cerita mukena

Seperti siang hari biasanya, matahari di langit Kota Palembang bersinar begitu terik. Saya terjebak dalam antrian kendaraan di depan Rumah Sakit Charitas, menunggu lampu lalu lintas nan ajaib itu menyala hijau. Di persimpangan itu, lampu menyala merah dalam tempo dua ratus detik lebih, menyebabkan antrian yang begitu panjang. Siang begitu panas, vespa oranye pinjaman itu tidak pakem remnya dan mesinnya sering mati bila tali gasnya tidak sering ditarik-tarik. Asap dari bus kota membuat pusing kepala. Saat itu menjelang akhir Ramadhan dan siapapun yang berpuasa harus tetap bersabar.

Misi-teramat-penting siang itu adalah mencari mukena untuk ibu, adik, dua sepupu, dan dua nenek saya yang masih enerjik itu. Mukena padang yang terbuat dari katun jepang yang katanya sejuk bila dikenakan. Juga dengan motif yang indah dan beragam, tapi sebenarnya tidak saya mengerti benar. Saya berharap semoga bisa saya dapatkan mukena-mukena itu. Sebab kenyataannya, saya tidak pernah membeli mukena sebelumnya. Sama sekali tidak punya pengalaman beli mukena.

Dan alhamdulillah, misi-teramat-penting siang itu berhasil dengan gemilang!

Tapi, apa yang terjadi tidak mesti seperti apa yang direncanakan. Mukena-mukena itu tidak ditemukan di tempat pengambilan bagasi di Bandara Selaparang. Jelas sudah, mukena-mukena itu tertinggal dan tidak masuk dalam bagasi pesawat. Saya begitu kesal sore itu. Terbayang betapa susahnya mendapatkan oleh-oleh itu dan betapa berartinya bila mukena-mukena itu dikenakan Ahad nanti, saat sholat Aidil Fitri. Sebab bukan karena nilai harganya, tapi karena mukena-mukena adalah hadiah lebaran. Akan kurang nilainya bila diberikan bila lebaran telah lewat. Tapi hari itu masih bulan puasa. Saya tidak ingin menampakkan kekesalan saya pada petugas bandara. Itu bukan salah mereka, dan tak ada gunanya berkesal hati.

Rasa kesal itu akhirnya sedikit terbayar saat bertemu abang, adik, dan sepupu-sepupu yang telah lama menunggu untuk pulang. Sebab karena merekalah saya pulang.  Juga karena ayah dan ibu saya di sana.

Dan pulang selalu bisa untuk menenangkan hati. Mengobrol dengan ayah, ibu, abang, dan adik, tentang kacang panjang yang baru ditanam, cabai yang sedang berbuah, selada yang hijau muda, pohon kerara yang buahnya bisa menjadi sumber karbohidrat pengganti nasi, dan betapa sejuknya tidur di kebun padahal matahari begitu terik di sana. Mengobrol dengan Pak Tua, pria tujuh puluhan tahun, tetangga sebelah kebun yang hidup berdua saja dengan istrinya yang juga sudah tua dan juga dipanggil Ibu Tua. Bertemu sahabat-sahabat baik, bercengkrama dengan mereka, melihat Blackclaw bermain sulap, dan menyanyikan lagu La Timasa. Duhai, betapa menenangkan memang hidup di sana.

Sekarang saya sudah kembali ke Palembang. Mukena-mukena yang tertinggal telah gagal menjadi hadiah lebaran. Pihak maskapai baru menemukan tas berisi mukena-mukena itu dan mengirimkan kembali setelah lebaran telah lewat. Tapi, itu tadi malam, nenek Mene dengan dibantu Nuratul, mengirim SMS untuk saya. Ratul adalah sepupu perempuan saya yang sedari taman kanak-kanak sampai SMP selalu satu kelas. Dia bilang, kalau nenek ingin bilang terima kasih buat mukenanya dan walau tak bisa untuk Aidil Fitri, nanti pasti dipakai untuk lebaran haji. Saya segera menelepon nenek Mene dan mendengar suaranya yang masih jelas walau terbata-bata. Saya senang mendengar suaranya yang terdengar bahagia.

Aha, ternyata, lebaran tidak benar-benar telah lewat. Saya lupa kalau sebentar lagi akan ada lebaran haji!

Demang Lebar Daun Palembang, 10 Oktober 2009

“Banyak atau sedikit rejeki yang Engkau beri, itu terserah, asalkan itu adalah berkah. Panjang atau pendek umur yang Engkau beri, itu terserah, asalkan itu adalah berkah”.