Ayat-Ayat Cinta: mengapa harus difilmkan?

Sekitar pertengahan 2005 lalu, saya dipinjami novel sama teman satu kosan. Warna kuning krem, judulnya unik: Ayat-Ayat Cinta, ada testimoni dari orang-orang terkenal, ditambah lagi perkataan teman yang sedikit maksa: “Lo harus baca, Ris!. Gue saja sampai gerimis” membuat saya langsung tertarik. Selanjutnya, begitu tertariknya saya pada novel ini dan ingin orang lain juga membacanya, empat jilid telah saya beli untuk saya hadiahkan kepada adik, teman dan perpustakaan SMA saya dulu. Adik saya jadi ketularan suka sama novel Ayat-Ayat Cinta, seringkali dalam obrolan kami, yang dibicarakan adalah tentang baik hatinya Fahri, tentu juga tentang Aisha. Betapapun imajinatifnya kedua tokoh tersebut, kami mengobrolkannya seperti membicarakan orang benar-benar ada di dunia; seakan tetangga kami yang tiap hari kami lihat, atau begitu nyatanya, seperti saudara-saudari jauh kami yang kami sangat tahu seluk beluk tentang mereka.

Menurut saya, adik saya, dan ribuan orang lainnya, novel ini bagus, terlepas dari kekurangannya: tokoh Fahri yang benar-benar sempurna dan beruntung dan tokoh Aisha yang juga benar-benar sempurna. Di luar kekurangannya ini, yang justru menjadi keunikan cerita, novel ini tentulah berhasil—seperti maksud penulisnya—sebagai novel pembangun jiwa, memberi inspirasi kepada banyak orang tentang cinta, kesabaran, usaha keras, dan menjadi muslim yang benar-benar muslim. Lebih dari itu, novel ini sekaligus memuat ajaran-ajaran agama tentang hubungan kepada penganut agama lain dan perlakuan agama kepada perempuan. Istimewanya, novel ini tidak hanya dibaca oleh kalangan muslim saja namun dari kalangan non muslim juga.

Ketika novel ini benar-benar ingin dijadikan film, saya adalah pembaca yang kurang setuju. Menurut saya, biarlah alur cerita dalam novel tersebut di dalam angan-angan pembaca saja. Bukan karena apa-apa, sosok Fahri dan Aisha tentu sangat sulit dibuat nyata. Ini bukan masalah fisik, bukanlah tentang mencari pemeran yang mirip. Fahri dibuat tidak ganteng pun tidak masalah (dalam novel tidak dijelaskan ciri-ciri wajah Fahri, kecuali sekali waktu disebut ”mirip bintang film Hongkong”), mencari orang cantik untuk mewakili Aisha yang keturunan Asia-Eropa tentulah tidak sulit. Namun, adakah yang sanggup memerankan keindahan hati mereka? Sehingga para penonton terhanyut, seakan membaca novel, dan tidak menganggap bahwa itu hanya akting belaka?

Muhammad Yunus dan Grameen Bank

”Beri tepuk tangan untuk kawan kita, teladan perjuangan melawan kemiskinan”

—Hugo Chavez, Presiden Venezuela

Sosoknya kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Siapa Muhammad Yunus? Kecuali para akademisi dan aktivis sosial, tidak banyak yang mengenalnya. Namanya mulai terdengar di kalangan lebih luas ketika beliau dan Grameen Bank menerima Hadiah Nobel Perdamaian tanggal 13 Oktober 2006 silam. Terlebih dengan terbitnya buku beliau bulan April 2007 lalu di Indonesia yang berjudul Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan, yang sesungguhnya telah terbit 10 tahun lalu di Perancis dengan judul Vers un monde sans pauvrete. Sejak terbitnya buku ini, nama Muhammad Yunus semakin dikenal.

Dia tidak ada hubungannya dengan Yus Yunus, penyanyi dan pencipta lagu dangdut kawakan itu. Juga tidak ada hubungan darah dengan Hedy Yunus. Dia adalah seorang profesor ekonomi kebanggaan Bangladesh, akademisi sekaligus sebagai praktisi, juga menjadi aktivis kemerdekaan Bangladesh. Muhammad Yunus adalah perintis dan pendiri Grameen Bank, bank yang memberi kredit kepada kaum miskin dan sebagian besar adalah perempuan. Sekarang ini, dengan penerapan, adaptasi, dan modifikasinya di berbagai negara, bank ini telah menjadi lambang keberdayaan kaum miskin di Bangladesh, juga pada lebih dari 100 negara di 5 benua.

Yunus lahir di tengah-tengah keluarga sederhana di kawasan perajin perhiasan, di jantung kawasan niaga lama di Chittagong, kota pelabuhan terbesar di Bangladesh. Ayahnya, Dula Mia, adalah seorang pria muslim yang taat, halus perasaannya namun ketat mengenai jadwal belajar anak-anaknya. Ibunya, Sofia Khatun adalah seorang wanita yang keras dan tegas dalam menegakkan disiplin dalam keluarga. Namun dibalik ketegasannya itu, Sofia Khatun memiliki rasa iba yang tinggi, baik hati dan tak pernah merasa keberatan untuk memberikan uang kepada kerabat miskin yang datang mengunjungi keluarga. Perhatian Sofia Khatun terhadap kaum miskin dan tidak beruntung menjadi pertimbangan yang kuat bagi Yunus untuk memilih ilmu ekonomi dan berminat besar pada perubahan sosial.

Pada umur 21 tahun, yang merupakan tahun kelulusannya di Universitas Chittagong, Muhammad Yunus langsung ditawari sebagai dosen pengajar di almamaternya. Sembari menjadi pengajar, Yunus muda mulai melirik dunia bisnis, belajar dari sang ayah yang menjadi perajin dan pedagang ornamen permata. Pabrik bahan pengepakan dan percetakan denga 100 orang pekerja adalah usaha yang dirintisnya pertama kali, dengan ayahnya sebagai komisaris utama. Usahanya sukses dengan keuntungan tahunan yang menggembirakan.

Tahun 1965, di usianya yang ke-26, Yunus mendapatkan beasiswa Fullbright untuk belajar di University of Colorado dan mendapatkan gelar Ph.D-nya di sana, kemudian mengajar di Middle Tennessee State University. Pada tahun 1971, dari siaran radio, Yunus mengetahui bahwa tentara Pakistan telah bergerak masuk ke wilayah Bangladesh dan memblokir semua oposisi. Sejak itu, Yunus yang di masa kecilnya menyaksikan perjuangan kemerdekaan Pakistan dari India, kemudian menjadi aktivis untuk kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan dan mempunyai peran penting atas kemerdekaan negeri tersebut.

Tahun 1972, Yunus kembali ke Chittagong dan menjadi dekan di fakultas ekonomi Universitas Chittagong. Universitas-universitas di Bangladesh saat itu dibangun sejauh mungkin dari pusat kota atas perintah Marsekal Muda Ayub Khan, presiden Bangladesh, untuk menghindari pembangkangan mahasiswa terhadap pemerintah. Demikian juga Universitas Chitagong yang dibangun di perbukitan tandus dan bersebelahan dengan Jobra, sebuah desa miskin yang kemudian menginspirasi Yunus.

Tahun 1974, Bangladesh mengalami bencana kelaparan. Orang-orang sekurus tengkorak mulai bermunculan di ibukota Dhaka, di stasiun-stasiun kereta api dan di terminal-terminal, dan segera memenuhi ibukota. Begitu parahnya, sehingga ketika mereka duduk terdiam, amat sulit untuk membedakan mereka masih hidup atau sudah mati. Semuanya kelihatan mirip: orang tua terlihat seperti anak-anak, dan anak-anak terlihat seperti orang tua. Merasa tidak bisa tenang dan tidak berbuat apa-apa atas bencana tersebut, Yunus segera bertemu Abu Fazal, seorang pemerhati sosial, untuk membuat seruan kepada seluruh kampus dan tokoh-tokoh nasional untuk melawan kelaparan. Selesai dengan itu, Yunus segera mefokuskan perhatiannya di bidang pangan: pertanian.

Yunus menjalankan sistem bagi hasil yang disebutnya Pertanian Tiga Pihak di desa Jobra. Yunus berandil pada biaya bahan bakar pompa artesis, bibit tanaman unggul, pupuk, insektisida, dan pengetahuan teknis. Pihak kedua buruh tani menyumbangkan tenaganya dan pihak ketiga pemilik lahan. Walaupun sangat sulit meyakinkan semua pihak, dan Yunus sendiri merugi 13.000 taka, program ini berhasil. Untuk pertama kalinya, padi-padi berdiri tegak bagaikan permadani hijau di musim kemarau.

Yunus segera menyadari akan keberadaan pekerja perempuan yang tugasnya mengirik gabah dari batangya. Hanya demi 40 sen dolar, perempuan-perempuan itu memanfatkan bobot tubuh dan gerakan kaki tanpa alas untuk mengirik padi selama 10 jam sehari! Kaum perempuan itu banyak yang janda karena suaminya meninggal, cerai dan ditinggal pergi begitu saja dengan meninggalkan banyak anak. Mereka bahkan terlalu miskin sebagai butuh tani. Program Pertanian Tiga Pihak menyisakan kenyataan bahwa pemilik lahan yang berlahan luas semakin kaya dan kamu buruh yang miskin semakin miskin.

Yunus tidak setuju bahwa orang miskin itu pemalas dan tidak punya keahlian. Dia percaya bahwa orang miskin hanya tidak memiliki kesempatan. Yunus seringkali berjalan-jalan mengelilingi desa dan mencoba untuk lebih dekat dengan kaum miskin desa. Suatu kesempatan dia dia terperanjat atas kenyataan seorang perempuan desa meminjam 5 taka (22 sen dolar) untuk membeli bahan baku membuat bangku dari anyaman bambu dan harus menjualnya kepada rentenir seharga 5 taka 50 poysha. Keuntungannya hanya 50 poysha dan itu setara 2 sen dollar! (coba kita renungi kawan, ini sama halnya menjadikan perempuan itu sebagai budak! Di antara kita pasti tak ada yang merasa kesusahan hanya karena ketiadaan uang senilai 22 sen dollar).

Kemudian Yunus membuat daftar para korban rentenir. Jumlahnya 42 orang dengan total pinjaman 27 dollar dan dikeluarkannya dari kantungnya sendiri untuk membayar 27 dollar ini kepada rentenir. Orang-orang yang dibantu hanya dengan 27 dollar sangat gembira. Dari sinilah lahir ide untuk membuat suatu bank untuk kaum miskin; Bank Grameen (Grameen artinya pedesaan).

Yunus kemudian membicarakan mengenai kredit untuk kaum miskin kepada manajer bank di samping universitas. Usulnya tidak disetujui karena kaum miskin dianggap tidak layak menerima kredit, bahkan keuntungannya pun tidak mampu menutupi biaya administrasi. Yunus mengajukan diri sebagai penjamin kredit. Usulnya disetujui. Suatu hal yang menggembirakan, orang-orang miskin itu membayar pinjamannya tepat waktu. Bagi kaum miskin, kredit itulah menjadi kesempatan untuk mengubah keadaan, dan tidak membayar pinjaman sama halnya untuk tidak mendapat pinjaman selanjutnya. Inilah letak jaminan yang sesungguhnya.

Tahun 1983, Bank Gramenn berhasil berdiri. Penggeraknya adalah mahasiswa-mahasiswi Yunus yang sejak awal telah menjadi sukarelawan. Bagi para mahasiswa-mahasiswi tersebut, menjadi pegawai Bank Grameen adalah menjadi petualang, mereka menjadi biasa jalan berkilo-kilo meter untuk menemui nasabah dan berusaha meyakinkan kaum miskin, khususnya perempuan, untuk meminjam uang dengan bunga yang amat kecil sebagai modal kerja; suatu hal yang sangat baru bagi perempuan Bangladesh saat itu.

 

Banyak tantangan yang dilalui sejak Grameen berdiri. Banjir besar yang melanda

1981, 1985, 1987, dan terutama 1988 yang menimbulkan korban 150 ribu jiwa, juga bencana tornado yang melanda distrik Manikganj 1989. Bencana-bencana ini sangat berpengaruh terhadap kepercayaan diri para peminjam. Untuk itu, para pegawai bank segera manjadi sukarelawan, menyelamatkan orang sebanyak mungkin, menyiapkan tempat perlingdungan, obat, dan makanan. Menyiapkan bibit cadangan untuk ditanam, uang tunai untuk membeli ternak baru dan bentuk pinjaman bencana lainnya.

Pro-kontra mewarnai perkembangan Bank Grameen. Kaum Kiri menuduh Yunus bahwa Grameen konspirasi Amerika untuk menanamkan kapitalisme di antara kaum miskin dan bahwa tujuan riil Grameen adalah menghancurkan setiap harapan bagi sebuah evolusi dengan menghilangkan keputusasaan dan kemaraah kaum melarat. Di Sisi Kanan, ulama konservatif menyatakan bahawa Grameen menghancurkan budaya dan agama.

Apapun kontroversi itu, tahun 2006, Grameen telah mengucurkan pinjaman kredit ke hampir 7 juta orang miskin di 73.000 desa Bangladesh, 97 persen adalah kaum perempuan. Grameen memberikan kredit bebas agunan untuk mata pencaharian, perumahan, sekolah, dana pensiun, asuransi, dan usaha mikro untuk keluarga-keluarga miskin. Sejak diperkenalkan 1984, KPR telah dipakai untuk membangun 640.000 rumah. Secara kumulatif, kredit yang diberikan mencapai angka 6 milyar dollar. Tingkat pengembalian 99 persen. Dan yang lebih membanggakan, Grameen sejak 1995 telah mandiri secara finasial dan tidak lagi mengandalkan donor.

Yunus juga menitik beratkan pada pendidikan, dengan 30.000 beasiswa tiap tahunnya. Terdapat kredit perkuliahan dengan 13.000 mahasiswa yang telah menerima kredit tersebut. Beberapa di antaranya telah bergelar Ph.D dan banyak lagi yang menapaki jenjang pendidikan tinggi; menjadi dokter, insinyur, dosen dan profesi-profesi lain.

Grameen telah melampui kredit mikro, Grameen telah mengembangkan sayap ke bidang-bidang lain. Fisheries Foundation yang nir-laba di bidang perikanan, Grameen Uddog (juga nirlaba) sebagai penghubung penenun tradisional terhadap pasar ekspor, kemudian operator telekomunikasi: GrameenPhone (yang untuk mencari laba. Hasil patungan Telenor Norwegia dan Grameen Telecom) dan Grameen Telecom (nir-laba). Yang menarik adalah Grameen Telecom yang membeli airtime dari GrameenPhone, di mana ibu-ibu di desa menjadi ”ibu-ibu ponsel” (telephone lady) dengan menjual jasa yang namanya ”telpon desa berbayar”, hingga menghubungkan desa ke dunia luar dan memenuhi kebutuhan IT bagi penduduk desa.

Yunus dan Grameen Bank bukanlah pilihan yang salah untuk diberikan Hadiah Nobel Perdamaian. Terlepas dari pro-kontra metodenya, Yunus dan Grameen telah membuktikan andil mereka dalam memberantas kemiskinan dan membuka mata seluruh dunia bahwa kemiskinan bukan mustahil untuk dilawan. Kapan giliran orang Indonesia?

Sumber: Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan, 2007, Marjin Kiri

Bersepeda Jakarta-Puncak (11-12 Januari)

Setelah melewati minggu kedua ujian tengah semester yang ”melelahkan”, ada baiknya rehat sejenak. Tak baik terus belajar, kita butuh istirahat. Untuk itu disusunlah acara touring ke Puncak pake sepeda. Idenya spontanitas saja. Setelah pagi-pagi sempat kumpul dan jogging bareng, disusunlah rencana ke Puncak untuk besok pagi.

Jumat pagi (11 Januari), jam 06.24 sudah mulai mengayuh sepeda dari Jurangmangu. Yang ikut ada 5 orang: Refly-821, Rian-820, Ernest-817, Gerie-813, dan saya sendiri-810. Kita terlihat keren, meskipun dengan sepeda pinjaman.

Perjalanan paling melelahkan tentu saja dari kampus-Bogor. Jalan Parung yang panas jadi cobaan berat, tim sempat kececer. Namun, kita sampai ke Bogor juga, jam 11 siang, sholat Jumat di Masjid Kebun Raya. Istirahat di masjid dan berangkat ke Puncak. Berhubung setelah dicoba, tanjakan ke Puncak begitu menguras tenaga, kita memutuskan naik angkot saja. Terpaksa kami naik angkot karena waktu tidak memungkinkan, perencanaan dan persiapan yang kurang matang memaksa kami untuk memikirkan waktu perjalanan. Inilah salahnya bila melakukan perjalanan tanpa perencanaan dan persiapan yang matang, terkadang kita terlalu mengikuti keinginan dan target namun tidak memperhatikan keadaan yang sesungguhnya. Ujung-ujungnya, kita terlalu memaksa untuk mencapai tujuan dan target tersebut. Kalaupun mencapai target, mungkin hanya keberuntungan saja.

Di beberapa titik kami bertemu dengan pengendara sepeda lain, mereka menyapa, mengangkat tangan, terkesan mengenal kami. Mungkin inilah keramahan antar pesepeda, kami pun menyapa dan mengayunkan tangan walaupun tak kenal mereka. Titik finish di Masjid Atta-Awun, majid yang terkenal di kawasan puncak. Kita nginap di sana semalam, sebelumnya ngobrol-ngobrol  tentang pengalaman saat itu dan makan ubi Cilembu dulu. Walaupun tidak membawa pakaian hangat–kembali ke persiapan yang asal2an itu– waktu tidur saya tercukupi, meski sesekali terbangun karena dinginnya udara dan lantai masjid.

Besok pagi, langsung meluncur (meluncur, karena hampir tak diperlukan kayuhan sepeda, kecuali di beberapa tanjakan) kembali ke Bogor. Hanya 1,5 jam untuk meluncur. Cewe-cewe Stapala: Gerie, Ernest dan Rian ternyata tidak bisa diremehkan (h3), mereka meluncur dengan kecepatan penuh dan kadang mengomel karena saya, yang paling depan, mengurangi kecepatan. Naik KRL dari Bogor ke St. Pasar Minggu. Dan kayuh sepeda lagi ke kampus, di Bintaro. Jam 11 siang sampe kampus, dengan membawa oleh2 3 porsi asinan dari Bogor.

Badan terasa pegal-pegal–padahal jarak yang kami rasa paling melelahkan–dari kampus-Bogor hanya 60 kilometer saja. Saya agak sulit membayangkan bagaimana Lintang, salah satu tokoh inspiratif dalam novel Laskar Pelangi, yang menempuh jarak 80 kilometer tiap hari hanya untuk bersekolah. Tidak dengan sepeda bagus, malah sebaliknya. Tidak melalui jalan beraspal yang mulus, malah sebaliknya.

Tapi, biarpun pegal-pegal, biarpun tanpa perencanaan dan persiapan yang layak, perjalanan ini terasa menyenangkan. Setidaknya tujuan tercapai: sekedar test drive dan untuk mempererat persahabatan (luv u bro n sist…Trims bwt Refly atas idenya, Ernest, Gerie dan Rian atas semangatnya). Ada banyak cara untuk lebih mengenal saudara kita. Salah satunya melakukan perjalanan bersama… dan bersepeda adalah salah satu ide yang patut dicoba.

Mari bersepeda… Hemat dan menyehatkan….

Foto di bawah ini (Ki-ka): Ernest, Rian, Gerie, saya, Refly

di istana bogor

sampai di kawasan puncak

di KRL Bogor-Stasiun Pasar Minggu

Plant a Tree Before You Die

Akhir-akhir ini isu tentang global warming ramai dibicarakan, semenjak Konfensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim di Bali, Desember silam. Saya sendiri kurang ngerti tentang global warming, malah bingung; global warming atau global warning, sih? Ah, tak taulah. Meminjam kata-kata orang kecil, para pedagang bakso, penjual gorengan, pemulung, dll; yang terpenting beras masih bisa terjangkau, minyak tanah nggak langka, minyak goreng nggak naik lagi, dan air PDAM nggak keruh. Global warming biarlah jadi urusan orang-orang yang ngerti global warming.

 

Ada berjuta-juta hektar hutan kita yang rusak (1,87 juta hutan kita rusak tiap tahun dan akan habis selama 50 tahun bila tidak dihentikan), ada banyak gunung-gunung dan bukit yang gundul, ada banyak daerah hijau kota yang diubah jadi hutan beton. Ini hanya tentang peran kita sendiri. Contoh paling kecil, mungkin menanam pohon, walaupun menanam pohon bukan solusi brilian karena mengurangi emisi adalah solusi mendesak yang harus dipikirkan. Orang Indonesia punya banyak lahan; di desa, di pinggir-pinggir hutan, dan di hutan-hutan yang gundul, tidak sulit untuk menanam pohon. Kalaupun sudah banyak tertutup semen dan beton, orang-orang kota tak hilang akal untuk menanam di pot-pot bekas yang dicat cantik Selain beli atau minta ke tetangga, bibitnya pun bisa kita dapatkan sendiri, disemai, dicangkok, disambung, atau distek begitu saja seperti pohon Tanjung.

 

Untuk mengurangi emisi, biarlah petinggi-petinggi di negara ini yang lakukan. Berbicara tentang mengurangi emisi sama halnya menuntun kita di hadapan foto bisu para CEO perusahaan dengan pabrik-pabrik raksasa dan para pemimpin negeri yang didukung perusahaan-perusahaan penghasil emisi. Untuk skala orang kecil seperti kita, cukuplah kita menanam pohon, menghemat listrik, menghemat BBM, menghemat kertas dan menghemat seluruh kebutuhan kita.

 

Berhubung kita penduduk di negeri agraris, dalam hati kita sebenarnya telah tertanam naluri untuk senang menanam pohon, bahkan jauh sebelum global warming dipopulerkan. Saya yakin almarhum kakek saya, menanam pisang-pisang di samping rumah bukan karena global warming. Ataupun ayah saya yang menanam tujuh pohon mangga arum manis, sebuah pohon mangga madu, belimbing wuluh, jambu bangkok, nangka salak di sekitar rumah bukanlah mempertimbangkan global warming. Mereka menanam pohon karena hobi. Atau kalaupun ditanyakan kepada mereka sebabnya, mereka menjawab: ru’u nggomi doho, ini untuk kalian, untuk anak cucu saya nanti…

 

Sesibuk-sibuknya kita, setidakpedulinya kita, setidakmampunya kita, mari kita tanam cukup satu pohon. Mungkin kecil sekali artinya dibandingkan asap-asap dari cerobong tinggi pabrik-pabrik. Tapi “kecil sekali artinya” tetap berarti “ada artinya”, dan “ada artinya” tentu lebih baik dibandingkan ”tidak ada artinya”. Daun-daun pohon yang kita tanam mungkin kepayahaan menghisap asap di sekitarnya. Kitapun tak bisa langsung merasakan kesejukan udara dari sebuah pohon kecil, tapi dengan melihat daunnya yang indah, minimal kita merasakan kesejukan bentuk lain, kesejukan yang tidak bisa dirasakan paru-paru ataupun syaraf-syaraf sensorik di kulit.

 

Guru agama kita seringkali mengingatkan kita tetang amal kebaikan yang pahalanya dibawa mati. Saya yakin dari pohon yang kita tanam, ada serangga-serangga kecil yang beristirahat di situ, ada laba-laba kecil yang menjalinkan jaringnya di situ, ada cacing yang memakan humus dan ada makhluk-makhluk lain yang kasat mata yang mencari makan di pohon itu. Mungkin mereka berkeluarga di sana dengan dua, sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu jiwa yang hidup bersama. Pohon itu tumbuh adalah lahir dari kebaikan Anda, yang terus mengalir bahkan setelah Anda mati.

 

Belum lagi bila pohon itu tumbuh besar. Akan banyak binatang yang berteduh di bawahnya, burung-burung yang membuat sarang, ataupun orang-orang yang berteduh, dari tukang ojek yang menunggu penumpang hingga tukang es cincau yang sekedar melepas lelah. Kebaikan Anda semakin mengalir, berefek multiplyer di luar sangkaan Anda.

Belum lagi tiap molekul oksigennya yang dihirup makhluk-makhluk bernyawa.

Belum lagi bunga-bunganya oleh lebah-lebah penghasil madu.

Belum lagi keindahaannya

Belum lagi bila pohon itu bertahan beberapa generasi

Ah, terlalu banyak. Tanamlah sebuah pohon sebelum meninggalkan dunia ini; di halaman rumah, di tempat kerja, di depan kos, di pinggir jalan atau di sejengkal tanah sekolah dan kampus universitas. Untuk kesejukan mata, untuk kelegaan nafas, makanan dan keteduhan. Untuk diri sendiri, juga untuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk sekarang dan masa yang akan datang.