Mencoba Buku Sket Baru

Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang

Buku sket saya yang ukuran A5 hilang. Saya berulang kali ke toko buku Gramedia untuk mencari, semoga ada stok buku sket dengan kertas Canson ukuran yang sama. Karena belum ada, saya coba cari di internet, kalau-kalau ada yang menjual buku sket yang bagus. Ketemu, pembuatnya ada di Jogja, Riphy Sketchbook. Saya lalu memesan buku sket dengan kertas Canson 300 gsm ukuran A5 dan dengan kertas hawai ukuran 100 x 190 mm.

Karena bukunya tiba hari Sabtu, saya jemput paketnya di kantor pos. Ternyata, kantor pos hanya terlihat sepi di luar saja, tapi di bagian dalamnya begitu sibuk. Beberapa petugas sibuk memilah-milah tumpukan paket dan menaruhnya di lemari-lemari kayu atau kantung-kantung besar. Seorang Bapak menanyakan dengan bersahabat apa gerangan maksud saya datang. Tidak butuh waktu lama, paket itu ditemukan, dan saya takjub dengan ringan tangannya beliau.

Sebenarnya saya tidak mengerti dengan kertas apa yang terbaik untuk menggambar. Dari artikel di internet yang saya baca, kertas terbaik itu tergantung siapa yang menggambar, mana kertas yang dia rasa paling cocok. Contohnya, Lapin, dia menggambar dengan kertas buku akunting. Gambarnya jangan ditanya bagusnya.

Dari beberapa referensi di internet, kertas yang bagus salah satunya adalah Canson. Buku sket saya yang hilang itu kertasnya bermerek Canson dengan berat 110 gsm. Kertas ini bagus, bersih, halus, dan tidak mengelupas bila menggunakan cat air. Namun, mungkin karena tipis, tinta pena gambar akan merembes, bila goresan pena berhenti sebentar di satu titik. Cat air juga bisa tembus karena memang tidak untuk jenis pewarna itu.

Kata penjual buku sket yang saya pesan, kertas Canson 300 gsm Watercolor adalah yang paling bagus untuk pena gambar dan cat air. Setelah saya coba, saya mesti setuju dengan pendapatnya ini. Awalnya saya sedikit terkejut dengan tebalnya, tapi kinerja kertasnya bisa diandalkan. Tinta pena gambar tidak merembes dan cat air menyerap dengan baik. Bahkan saya coba membuat gambar dengan cat air pada dua sisi di selembar kertasnya, warnanya tidak tembus. Ya, buku sketnya patut menjadi rekomendasi.

Oh ya, saya mulai menggambar tanpa menggunakan pensil sekarang dan langsung menggunakan pena gambar. Sebenarnya, pada beberapa sket saya pernah langsung menggunakan pena gambar, tapi khusus bila waktunya tidak banyak (karena bila menggunakan pensil dan pena, meskipun lebih rapi, namun lebih lama). Nah, saya mencoba konsisten untuk langsung menggunakan pena. Dengan langsung menggunakan pena, kita dipaksa jujur atas goresan yang telah kita buat.

Lama-lama, saya jadi menemukan kesamaan antara akuntansi dan sketching, sama-sama tidak boleh menggunakan pensil! 😀

Palembang, 11 Maret 2014

“Padahal kan laki-laki susah bila harus jujur :D”

Sketching Masjid Agung Palembang

Sketching Masjid Agung Palembang

Sketching Masjid Agung Palembang Sumsel

Sketching Masjid Agung Palembang Sumsel

Rumah Kapitan

Rumah Kapitan, Palembang

Rumah Kapitan, Palembang

Lokasinya di kawasan 7 Ulu, tidak begitu jauh dari Jembatan Ampera. Rumah kapitan adalah rumah kediaman pemimpin orang-orang  Tionghoa yang mulai mendiami Palembang di masa lalu. Dulunya, kawasan 7 Ulu bisa dibilang sebagai kawasan pecinan di Palembang. Namun sekarang, peninggalan yang bernuansa Cina di sana tidak banyak. Yang tersesisa salah satunya adalah rumah kapitan itu, yang terdiri dari dua rumah besar memanjang, satu berupa rumah panggung kayu, dan satunya berupa rumah berdinding bata tebal. Keduanya sekarang berfungsi rumah kediaman keturunan sang kapitan dan rumah untuk menyimpan abu leluhur.

Bangunan rumah kapitan bergaya campuran Eropa, Cina, dan Palembang.  Dinding dan tiang-tiangnya tebal dengan atap limas khas Palembang.

Saya beberapa kali ke sana. Sehari setelah Imlek tahun ini, saya berkunjung kembali. Di salah satu rumah, terlihat beberapa gadis remaja yang sedang berlatih tari tradisional. Sedang di halamannya, anak-anak yang lebih kecil tampak ramai bermain. Saya mengisi waktu dengan membuat sket salah satu rumah. Dan biasa, anak-anak kecil itu datang mengerubuti. Anak-anak kecil memang selalu tertarik dengan orang yang sedang menggambar, seperti laron yang tertarik dengan cahaya lampu teplok. 🙂

Saya sempat berbincang dengan seorang keturunan India yang sedang mengunjungi adiknya yang tinggal di sekitar rumah kapitan. Juga beberapa orang beretnis Tionghoa yang datang berziarah di rumah itu. Palembang yang merupakan kota pelabuhan sungai memang didiami oleh etnis yang beragam.

Sket yang saya bikin ini dibuat dengan pensil terlebih dahulu. Sebenarnya cara seperti ini tidak populer, karena tidak jujur atas garis-garis yang mungkin salah dibuat. Men-sket seharusnya tidak takut atas kesalahan itu. Lagipula, membuat sket dengan pensil terlebih dahulu seperti  bekerja dua kali, karena goresan pensil akan ditimpa lagi dengan tinta pena.

Palembang, 11 Maret 2014

“Anak-anak kecil di situ juga seperti terheran-heran melihat Ivon. Mereka bahkan bilang, semisal: “Napo motornyo cak itu, Kak?”, atau,”Cak motor Mister Bin”, dan tertawa-tawa saat Ivon tak langsung menyala meski disela tiga-empat kali. Dasar anak-anak.”

Rumah Kapitan, Palembang

Rumah Kapitan, Palembang

Berkemah di Pantai Tanjung Kalian, Bangka

Saya sengaja merebahkan diri di atas pasir pantai. Di atas adalah langit malam yang begitu cerah seluas pandangan. Bimasakti melintang di langit, putih terang seperti kabut. Cahaya lampu dari Mercusuar Tanjung Kelian secara berkala menyapu cakrawala. Suara debur ombak dan desau angin pantai membuat malam semakin tenteram.

Sejak tadi pagi (24/8/2013), kami menjejakkan kaki di bagian barat pulau timah itu. Kami datang dari Palembang, berangkat pukul tujuh tiga puluh, dan menempuh dua setengah jam perjalanan dengan menggunakan jetfoil Sumber Bangka 7. Tidak banyak hal menarik selama perjalanan menyusuri Sungai Musi hingga jetfoil membelah Selat Bangka. Kecuali bila kita bisa menikmati pemandangannya; karena Sungai Musi itu sendiri, deretan rumah-rumah panggung tepi sungai, rawa-rawa, dan di suatu tempat di mana ada puluhan anak-anak berenang di sisi jetfoil yang senang sekali bila dilempar uang kertas. Kau harus mencoba menyusuri Musi sekali waktu.

Kami begitu penasaran dengan mercusuar yang putih tinggi menjulang tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Kelian. Bangunan itu jelas buatan di masa kolonial, terlihat cantik. Apalagi bila definisi cantikmu adalah putih dan tinggi semampai (itu manusia apa tiang masjid ya? :D). Kata Pak Supri, penjaga mercusuar, pengunjung bisa menaiki tangga sampai ke pucuk mercusuar. Tarifnya tidak mahal, Rp5000,00 saja per orang. Kami tentu saja tidak melewatkan itu.

Mercusuar Tanjung Kalian

Mercusuar Tanjung Kalian

Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa leluasa memandang sekitar. Pemandangan Selat Bangka, ujung-ujung pantai bagian barat, garis pantai di selatan, hingga wilayah perkotaan di sebelah utara, sejauh mata bisa memandang.

Pemandangan dari atas mercusuar

Pemandangan dari atas mercusuar

Ngobrol sama Pak Supri

Ngobrol sama Pak Supri

Setelah dari mercusuar, lapar mendera sehingga kami mencari warung makan untuk makan siang. Sebelumnya, Pak Supri menyarankan kami untuk menggunakan travel, bila ingin jalan-jalan ke Muntok atau ke Bukit Menumbing. Sambil menyantap makan siang di depan pelabuhan, yang pemilik warungnya adalah orang Palembang (dan punya tato Slank di lengan kanannya :D), kami menunggu datangnya mobil travel. Sempat kami dan supir travel berselisih paham,  karena tentu saja kami baru akan setuju bila tarif dan rutenya cocok, sedangkan dia menganggap kami sudah setuju dari awal. Akhirnya, asal idak jadi bae, kami sepakat dengan tarif Rp250.000,00 dengan minibus Daihatsu Xenia di luar bensin, untuk mengantar kami ke Bukit Menumbing. Harga yang cukup sepadan kami rasa, mengingat kami rombongan berlima.

Bukit Menumbing adalah tempat bersejarah di mana Soekarno, Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S. Suryadarma, Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Agus Salim, pernah diasingkan. Perjalanan ke Menumbing tidaklah lama, sekitar 45 menit, namun setelah Muntok, mobil akan melewati jalur sempit, berliku, yang kiri-kanannya hutan. Di suatu ketinggian, kami berhenti di sebuah shelter yang dari tempat itu, kami bisa melihat pemandangan Muntok dan kawasan pantai dari atas.

Di puncak Bukit Menumbing terdapat Wisma Menumbing tempat para pejuang bangsa tinggal selama pengasingan. Udara di wisma terasa dingin, berasa sekali karena kami baru datang dari kawasan pantai. Bangunan wisma masih terlihat bagus dan terawat. Di dalam wisma, kita bisa melihat mobil Ford BN 10 peninggalan Bung Karno, perabotan yang masih asli (termasuk kursi dan meja kerja sang presiden), foto-foto berbingkai, dan tulisan-tulisan penjelasan sejarah. Oh ya, kami sangat beruntung, karena penjaga mengijinkan kami memasuki kamar tidur Bung Karno dan Bung Hatta. Di dalamnya terdapat dua tempat tidur sederhana, meja kecil, peci yang digantung, serta sejadah yang dilipat rapi.

Wisma Menumbing

Wisma Menumbing

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Setelah dari Bukit Menumbing, Pak Supir mengantar kami ke Pantai Tanjung Ular. Pantai itu berupa teluk dengan beberapa perahu nelayan bersandar,yang terlihat lebih indah dari Pantai Tanjung Kelian; dengan airnya yang jernih, pasirnya putih berbutir besar-besar, dan batu-batu karang. Kami hanya sebentar saja di sana, sejenak melihat suasananya, dan mengambil beberapa gambar.

Dari Pantai Tanjung Ular kami kembali ke Muntok. Di tengah perjalanan, kami mampir di Batu Balai, sebuah struktur batu yang unik, seperti ada yang sengaja menyusunnya. Di tengah susunan batu, terdapat ruangan kecil yang terlihat sisa taburan bunga dan wadah untuk membakar kemenyan. Sepertinya, tempat itu biasa digunakan orang untuk bertapa.

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! :D

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! 😀

Muntok adalah kota kecil yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat. Muntok terlihat rapi, hijau, dan bersih. Di Muntok terdapat beberapa tempat yang kami kunjungi, misalnya monumen  Soekarno Hatta, Wisma Ranggam (tempat pengasingan juga, namun di Muntok), Masjid Jami’,  dan Klenteng Kung Fuk Min. Masjid dan klenteng berdiri berdampingan, mungkin untuk menggambarkan toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat Bangka.

Monumen Soekarno-Hatta

Monumen Soekarno-Hatta

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami'

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami’

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Wisma Ranggam.  Kali ini Cecep jadi model.

Wisma Ranggam. Kali ini Cecep jadi model gendum.

Sebelum kembali ke Tanjung Kalian, kami juga diantar berkeliling di komplek PN Timah, suasananya seperti perumahan Pertamina atau komplek Pusri di Palembang. Menuju Tanjung Kalian, kami melewati jalur yang berbeda, kawasan pantai sebelas selatan. Bangka benar-benar kaya dengan pantai.

Sekembali ke Tanjung Kelian, kami bersantai di tepi pantai sambil menikmati es kelapa muda (es dogan, sebutan warga setempat, sama seperti di Palembang) dan dua piring otak-otak ikan. Mendekati waktu matahari terbenam, kami menyusuri pantai, mencari tempat yang bagus untuk menangkap momen matahari tercelup ke dalam air laut. Pantau terlihat ramai dengan orang-orang yang bercengkrama dengan teman-teman atau keluarganya. Farid dan Cecep membawa kamera DSLR, keduanya memang gemar fotografi, dan sibuk menangkap gambar yang terbaik. Saya juga mencoba mengabadikan gambar dengan kamera poket saya, yang tentu saja hasilnya tidak bagus :D.  Jadi saja, akhirnya saya memilih duduk memeluk lutut, memandang matahari yang berwarna oranye, seperti orang patah hati.

Menunggu Sunset

Menunggu sunset

Menjelang malam, kami segera mendirikan tenda dome, di bawah pohon cemara, tidak jauh dari mercusuar. Beberapa dari kami ke tempat Pak Supri untuk meminjam toilet dan salat magrib. Setelah tenda berdiri, kami membeli nasi putih dan mie instan (jauh-jauh ke sini, makan mie instan :'(), makanan yang tersisa di warung makan depan pelabuhan. Kami membawa kompor gas kecil dan nesting, jadi bisa digunakan untuk memasak. Rencananya sih malamnya mau bakar ikan, tapi tadi sore kami tidak menemukan tempat orang menjual ikan. Jadinya rencana bakar dan makan ikan segar tinggal menjadi mimpi saja.

Masak seadanya :D

Masak seadanya 😀

Tapi tidak mengapa, setidaknya kami bisa menikmati pemandangan dan suasana pantai di saat malam, sambil mengobrol dan minum kopi buatan sendiri. Di daerah asal kami masing-masing, memang tidaklah sulit mendapatkan suasana sebagus itu. Tapi di Palembang, tempat kami bekerja, ceritanya lain lagi. Selain karena sangat jarang menemukan suatu malam yang langitnya bersih (akibat polusi udara dan polusi cahaya), juga kami jarang sekali menyempatkan diri memandang alam sekitar. Pekerjaan kadang kala membuat manusia menjadi mesin: hanya mengenal rutinitas tidur, berangkat ke kantor, balik ke kost setelah langit gelap, main video game, dan tidur lagi. Seperti tidak merasa bosan.

Sampai dengan pukul 12 malam, Pantai Tanjung Kalian tidaklah benar-benar sepi. Masih ada orang-orang yang menghabiskan waktu untuk memancing ikan sepanjang pantai. Di dekat kami mendirikan tenda, malah ada sekeluarga dengan dua anak kecilnya, menggelar tikar menunggu mata kail disambar ikan. Saya sempat berbicara dengan seorang pemancing dan dia menyebutkan nama ikan yang dia dapatkan malam itu.

Setelah tidur malam dengan nyenyak karena capek, pagi-pagi sekali kami bangun dan membereskan tenda. Tujuan kami adalah melihat matahari terbit. Kami berjalan di sisi sebelah pelabuhan, dan duduk sabar menunggu matahari muncul. Rasanya beruntung, bisa melihat sunset dan sunrise dalam perjalanan singkat kami.

Kami kembali lagi ke mercusuar, untuk mandi dan persiapan kembali ke Palembang. Saya menyempatkan diri untuk berenang di pantai. Airnya tidaklah sebening kristal, tapi cukup bersih. Segar sekali rasanya berenang di waktu pagi hari yang cerah, dengan sinar matahari yang masih hangat.

Kami segera membeli tiket jetfoil dan sarapan, tentu saja di warung depan pelabuhan. Oh ya, di hari itu, ada acara tapak tilas Bung Karno. Salah satu acaranya adalah pawai dengan berjalan kaki dari Muntok ke Tanjung Kalaian, dengan pakaian dan penampilan orang di masa perjuangan kemerdekaan. Di setiap kelompok pawai selalu ada peserta yang berpenampilan ala Soekarno, beberapa lainnya mengucir kepang rambutnya dan membawa rantang atau perlengkapan lain, dan setiap kelompok membawa bendera PNI. Mereka terlihat sangat menghayati perannya.

Rombongan "Bung Karno"

Rombongan “Bung Karno”

Jetfoil berangkat pukul 11.00, kembali membelah Selat Bangka dan menyusuri Sungai Musi menuju Palembang. Perjalanan ini memang terlalu singkat, rasanya sayang sekali hanya semalam. Tapi, kami beruntung bisa mengunjungi beberapa tempat wisata; Pantai Tanjung Kalian, Wisma Menumbing, Pantai Tanjung Ular, Batu Balai, Masjid Jami’, Klenteng Kung Fuk Min, Wisma Ranggam, dan melihat suasana Muntok. Itu tidak lepas dari kebaikan pak supir travel. Sepanjang jalan dia bercerita banyak tentang Bangka; tentang tempat wisata, sejarah, dan kehidupan masyarakatnya, seperti pemandu wisata. Terima kasih banyak untuknya.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

MP Mangkunegara Palembang, 15 Oktober 2013

“Selama ada teman yang bisa diajak bertualang, merantau tak ubahnya jalan-jalan :)”.

Beberapa informasi lainnya, mungkin berguna bila ingin ke Muntok:

  1. Penyedia angkutan jetfoil Palembang-Bangka ada dua, yaitu Sumber Bangka dan Bahari Ekspress.  Pelayanan keduanya relatif sama, dengan tarif Rp195.000,00 s.d Rp220.000,00. Untuk yang ingin kenyamanan, baiknya tidak memilih kelas ekonomi, karena duduknya di bagian buritan yang tidak berdinding dan bangkunya tidak ada senderan kepala. Jetfoil berangkat jam 07.00 pagi dari Palembang, dan jam 11.00 siang dari Bangka, dengan perjalanan 2,5 jam. Tiket bisa dibeli di kantor pemasarannya, atau bisa langsung ke Pelabuhan Boom Baru atau Pelabuhan Tanjung Kalian. Datanglah setidaknya jam enam pagi, takutnya tiketnya habis.
  2. Tarif sewa travel selama 24 jam di Muntok rata-rata Rp250.000,00 di luar bensin dan supir. Jasa supir sekitar Rp150.000,00 sehari. Bagusnya kita berkunjung ramai-ramai, jadi bisa menghemat biaya.
  3. Kami kurang mengerti tentang penginapan di Muntok. Tapi kabarnya, beberapa kamar Wisma Menumbing akan diubah menjadi penginapan.
  4. Untuk berkeliling Muntok mungkin cukup sehari, tapi bila ingin melihat Bangka, setidaknya butuh tiga hari. Pantai-pantai yang indah di Bangka adanya di Sungai Liat, sekitar tiga jam dari Muntok.
  5. Bila ingin berkemah di Pantai Tanjung Kalian, sebaiknya memberitahukan para penjaga mercusuar, dan tidak mendirikan tenda terlalu jauh dari mercuruar, dengan pertimbangan keamanan.

menyusuri Stasiun Medan-Masjid Al Mashun

Dapat panggilan untuk diklat ke Medan tentu membuat saya senang. Otak saya langsung berpikir untuk memanfaatkan waktu di sela-sela diklat untuk jalan-jalan. Tidak penuh empat hari di Medan, dengan dua harinya di ruang kelas, pastinya tidak akan banyak yang bisa dilihat. Namun di siang kemarin, di hari pertama tiba di sini, saya mencoba melihat-lihat suasana kota.

Tempat diklat kami agak jauh dari pusat kota. Namun, akses transportasi umum cukup ramai dan tersedia hingga malam hari. Setelah googling destinasi wajib di Medan dan  melihat peta di Google Maps, saya memutuskan untuk memulai perjalanan dari Stasiun Kota Medan, karena supir angkot manapun pasti paham rute menuju ke sana. Nah, bila saya tidak salah melangkah, maka ke arah selatan akan bertemu dengan Merdeka Walk (yang berada di depan stasiun), kawasan Kesawan, Mansion Tjong Afie, Istana Maimun, dan Masjid Raya Al Mashun. Kalau dilihat di peta sih tidak begitu jauh, jadi mungkin saja bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Saya jadi berjalan kaki dari Stasiun Medan sampai Masjid Raya Al Mashun. Lumayan berkeringat sangat. Tapi di kawasan Kesawan, ada banyak sekali gedung-gedung tua yang masih terlihat cantik, termasuk Gedung London dan Mansion Tjong Afie. Itu membuat jalan kaki menjadi menyenangkan, ataupun kalau tidak, anggap saja begitu :D. Apalagi di akhir rute ada Istana Maimun dan Masjid Raya, dua bangunan berusia ratusan tahun dengan arsitektur Moor-nya yang membuat kagum (kecuali pada halaman yang sedikit tercecer sampah serta beberapa bagian yang kurang terawat dan rusak). Dari gaya bangunan, ornamen, ukiran, dan lukisan pada kedua bangunan itu, dapat dibayangkan betapa tekun dan telitinya para insinyur, arsitek, tukang, seniman, pengrajin, dan pekerja lainnya saat menyelesaikannya. Betapa nyeninya mereka.

Berikut ini beberapa foto yang bisa saya ambil dengan kamera saku selama berjalan kaki. Oh ya, saat buka puasa, saya berbuka dengan bubur khas Masjid Raya, yang beberapa hari yang lalu saya lihat di tivi. Juga dikerubuti oleh anak-anak kecil yang senang sekali melihat orang menggambar. Bahkan, ada yang bilang dan terus berlari ke arah keran air: “Bang, aku ambilkan airnya, Bang!”, untuk mencairkan warna watercolour cake. Mereka menyebut pewarna atau cat dengan sebutan kelir. Kosakata yang terasa aneh bagi orang luar Medan untuk percakapan sehari-hari, selain kereta untuk sepeda motor, pajak untuk pasar, pasar untuk jalan, dan galon untuk SPBU. Kosakata terakhir saya dapatkan dari sopir angkot nomor 43. Dia adalah sopir medan, yang ditemui langsung di Medan.

Stasiun Medan

Stasiun Medan

Merdeka Walk

Merdeka Walk

Gedung London

Gedung London

Mansion Tjong Afie

Mansion Tjong Afie

Kawasan Kesawan

Kawasan Kesawan

Istana Maimun

Istana Maimun

Sketching Masjid Al Mashun

Sketching Masjid Al Mashun

Jamin Ginting, Medan, pagi di 25 Juli 2013

“Fyi, 24 Juli kemarin adalah hari terakhir beroperasinya Polonia sebagai bandar udara komersial Kota Medan”

bercerita lagi

Akhir pekan ini rasanya menenangkan sekali. Tugas dua bulan dari kantor sudah selesai, laporannya sudah terbit, dan saya bisa tidur lebih awal setiap hari. Sebenarnya, beberapa pekan belakangan ini tidak perlu begadang, meskipun ada beberapa hari yang mesti dilalui dengan tidur larut malam. Masalahnya, saya masih berusaha keras agar tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Padahal itu seringkali membuat saya menjadi kewalahan bila mendekati deadline serta menjadi jarang makan dan jarang mandi.

Ini pengalaman pertama saya memegang lap*ran keuangan, sesuatu yang biasa saja bagi sarjana akuntansi manapun. Namun, ternyata itu sangat banyak sekali yang mesti dilihat kecocokan angkanya. Bila tidak cocok, saya menjadi penasaran dan akan berpose seperti patung The Thinker, karya Auguste Rodin. Bila ketidakcocokan itu tidak kunjung ditemukan sebabnya, maka rasa penasaran itu berubah menjadi pusing dan ciri fisik lainnya yang menandakan stress ringan. Maka, bila sudah larut malam, saya akan segera tidur dan melupakan semuanya (oh, tentu saja tidak semuanya). Setidaknya itu mengurangi satu masalah, yaitu masalah kantuk. Nah, biasanya setelah tidur, walaupun sebentar, pikiran akan jernih lagi atau setidaknya tubuh menjadi fit kembali. Itu sangat membantu untuk menemukan angka mana gerangan yang membuat semuanya tidak imbang.

Sabtu hari ini tidak ada kelas kuliah karena baru saja ujian semester. Jadi saya ke rumah sakit, yang rencananya sudah lama sekali. Saya menjadi tergugah lagi saat membaca sepotong kisah Christino Ronaldo, yang rela tidak mentato badan karena dia rutin mendonorkan darahnya. Meskipun saya tidak memiliki tato—kecuali bekas imunisasi di lengan kanan—sayapun ingin bisa mendonorkan darah lagi.

Tapi saya datang terlalu siang, jadi saya mencatat nama-nama dokternya saja dan bertanya di mana mereka membuka praktik.

Oh ya, di belakang rumah sakit ada sebuah bangunan lama yang termasuk bagian rumah sakit juga. Saya tidak paham dengan arsitektur, hingga hanya bisa menebak bangunan itu sepertinya bergaya mediteranian. Gayanya seperti bangunan-bangunan di Italy dan Spanyol (seperti di film-film), dengan balkon melengkung dan railing dari besi tempa, jendela yang kecil, serta bagian atas jendela dan pintu yang berbentuk busur. Balkon dan railing itu yang tidak kuku, melengkung cantik dan rapi sekali.

Saya sempat masuk ke dalam, dan menemukan ruang lobby yang tinggi, dengan jendela-jendela kaca yang bisa dibuka tutup dengan tuas-tuas besar, sistemnya semacam cara kerja kaca nako.

Saya tertarik dengan bangunan-bangunan lama. Saya pikir, mereka benar-benar dibuat oleh seniman. Bentuknya indah dan teruji ketahanannya berpuluh tahun. Beberapa bangunan lama yang saya perhatikan, bentuknya selalu rapi dan kokoh. Misalnya, tangga melengkung di Watertoren yang sekarang menjadi Kantor Walikota Palembang, lengkungannya sangat rapi seperti hasil cetakan puding. Itu istimewa sekali, lain dari biasanya. Pasalnya, seringkali bangunan-bangunan publik di masa sekarang, apalagi bila dikerjakan oleh kontraktor lokal, seperti dibuat asal jadi.

Saya kemudian kembali ke tempat parkir, mengeluarkan buku sketch dan alat-alatnya di bagasi sepeda motor saya yang setia, karena selalu diservis dan diganti oli secara rutin. Mereka selalu ada di sana, jadi tidak susah bila memerlukan sewaktu-waktu. Dari pojok halaman di bawah pohon tanjung, saya mulai menggambar. Tapi, saya tidak terlalu betah di situ, karena tempat duduk dari cansteen yang tidak terlalu nyaman. Saya jadi berpikir untuk membeli kursi lipat yang saya lihat di Ac* Hardware. Namun, perlu dipertimbangkan lagi, karena sepertinya itu tidak muat di bagasi Vega Riani, disingkat Vega R, sepeda motor saya. 😀

Seperti di Spanyol kan? :D

Seperti bangunan di Eropa bagian selatan kan? 😀

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Palembang, 29 Juni 2013, 23:50

“Setelah tulisan ini; saya mungkin akan lebih rutin bercerita. Sekedar menertawakan diri sendiri. Seperti kemarin saya hampir ketinggalan pesawat sewaktu ke Jogja atau hampir kehilangan seluruh data di notebook saya :D”.

Sungai Ogan

Urat nadi kehidupan

Di sepanjang dia berpeluh mengalir

Untuk siapapun yang lahir, berbunga, berlari

tersenyum, ditiup angin

 

Duku, durian, karet, kopi, kelapa sawit

Daun-daunnya hijau tua dan hijau muda

Mengkilap seperti lukisan cat minyak

Sehabis hujan dan matahari bersinar di sisa senja

 

Ikan bermacam nama dan gemuk-gemuk

Juga ternak kambing, sapi, dan kerbau

Betapa subur tanah ini

Di Baturaja dan sekitarnya

Baturaja, 18 Desember 2012, 00:07 WIB

“Hari-hari terakhir kembali ke Palembang. Hai, Palembang, jangan cemburu, saya sepertinya mulai betah di Baturaja 🙂

Pemandangan sepotong Kota Baturaja dari lantai 3. Asap dan cerobong asap dikejauhan itu adalah kepunyaan pabrik Semen Baturaja. (di-sket saat pertama kali ke Baturaja, 2011 silam)

Pemandangan sepotong Kota Baturaja dari lantai 3. Asap dan cerobong asap dikejauhan itu adalah kepunyaan pabrik Semen Baturaja. (di-sket saat pertama kali ke Baturaja, 2011 silam)

Selamat jalan, Soner

Dia sudah menemani sejak Februari dua ribu sepuluh. Sudah dua setengah tahun lebih, sampai dia menghilang dua-tiga minggu yang lalu. Sepertinya dia terjatuh dari jaket parasut saya yang bertulis Kuliah Kerja Nyata UMP, di antara Siti Khadijah dan Simpang Polda. Di kantor, saya masih melihat angka jam di ponsel itu, dan saat makan di sekitar Simpang Polda, saya menyadari dia sudah tidak ada lagi. Saya masih menikmati makan malam saya dengan tenang dan berharap dia tertinggal di kantor. Ternyata setelah kembali ke kantor dan bertanya pada satpam, tidak ada ponsel yang tertinggal. Setelah menyusuri jalan sekali lagi (eh, dua kali), resmi sudah saya anggap dia hilang. Jalanan sedang sangat ramai, bila tidak dipungut orang, mungkin dia sudah berkeping-keping dilindas truk atau bus kota tanpa ampun.

Ponsel saya itu penampakannya jadul sekali (mungkin mirip orang yang punya :D). Sony Ericsson C702, sepertinya keluaran terakhir. Dibeli di Surabaya, melalui sahabat saya, Kadafi. Fiturnya sudah cukup lengkap dan sesuai kebutuhan, dan itu yang membuat saya betah memakainya. Ada kamera autofokus dengan lampu LED, pemutar musik dengan suara empuk, koneksi 3,5 G, A-GPS, google map, dan diklaim oleh pembuatnya tahan percikan air dan debu. Ponsel itu cocok untuk berkegiatan di alam terbuka. Tapi, tetap saja, karena penampakannya yang sudah tidak cantik lagi, seringkali teman saya menyarankan untuk mengganti yang baru. Tidak jarang mereka memandang dengan rasa prihatin, yang menegaskan bahwa manusia sebenarnya selalu punya rasa empati yang tinggi bahkan kepada benda mati sekalipun.

Pun saat saya mengabarkan bahwa ponsel saya hilang, teman-teman di kantor sepertinya lega dan berkomentar, seperti: “akhirnya hilang juga ya itu hape”, atau “memang saatnya diganti tuh, Ris”, atau “model Sony seperti itu kan waktu aku kuliah”. Hahaha.

Saat mudik dan kembali ke Palembang, ponsel itu hampir hilang dua kali. Pertama di Bandara Internasional Lombok, ponsel saya tertinggal di ujung mesin x-ray. Saya baru menyadarinya saat selesai mengantri untuk check in dan bergegas kembali ke pintu masuk dan menemukannya di meja petugas di sana. Kedua di Bandara Soeta, di hari yang sama, tertinggal di sebuah kursi di ruang tunggu, saat saya keluar untuk membeli makan. Seorang petugas kebersihan menemukannya dan menitipkan ke petugas maskapai penerbangan. Saya tidak tahu pasti hingga saya seberuntung itu, apakah karena petugas kebersihan itu sangat jujur, atau karena penampakan ponsel yang sudah tidak menarik lagi hingga siapapun tidak ada niat untuk mengambilnya dan terbit belas kasihan kepada pemiliknya.

Betapapun itu, ponsel itu sangat berarti bagi saya. Sudah banyak sekali kenangan yang kami alami berdua (#eaaaa). Pernah mendaki Tambora sama-sama, dan kami pernah memanjat pintu masuk Stadion Jakabaring, hingga dia terjatuh dari ketinggian sekitar dua meter sampai menyebabkan belasan piksel di layarnya mati. Saya bersamanya belasan jam dalam satu hari, tujuh hari dalam seminggu. Menggunakannya untuk mengambil foto untuk dipasang di blog, sesekali video call dengan keluarga, berkicau di twitter, mengetahui apa yang baru terjadi melalui situs-situs berita, googling tugas kuliah (atau jawaban kuis :D), mendengar radio, dan menjadi teman.

Sekarang saya punya ponsel baru dan nomor baru juga. Semoga saya lebih care untuk merawat keduanya. Misalnya tidak lagi menyimpannya di saku jaket parasut, yang struktur sakunya memang membuat barang rentan jatuh. Meskipun ponsel sekarang tidak ada fasilitas video call-nya (yang sesekali sangat penting bagi saya), tapi fitur lainnya saya rasa cukup. Bisa membaca dokumen office, tethering, push email, menyimpan kamus KBBI, bahasa daerah, hingga Merriam-Webster, dan pilihan mendownload ribuan aplikasi. Saya mungkin terdengar begitu antusias dengan fitur-fitur itu. Padahal ini sudah tahun 2012, dan saya baru merasa takjub dengan teknologi ponsel demikian, yang sebenarnya sudah dua-tiga tahun yang lalu menjadi tren di kalangan anak muda! 😀

Kenten, Palembang, 00:37 WIB, sambil melihat Chelsea-MU di tivi

“Malam tadi, saya bersepeda untuk melihat Ampera. Sepertinya sudah sebulan lebih saya tidak melihat gemerlap lampu jembatan itu. Bersepeda dengan santai, menikmati udara setelah hujan, dan makan malam di warung Martabak Har. Saya membawa buku gambar ukuran A5 dan mampir di Bundaran Masjid Agung. Sibuk dengan buku gambar dan duduk terpisah jauh dari orang-orang, saya tampak seperti orang aneh. Mungkin itu yang membuat juru parkir di sana menyapa dengan ramah saat saya beranjak pergi setelah selesai. Besok adalah Senin, dan kita harus percaya, setiap hari adalah hari yang baik :)”

Bunderan Masjid Agung

Bunderan Masjid Agung Palembang. Bila malam hari, apalagi malam minggu atau minggu malam, tempat ini selalu ramai oleh pengunjung. Malam ini, tidak semua air mancur dinyalakan. Lampu-lampu sorot berganti-ganti warna. Dan pengunjung ada yang berpose seperti foto model dadakan dengan fotografer seperti fotografer profesional pula. 🙂

93 million miles

Sketsa Kota Jambi

Atap sebuah hotel dan dept. store di Kota Jambi. Pemandangan ini terlihat dari jendela lantai empat tempat saya menginap, sore tadi. Jambi adalah matahari yang berwarna nila karena asap, masjid tanpa dinding, dan Sungai Batanghari yang membelah kota. Menggambar, seringkali bisa membantumu memperbaiki banyak hal.

Pertama adalah, ternyata sangat sedikit waktu yang saya luangkan untuk melihat kembali diri sendiri. Seharusnya saya beri jeda sedikit, mungkin sebelum tidur, dari selepas saya melamun atau main playstation sepulang dari kantor. Ya, sedikit saja untuk kembali memikirkan tujuan hidup, beserta rencana-rencana dan pencapaiannya selama ini. Atau sekedar untuk mencari inspirasi. Ini mungkin tidaklah sulit, namun memulai suatu rencana dari awal (setelah tertidur bertahun-tahun) sangatlah membutuhkan keinginan kuat dan keputusan tepat yang harus dipertimbangkan masak-masak.

Kedua adalah, saya rasa beberapa tahun belakangan hidup saya begitu stagnan. Bukan karena saya terlalu santai. Saya suka sifat saya itu dan saya menikmatinya. Bukan juga karena diukur dari segi materi. Namun, betapa saya merasa sangat nyaman dengan keadaan sekarang. Cita-cita pun seringkali mereduksi menjadi sekedar seperti: punya keluarga kecil dan bisa menyicil rumah. Di saat para pemuda lain bercita-cita berbuat banyak hal untuk orang banyak, saya di sini hanya menyia-nyiakan 1.300-1.500 cc volume otak pemberian Tuhan dan seringkali membiarkannya membeku.

Tapi rasa malas ini begitu kuat. Dia seperti sakit gigi yang membuatmu tidak bisa tidur dan asam mefenamat yang biasa dijual bebas di apotek tidak bisa berbuat banyak.

Jambi, 18 September 2012, 23.50 WIB

“Ketiga adalah, saya ingat Bapak dan Mamak. Memikirkan mereka di rumah jauh di sana, membuat suara-suara kota ini sejenak hening. Semoga Allah menjaga, menyayangi, dan  memberi kesehatan selalu untuk keduanya”.