Bagi saya, naik gunung adalah sebuah rekreasi. Seperti halnya pergi ke pantai atau ke taman. Gunung adalah di mana kita melihat pemandangan alam, menghirup segarnya udara, menyegarkan pikiran yang sedang suntuk, dan mendapat teman. Pikiran bahwa naik gunung adalah menaklukkan gunung selalu saya singkirkan dari kepala. Kita naik gunung, bukan pergi berkelahi. Lagipula, bagaimana mungkin manusia bisa menaklukkan gunung? Sedangkan selama ini, betapa kita sering merasa tak berdaya apabila gunung berapi aktif sebentar saja, mengeluarkan lava dan abunya serta menggetarkan wilayah sekitar dengan dentumannya, memaksa manusia mengungsi menjauh dari rumah dan harta benda yang mereka miliki.
Libur Natal tahun ini saya manfaatkan untuk mendaki Gunung Dempo di Pagar Alam, Sumatera Selatan, dari ajakan ketiga teman: Erwin, Evan, dan Asep. Erwin adalah junior saya di Stapala, tapi bila pengalaman naik gunung, saya tentu saja kalah dengan dia, dengan 20 puncak gunung yang sudah dia daki (dan ini adalah pendakian Dempo ketiga). Evan dan Asep bukanlah dari organisasi pegiat alam, bahkan Asep baru kali ini mendaki gunung. Namun, Evan sudah beberapa kali naik gunung sebelumnya dan dia merasa ketagihan. Sedangkan Asep, dia anak Bea Cukai, jadi jangan remehkan fisik dan mentalnya.
Kami berangkat ke Pagar Alam Kamis malam jam 19.00 WIB dengan menaiki travel Sinar Dempo. Di rumah makan Bintang Sumatera di Prabumulih, kami mampir untuk makan, dan di sinilah tas selempang saya berisi kamera saku, cokelat untuk selama pendakian, pisau survival, dan alat sketch tertinggal. Saya berusaha agar kehilangan mereka tidak mempengaruhi mood mendaki kali ini. Benda paling berharga dalam rupiah adalah kamera saku, tapi masih ada kamera 2 MP dari ponsel cupu saya untuk mengabadikan momen selama pendakian nanti. 😀
Kami tiba sekitar jam 03.30 WIB di pabrik teh PTPN 7 di Gunung Dempo. Kami akan kulo nuwun dengan Pak Anton, penjaga Gunung Dempo. Sebelumnya, kami tidur sampai subuh di posko belakang rumah Pak Anton dan di masjid PTPN. Paginya, Pak Anton menelepon truk teh untuk mengantar kami bersama beberapa rombongan lainnya (anak-anak UMP dan mapala FT Unsri Layo) ke Tangsi 4, perkampungan kecil tempat titik awal pendakian.
Erwin bilang, Pak Anton punya versi lain sejarah kerajaan Sriwijaya. Erwin sempat memancing agar kapan-kapan Pak Anton mau bercerita lagi tentang itu. Sial, beliau bilang, “Ah, wawancara kan mahal”, sambil terkekeh jual mahal. Sejak rombongan mereka melihat siluet penari dengan pakaian kerajaan mengelilingi tenda mereka di Puncak Gunung Kerinci, Erwin tertarik dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Ah, saya akan ke Pagar Alam lagi untuk mengorek informasi penting itu. Mungkin dengan membawakan madu Sumbawa, Pak Anton akan berbaik hati menceritakannya lagi.
Perjalanan dari pabrik PTPN 7 sampai dengan Tangsi 4 ditempuh kira-kira 45 menit, dengan melewati perkebunan teh. Kami packing ulang di warung Pak RT (yang akrab dipanggil ayah dan emak untuk istrinya) mengurangi beberapa alat dan logistik yang bisa ditinggal, sarapan, dan memesan nasi bungkus untuk makan siang di perjalanan. Kami berempat akan mendaki bersama lima orang mahasiswa UMP (kampus S1 saya nih! :D), hingga rombongan kami berjumlah sembilan orang.
Rombongan kami mulai mendaki jam 10.00 WIB, tiba di Shelter 1 jam 12.00, dan Shelter 2 jam 15.00. Jalur Gunung Dempo bisa dikatakan cukup berat, karena terus mendaki, sedikit sekali jalan mendatar, dan keadaan jalur yang basah serta licin. Apalagi di shelter 2 hujan turun dengan sangat deras. Empat orang anak UMP dalam rombongan baru saja mendaki gunung, hingga perjalanan tidak bisa dipaksa cepat. Sebenarnya yang sedikit bikin kami geleng-geleng kepala adalah, persiapan alat mereka yang sangat minim. Tenda yang mereka bawa adalah tenda untuk anak-anak yang bergambar kartun (yang tiang-tiangnya tertinggal pula sebelum shelter 2 :tepok jidat:), raincoat yang berbahan mirip plastik kresek yang gampang rusak, dan mereka tidak membawa matras serta sleeping bag. Bagaimana bisa mereka berani naik gunung di musim hujan dengan alat seperti itu? :jedotin jidat:
Kami sampai puncak Dempo jam 19.30 WIB dan sampai di pelataran (lembah antara Puncak Dempo dan Puncak Merapi) setengah jam setelahnya. Kami segera mendirikan tenda serta memasak minuman hangat dan makan malam. Menu malam itu adalah nasi, sayur sop, mie instan, dan sarden. Menjelang tidur, Erwin mengajak saya untuk memperbaiki tenda anak-anak UMP dan memasangkan flysheet, sambil terus berdoa agar tidak turun hujan malam itu. Dua orang dari mereka kami ajak untuk tidur di tenda kami.
Pagi harinya, tiga orang yang tidur di tenda kartun itu ternyata sehat wal afiat! 😀 Kami segera membersihkan alat masak dan segera membuat sarapan. Kami memasak nasi, menggoreng pempek yang dibawa dari Palembang, membuat omelet, tempe dan dendeng goreng, serta kentang tumbuk (sarapan berenergi yang sebenarnya cocok di gunung, karena gampang dibuat dari kentang, susu cair, keju, garam, dan bubuk merica)
Sekitar jam 10.00 WIB, rombongan kami mendaki Puncak Merapi. Cukup setengah jam hiking dari Pelataran. Jalur berupa tumbuhan kayu yang pendek di awal pendakian dan bebatuan. Puncak Merapi berupa kawah dengan air yang berwarna hijau (warnanya konon berubah-rubah, antara hijau dan putih). Kami merasa takjub atas pemandangan kawah dan tidak lupa mengambil gambar. Teman seperjalanan kami, anak-anak UMP bertenda kartun, terlihat sangat gembira karena pendakian mereka sukses sampai ke puncak, seperti tidak percaya atas apa yang mereka alami. Selamat ya, Bro. 😀
Kabut beberapa kali menutupi kawah, sehingga kesempatan mengambil gambar harus cepat-cepat dimanfaatkan. Oh ya, di sini, mengusir kabut dilakukan dengan cara melantunkan azan, tentu saja ini sifatnya percaya atau tidak.
Kami berkemas dan mulai turun jam 13.00 WIB dan tiba di shelter 2 jam 15.00 WIB. Di Shelter 2 inilah saya berpisah dengan rombongan, karena ingin mengejar waktu ke Palembang. Setidaknya saya harus tiba di tangsi 4 jam 18.00 WIB, agar bisa menelepon travel dan bisa dijemput jam 20.00 WIB. Besoknya ada seminar di kampus dan ini sangat penting. Jadi, dari shelter 2 saya mempercepat langkah dan sering berlari menuruni gunung. Syukurlah, bisa tiba jam 17.30 di Tangsi 4.
Saya beristirahat sebentar, memesan kopi, dan berbincang dengan anak-anak mapala FT Unsri. Mereka sangat ramah, sesama pendaki gunung memang selalu begitu (seperti halnya saat bertemu di jalur pendakian, di mana para pendaki saling menyapa). Dari Tangsi 4 saya naik ojek ke pabrik PTPN 7, tempat menunggu travel. Saya ingin pamitan dengan Pak Anton, tapi tidak bertemu dengannya. Tapi di posko, karena waktu itu saya pakai kaos Anniv 114-nya Milan, saya disapa dan mengobrol dengan seorang Milanisti dari Bengkulu. Kesamaan kegemaran, bahkan sekedar tim bola, memang bisa membuatmu akrab, meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya.
Akhirnya sampai juga keinginan naik Gunung Dempo. Tidak terbayang sebelumnya bila jalur Gunung Dempo semenantang itu, dan lebih tidak terbayang lagi adalah Puncak Merapi-nya yang ternyata bagus. Ini yang membuat pendaki manapun akan ingin kembali ke sana lagi. Ya, sampai jumpa di lain waktu, Dempo.
Terima kasih banyak untuk Erwin yang menjadi leader pendakian kali ini, mengkoordinir teman-teman, dan mempersiapkan pelbagai macam yang diperlukan. Juga Evan yang kocak dan Asep yang pendiam, rekan sepanjang perjalanan, kapan kita mendaki lagi?
Palembang, 31 Desember 2013
“Kabar baiknya, tas selempang saya tidak jadi hilang. Adalah seorang pelayan rumah makan yang menemukannya dan mengembalikan ke sopir travel. Terima kasih banyak untuknya”.