Jurang Mangu [edited]

Kampus yang begitu sederhana itu dulunya, telah berubah sekarang. Bangunannya berkaca-kaca; seperti akuarium-akuarium raksasa. Jalan-jalan yang meliuk-liuk dan rerumputan khusus yang baru di tanam. Ada tulisan nama kampus  dari logam stainless–tegak tinggi di tengah-tengah kolam berbentuk lingkaran. Begitu flamboyan.

Kemarin malam saya kembali sebentar ke Jurangmangu. Menginap di posko Stapala di sana. Bertemu dengan Bang Cibob, Sebastian, Petoy, Udik, Mbah Terong, Mas Anom, Guntur, Erik, Konan, Petoy, Di’i, Yella, dan lain-lain rupa. Tidur di sana dengan sebelumnya mendengar Udik dan Sebastian berdendang lagu Mellow Mood.

“…Strike the hammer while iron is hot.
Open up your heart.
Open up your heart.
Let love come running in, darlin’,
Love, sweet love, darlin…'”.

Bangun subuh-subuh, tapi setelah sholat tidur lagi karena masih terasa sangat kantuk. Pagi-paginya mampir di kost Graha Satria, bertemu Dimas, dan bilang ke dia kalau dia semakin mirip bapak-bapak sekarang. Saya berikan sekotak pempek asli Palembang untuk Mas Iman dan Mbak Narsih, yang selalu menjaga kost kami saat kami kuliah dahulu. Bilang ke mereka, kalau pempek itu tinggal digoreng saja.

Sebentar ke Gedung E dan melihat calon anggota Stapala yang ikut diklat; yang sedang belajar membuat bivak darurat. Ada banyak juga yang ikut diklat. Mereka memakai baju kaos lengan panjang berwarna orens yang bertuliskan Diklat Stapala 2010 di bagian punggungnya. Saya juga masih punya satu baju dengan desain seperti itu, dan sering saya pakai ke mana-mana sampai sekarang. Tapi tahunnya tentu saja 2007, bukan 2010. Lihat sebentar saja dan bertemu teman-teman yang belum sempat bertemu sebelumnya. Ada Arsi, ada Uka, ada Azwina.

Siangnya ke Monas ada janji dengan seorang teman. Iseng ke toko buku Gunung Agung dan beli buku Drunken Mama–salah satu buku favorit saya–yang ditulis Pidi Baiq. Buku untuk teman sebagai kenang-kenangan.

Sore kembali ke kampus. Welly–kawan kuliah dulu–datang dengan sepeda motor, mengajak saya ke tempat usaha barunya. Sekarang dia sudah punya warung mie ayam. Hebat dia. PNS sekaligus pengusaha mie ayam. Mengobrol dengan dia ngalor ngidul di warungnya. Benarlah, kwetiau bakso di tempatnya sungguh enak. Kalian harus mencobanya sekali waktu.

Malamnya  makan mie di depan posko Stapala, bareng adik-adik tingkat dulu: Depi, Jalu, Boyo, Yeyek, dan Jupe. Oh, sangat menyenangkan bila masih punya teman-teman yang menyambutmu hangat. Mengomentari penampilan fisikmu, bertanya tentang kabarmu, membicarakan kota tempat tinggal barumu, dan bercerita tentang gunung-gunung yang baru saja didaki. Mereka bilang; insya Allah, bulan September ini Stapala akan ke Mount Elbrus, Rusia.

Semoga berhasil, teman.

Sungguh kegiatan saya hari itu begitu remeh temeh. Tapi, dari sini, entah adakah hubungannya, saya kembali menemukan motivasi yang telah lama hilang. Melihat kampus yang dibangun, adik-adik tingkat yang bikin tugas kuliah, perahu karet baru —Base Marrine–di ruang tamu posko Stapala, hingga buku-buku dalam kardus yang belum sempat diungsikan ke Palembang, seperti kumpulan pertanda yang ingin bilang ke saya: kamu harus belajar, Ris. Belajar yang keras. Sebagai bukti kalau kamu bisa bersyukur.

Posko Stapala, Pondok Jurang Mangu Indah, Tangerang, 8 Februari, 01:00 WIB [diedit sedikit di Palembang]

“Ingin ke Bandung, tapi tidak jadi. Karena waktu yang tiada leluasa, juga karena tidak ingin menambah kenangan yang akan sulit terlupa”