Vico, Nony, dan Beringin, tapi ada satu lagi pempek enak yang jarang sekali disebut. Adalah Pempek Saga Sudi Mampir, yang ada di depan kantor walikota (yang sekarang juga punya outlet baru yang modern di Demang Lebar Daun). Saya sengaja mengajak Mbak Lanny dan Ronron ke sini, agar bisa mencicip pempek yang paling enak di Palembang, menurut saya sih. Mungkin karena pempeknya disajikan selalu hangat. Hanya saja, harga pempek di sini lebih mahal dibandingkan para pesaingnya. Mengenai enaknya pempek ini, sepertinya keduanya setuju, dan belakangan Mbak Lanny memesan beberapa kotak pempek yang dikirim ke Bali dan rumahnya di Jakarta. 😀

Menghadiri Resepsi di Bukit Golf

Tujuan utama kedatangan Mbak Lanny dan Ronron ke Palembang adalah untuk menghadiri pernikahan teman mereka di Palembang. Saya mengantar mereka berdua dan baru menyadari bahwa pengantin laki-lakinya saya kenal namanya dan anak Jurangmangu juga. Ini sebuah kebetulan lagi.

Makan Durian di Rajawali

Setelah acara pernikahan, mobil kami dapat tambahan dua orang tamu. Rencananya kami akan mencari buah durian. Saya menyarankan di Jalan Rajawali, karena pengalaman di sini duriannya bagus-bagus. Sebenarnya ada tempat satu lagi, dengan harga yang lebih murah, yaitu di Pasar Kuto. Tapi karena sudah malam, dipilihlah di Jalan Rajawali saja. Duriannya memang enak-enak, dan kami mengambil beberapa foto yang lucu di antara durian-durian yang digantung pada gerobak.

Pulang

Minggu pagi, tiba saatnya Mbak Lanny dan Ronron untuk pulang ke Jakarta. Saya menyempatkan untuk membeli cindera mata untuk keduanya. Sebenarnya tokonya belum benar-benar dibuka, namun dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin, akhirnya mbak-mbak penjaganya luluh juga (padahal, mbak-mbaknya sebenarnya merasa kasihan :D).

Selama tiga hari mengantarkan mereka berdua, rasanya sebenarnya lumayan capai. Tapi, karena dasarnya saya senang jalan-jalan, tidak begitu terasa jadinya. Apalagi, Mbak Lanny dan Ronron adalah tipe yang bisa merasakan keindahan dan kekhasan kota di balik Kota Palembang yang biasa, seperti teman-teman saya yang pernah datang sebelumnya, pada suasana dan pemandangan kota yang sepertinya biasa.

Mungkin juga karena bukanlah yang paling penting apa yang kita kunjungi, namun dengan siapa kita kunjungi. Seperti halnya bukan apa yang kita makan, tapi dengan siapa kita makan. Ya, begitulah kira-kira.

Palembang, 31 Desember 2013

“Sudah empat tahun di sini, mungkin ini adalah tahun terakhir di kota ini. Harus sudah siap mengangkat ransel dan bertualang lagi”.

Hari terakhir kuliah di Bukit

Kuliah di hari terakhir, bersama teman-teman Palembang yang baik.

Kuliah di hari terakhir, bersama teman-teman Palembang yang baik.

Sudah satu setengah tahun, hari Sabtu saya tersita untuk ini. Mungkin hanya untuk tambahan gelar akademis di belakang nama. Sekedar gaya. Padahal, bertambahlah juga tanggung jawab di tempat bekerja, juga tanggung jawab kepada ilmu pengetahuan. Itu tentu saja bukan hal yang ringan.

Sudah kepalang tanggung saya memasuki dunia akuntansi. Jadi sekalian saja mendaftar di Bukit, mumpung di Palembang ada sekolahnya. Kalaupun sampai di sini, dan beberapa jangka waktu di masa depan, saya merasa akuntansi bukan dunia saya, tidaklah mengapa. Tidaklah ada kata rugi dalam mencari ilmu. Bukankah begitu?

Palembang, 23 Desember 2013, 01:08 WIB, sambil menunggu Derby della Madonnina

“Selamat datang hari-hari Sabtu! Saya merindukan tidur di hari siangmu :D”