Ternyata duren yang dia maksud adalah ”kupu-kupu malam”–yang dia pun tidak menyangka awalnya, hingga akhirnya diberitahu oleh supir angkot di sana.
”Cantik-cantik, Ois. Saya rasa mereka masih seumuran anak SMP”.
”Kenapa nggak diajak jalan-jalan? Satu saja. Daripada jomblo begini terus…”
”Eh, kamu kira saya orang apaan?”, detik itu tawa kami meledak bersamaan.
”Kasihan…”
”Ya, kasihan…”
”Malam begini, harusnya mereka sibuk dengan PR sekolah…”
Saya, walaupun tidak dan belumlah pantas masuk ke dalam golongan manusia baik dan mulia, tentulah punya sedikit rasa sedih. Demikian pula kawan saya, tentu rasa simpatinya tidaklah kecil mengenai hal ini. Kami berdua sama-sama punya adik perempuan. Bahkan, saya tahu betul, kawan saya ini begitu sayang dengan kedua adiknya. Kenyataan memiriskan hati bahwa anak-anak perempuan telah dijadikan barang dagangan menimbulkan rasa cemas di hati.
”Jagapu ari siwemu re…”, katanya dengan tampang terbijak yang pernah saya lihat. Jagalah adik perempuanmu, artinya.
Ah, itu hanya satu potret anak-anak di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Negeri yang makmur, hingga orang tua tega menjual anaknya. Negeri yang sentosa, hingga sejak kecil, anak-anak perempuan didoktrin untuk tidak takut menjadi PSK. Negeri yang damai, hingga tidak ada yang berani mengganggu gugat atas kekeliruan akibat lingkaran setan kemiskinan ini. Negeri yang beradab, hingga laki-laki pun sesuka hati menghianati kesetiaan kepada agama dan keluarga.
Ayo kita teriak tentang komersialisasi anak-anak perempuan dan saya yakin mulut ini akan terbungkam saat melihat mereka berdiri-berderet di pinggir jalan. Dengan make up tebal dan lipstick merah menyala. Dengan lambaian tangan kepada laki-laki yang membuat remaja-remaja berumur belasan ini semakin terjebak dan tidak terbebaskan. Dengan tekanan kemiskinan yang memaksa mereka pulang dengan sejumlah uang di tangan. Apa yang bisa kita lakukan? Ingat, mereka tidak bisa disalahkan, Kawan.
Semoga kita bersama menyadarinya. Agar segera menyelamatkan tiang-tiang negara ini. Menyelamatkan kuntum-kuntum mawar negeri ini. Menyelamatkan pucuk-pucuk melati bangsa ini. Bagaimana caranya? Jujur, saya sendiri tidak mengetahuinya.
Kalimongso, Ahad, 21 Juli 2008
Saya hanya pernah melihat di sepanjang Jalan Raya Parung dan Cikarang. Ah, saudariku, belilah sebuah belati. Untuk menjaga diri dari laki-laki yang menghampirimu. Agar tidak ada lagi yang datang. Agar tidak lagi membuat wajahmu pucat karena terus begadang. Tidakkah bangku sekolah merayumu? Ah, aku tahu, biaya sekolah begitu mahal, ya aku tahu. Bahkan untuk menghidupi dirimu, keluargamu–khususnya saudara laki-lakimu yang pemalas itu–adalah sangat berat untukmu.