Catatan Perjalanan: Gunung Tambora, 15-18 September 2010 (Bagian I)

15 September 2010

12.30 WITA

Bang Ji, Yanuar, Kadafi, Bedo, dan saya sudah tiba di Terminal Ginte, terminal bus utama di Kabupaten Dompu. Bus “Ichtiar” dengan trayek Dompu-Calabai yang akan kami tumpangi sudah siap di sana. Kami sempat makan siang dengan nasi bungkus yang dibawa Bang Ji dan salat Dhuhur. Jam dua siang kata kondekturnya, bus akan berangkat. Oh, ya, ongkos busnya sebesar Rp160.000 untuk kami berlima. Perjalanan akan menempuh waktu sekitar tujuh-delapan jam.

 

terminal ginte, dompu

Kadafi (pegang jaket merah) berpose di depan bus Dompu-Calabai. Sebelahnya abang kondektur.

 

14.43

Bus mulai bergerak. Kami duduk di deretan kursi paling belakang. Seorang penumpang sebelah kami memutar lagu dengan ponselnya. Ada lagunya System of a Down, Once, Rhoma Irama, dan Bang Iwan Fals. Di balik jendela, langit terlihat mendung. Kami berharap, semoga tidak mendung di Tambora.

Memasuki kawasan Mada Prama, awan menumpahkan isinya. Tapi syukurlah tidak lama. Di Sori Utu, hujan mereda. Kebetulan di Cabang Banggo bus berhenti, segera kami berpindah tempat duduk: duduk di atap. Agar banyak pemandangan yang bisa dilihat.

Walau awalnya saya agak ngeri, tapi lama-lama jadi terbiasa duduk di atap yang tanpa pegangan itu. Menyenangkan, sambil mengobrol dan menikmati pemandangan selama perjalanan: lembah-lembah pertanian, tanah-tanah kering, rumah-rumah penduduk, dan horison Teluk Saleh. Tapi harus hati-hati terhadap dahan dan ranting pepohonan yang melintang. Misalnya, Yanuar, yang kena tamparan ranting pohon karena terpana melihat para gadis di tepi jalan. Sebenarnya kami juga; sampai tidak memperhatikan ranting di depan kami, tapi kan rantingnya di di sisi Yanuar duduk, jadi dialah yang kena. Hehehe.

 

tambora

Tambora sudah terlihat di kejauhan

 

17.30 WITA

Bus berhenti di Hodo untuk memberi kesempatan para penumpang rehat sejenak. Hodo adalah kawasan wisata; dengan mata air yang tidak pernah kering dan pantai berair bening. Sayang sekali, banyak sampah di sana. Kami sempat mencuci muka dengan air mata air dan sempat ke pantai. Senja sudah mulai turun. Laut dan pantai selalu terlihat indah di saat seperti itu.

 

hodo, dompu

Saat bus berhenti di Hodo

 

 

hodo, dompu

Pantai Hodo, senja hari

 

18.30 WITA

Bus tiba di kawasan Doro Ncanga, ditandai sebuah bukit kiri jalan dengan dua puncak, seakan-akan bercabang (Doro=gunung, bukit. Ncanga=bercabang). Doro Ncanga adalah kawasan peternakan sapi, kerbau, dan tempat melepas kuda-kuda. Padang rumput yang luas dengan pepohonan yang terpisah-pisah, mata air, hutan, dan kawasan pantai memberikan makanan dan nutrisi yang cukup bagi hewan ternak. Lebih-lebih pada musim hujan; di saat padang rumput menghijau selayak lapangan golf yang sangat luas. Ternak gemuk-gemuk bila musim hujan tiba.

 

tambora

Kerbau merumput. Tambora di kejauhan.

 

 

menuju calabai, dompu

Masuk kawasan Doro Ncanga

 

20.20 WITA

Bus tiba di Desa Calabai. Kami berteriak kepada bapak supir agar berhenti sebentar di depan Puskesmas Calabai. Kawan kami yang juga akan mendaki, Teguh, ada di sana. Teguh berangkat ke Calabai lebih dahulu, pagi-pagi, karena dia ada tugas piket di puskesmas. Dia memang perawat yang berdedikasi :metal:. Dari tepi jalan, dia memberikan kami nasi bungkus dan rokok untuk Bang Ji. Kadafi turun di sini, karena perutnya sakit. Teguh dan Kadafi akan menyusul ke basecamp Kapata, di Desa Pancasila, besok pagi.

21.45 WITA

Kami tiba di Desa Pancasila. Supir bus langsung mengantar kami ke depan rumah Bang Saiful Bahri atau akrab dipanggil Bang Ipul. Beliau adalah ketua Kapata, Kelompok Pencinta Alam Tambora, yang rumahnya (ketinggian 450-an mdpl) selalu menjadi basecamp para pendaki. Di ruang tamu rumahnya, kami bertemu Riani Jangkaru, presenter Jejak Petualang. Tapi sayang sekali, Riani Jangkaru hanya dalam bentuk poster yang ditempel di dinding. Itu kenang-kenangan dari Tim Jejak Petualang yang beberapa kali ke Tambora.

Di rumah Bang Ipul, kami bersih-bersih, makan, dan tidur. Besok kami harus bangun pagi-pagi.

Saya mengirimkan SMS ke rumah; kasih kabar kalau kami sudah tiba di Pancasila dan besok pagi mulai mendaki.

16 September 2010

05.30 WITA

Kami segera bangun. Yanuar pergi salat ke masjid, dan dialah yang bilang kalau tadi malam kami salah kiblat. Subuh tadipun juga salah. Semua salat hadap utara. Hadap ke Jepang. Kacau.

Kami bersih-bersih, berkemas, sembari menunggu Teguh dan Kadafi datang dari Calabai. Bang Ipul memberi kami teh hangat; minuman yang tepat di pagi yang lumayan dingin itu. Terima kasih, Bang. Bang Ji dan Bedo sibuk melinting rokok. Mereka punya satu kantong plastik tembakau, lengkap dengan kertas rokok.  Saya sibuk mencari-cari sinyal. Sinyal ponsel payah di sana.

 

basecamp kapata

Papan nama di depan rumah Bang Ipul

 

08.00 WITA

Teguh dan Kadafi tiba di rumah Bang Ipul; bawa lima nasi bungkus. Saat kami sarapan, Teguh mencari ojek untuk mengantar kami ke Palang Pintu Hutan. Bila berjalan kaki, dari rumah Bang Ipul sampai Palang Pintu Hutan bisa menempuh waktu dua-tiga jam. Kalau naik sepeda motor/ojek, cukup 15 menit saja.

08.55 WITA

Saatnya beranjak meninggalkan rumah Bang Ipul. Bang Ji, sebagai pemimpin tim, memimpin doa. Ada juga 4-5 pendaki dari tim lain yang bergabung. Lalu kami membentuk lingkaran, mengulurkan tangan di tengah-tengah, melambungkan ke udara, dan bersorak. Bersorak entah apa, yang penting semangat.

Kami menyewa empat ojek plus satu sepeda motornya Teguh. Kondisi jalan yang membelah kebun kopi itu tidak rata dan naik turun. Sebuah horor tersendiri naik sepeda motor ojek yang seperti tidak ada remnya, sambil kita memanggul keril.

 

pancasila, dompu

Naik ojek ke Pos Palang Pintu Hutan

 

09.10 WITA

Tiba di Palang Pintu Hutan. Di sana terdapat sebuah palang yang melintang, sebuah pondok jaga dan sebuah rumah penduduk. Sepeda motor bisa dititipkan di sini dengan tarif Rp20.000.

09.20 WITA

Kami menyusuri jalan setapak ke kanan dan berbelok ke kiri. Terdapat sedikit kebun kopi sebelum memasuki hutan. Saya berusaha memandang ke atas, berusaha mencari pemandangan gunung yang akan kami daki pagi ini. Tentu saja tidak terlihat.

Aye, Tambora, kami datang!  .\m/

(Bersambung)

Palembang, 28 September 2010, 21.20 WIB

“Baru bagian pertama nih :-)”

selamat idul fitri 1431 h

kartu lebaran

selamat lebaran ya 🙂

Dulu, setiap tahun menjelang lebaran tiba, Bapak selalu mempersiapkan kartu lebaran untuk dikirim kepada para kenalan. Jadilah kami anaknya yang masih kecil-kecil bertugas menempel perangko serapi mungkin. Berlomba siapa yang paling banyak menempel. Dan ketika dekat-dekat lebaran, kartu ucapan lebaran juga berdatangan. Kami biasanya berteriak-teriak bila pak pos datang untuk mengantar kartu ucapan dengan perangko yang beragam.

Indah sekali di masa itu. Saat kabar, cerita, dan ucapan selamat dituliskan di kertas yang bermacam warna (ada juga yang wangi) atau di kartu pos yang bergambar indah-indah. Yang punya sahabat pena tentunya sering sekali ke kantor pos untuk mengirim surat dan mendapat kiriman surat di sekolah. Jadinya, hobi filateli juga ramai. Teman saya, Farhan namanya, punya berapa jilid album perangko. Perangkonya macam-macam; tak sedikit juga yang dari luar negeri. Kami seringkali melihat koleksinya dengan rasa kagum. Ah, indah sekali.

Di momen lebaran tahun ini tidak ada salahnya bila mengirim kartu lebaran; bernosatalgia kembali ke masa lalu. Pasti beda rasanya dibanding mengirim SMS lewat ponsel.

Di kantor pos di dekat Benteng Kuto Besak ada dijual kartu ucapan bergambar Palembang. Ada gambar Benteng Kuto Besak, Jembatan Ampera, dan Masjid Agung Palembang. Cukup ditulis angka tahun hijriahnya saja, sudah ada kata-kata ucapannya. Kalau mau ditambah kata-katanya juga tinggal ditulis pakai pulpen. Harganya 2500 rupiah per lembar. Saya beli 40 lembar, lengkap dengan sampul putihnya.

Selain kartu ucapan, juga ada perangko Prisma yang bisa dipasang foto terserah kita. Dua puluh lembar perangko dikasih harga Rp50.000,00 dengan nilai perangko 1500 rupiah per buah. Istimewanya, dengan nilai segitu bisa untuk dikirim ke mana saja di Indonesia. Fotonya saya pasang foto Gedung P kampus STAN dua versi: yang jadul dan yang modern. Soalnya, saya bingung mau dipasang foto apa. Masa foto saya sendiri? Narsis betul. Juga masa fotonya mbak Dian Sastrowardoyo, memangnya saya ini siapanya dia?

Jadi total pengeluarannya Rp200.000,00. Saya kirim kartu-kartu itu ke semua teman seinstansi yang seangkatan di semua perwakilan di Indonesia; dari Banda Aceh hingga Jayapura; dari Mataram sampai Menado. Juga saya kirim untuk teman Stapala yang yang penempatannya agak jauh, seperti di Sulubussalam, Bulukumba, Pasangkayu, dan Kuala Tungkal. Saya kirim juga untuk Posko Stapala di kampus Jurangmangu.

Empat puluh lembar kartu ucapan pastinya juga masih kurang. Jadinya, kalau ada beberapa orang yang satu kantor, saya tulis nama mereka dalam satu kartu. Iya, biar irit. Hehehe.

Empat puluh kartu ternyata tidak sebentar untuk menuliskan dan menempelkan perangkonya. Sebelum bertugas ke Musi Rawas, sempat separuhnya saya tulis. Sisanya saya tulis di malam yang besoknya saya mesti pulang kampung. Jadinya malam itu saya tidak tidur sama sekali karena menyelesaikan kartu-kartu itu. Akibatnya, di pesawat Palembang-Jakarta saya tertidur pulas. Ileran pula. Sempat saya lihat mbak pramugari tertawa lihat saya ileran. Huh, memangnya orang tampan tidak boleh ileran apa?

Semoga semuanya bermanfaat. Setidaknya, teman saya pasti tersenyum lihat itu kartu. Seperti Arif Sulistyo yang bertugas di KPP Pratama Bulukumba. Dia bilang dia kira dapat surat dari KPK! Hahaha. Ini gara-gara di sampulnya ada logo KPN yang sekilas mirip logo KPK. Memang saya bikin mirip, kecuali ada tambahan gambar arah mata angin di kanan atas logonyanya. Di pojok kiri atas sampul kartu juga saya print begini: “M. N. Juna Putra & Keluarga; Kantor Pengelana Nasional; Kantor Pusat di Palembang”. Serius sekali. Bapak pos juga pasti mengira kalau Kantor Pengelana Nasional itu benar-benar ada. Padahal masih menumpang gedungnya di ruang arsip gedung kantor kami. Itupun secara ilegal.

Oh, ya, maksud saya, menulis ini sebenarnya juga untuk mengucapkan selamat Idul Fitri untuk teman-teman yang setia membaca blog ini. Mohon maaf atas laku yang dibuat dan kata yang terucap; yang tidak enak di hati. Semoga Allah menerima ibadah kita. Amin.

Palembang, 22 September 2010

“Semoga tahun depan bisa bertemu Ramadan dan mengirim kartu lebaran dengan kertas daur ulang”.