Sudah tiga pekan ini di Palembang. Tidak terasa saja. Mungkin benar saya sudah betah di sini. Tapi, sepertinya memang bisa betah di mana-mana. Jangankan di kota ini; di hutan saja senang rasanya.
Tadi pagi saya lari pagi. Sudah lama tidak olah raga ini. Terakhir kali, kalau tak salah, saat diklat di Kalibata. Jadinya, badan ini rasanya pegal-pegal sana sini. Badan mestilah fit. Sakit tidaklah enak; makan tak enak, tidur tidak nyaman, dan banyak aturan. Lagipula, siapa tahu dekat-dekat ini bisa naik Dempo. Persiapanlah, setidaknya.
Setelah push up pada hitungan seribu empat puluh, dan badan sudah terasa enak, saya keliling-keliling saja Kota Palembang. Pakai motor pinjaman dari kantor. Kantongi camdig, cuci muka, dan berangkat. Oh ya, saya push up-nya dihitung dari hitungan seribu, Kawan. Jadi, biasa saja kalau saya push up sampai hitungan seribu lebih.
Pertama; mampir ke Taman Kambang Iwak. Ramai sekali. Cocok buat yang ingin cari jodoh di sini. Sebentar saja di sana. Ambil gambarnya, sarapan bubur kacang ijo, bayar seribu di tukang parkir, dan berangkat lagi.
Taman Kambang Iwak. Tempat joggingnya orang-orang di Kota Palembang.
Susuri jalan menuju Benteng Kuto Besak, di tepi Sungai Musi. Di sana ramai pulo. Sedang ada jalan santai untuk anak sekolah dan para guru, memperingati Hari Pendidikan. Masih kah kau ingat dengan hari Pendidikan, Kawan?
Benteng Kuto Besak. Bentengnya Kesultanan Palembang Darussalam.
Di depan benteng, ramai anak-anak yang main bola. Di halaman tepi Sungai Musi, macam-macam lomba diadakan. Yang duduk-duduk saja juga banyak. Yang mengobrol juga hampir semuanya. Tidak ada yang menangis.
Perahu di tepian Sungai Musi. Menunggu penumpang.
Perahu-perahu di tepian menunggu penumpang. Yang di tengah sungai sedang mengangkut penumpang. Hilir mudik di Sungai Musi. Penumpangnya banyak dari anak sekolah dan para guru. Rekreasi kota yang sangat menyenangkan.
Menara Masjid Agung Palembang. Setinggi 20 meter. Didirikan pada abad 18.
Bayar seribu lagi di tukang parkir. Kemudian mampir di Masjid Agung Palembang, tak jauh dari Benteng Kuto besak. Masjid yang pembangunan pertamanya pada tahun 1738-1748 ini, arsitekturnya unik, perpaduan gaya China dan Eropa. Bentuk atap yang melengkung mengingatkan kita pada bentuk kelenteng. Bentuk jendela yang besar dan tinggi, serta tiang-tiang yang besar, tentulah ciri dari arsitektur Eropa. Bahkan, pula mendapat pengaruh dari Jawa-Hindu; pada dasar masjid yang berundak-undak.
BRIEVENBUS. Masukkanlah uang dalam tjelengan untuk keperluan ini mesjid
Saat sedang mengambil motor di parkiran, tiba-tiba terdengar ringtone ponsel. SMS masuk. Mbak-mbak yang punya.
Saya: Yu’, itu lagu ST dua belas?
Mbak itu: Ha? Ini kan band itu.
Saya: Oh, ya ya. Ta’ pikir ST dua belas. Malah mirip lagunya Padi, lho, Yu. Bukan lagunya Padi juga?
Mbak itu: Bukan.
Saya: He eh. *nyengir*
Dalam hati saya berucap; saya tahu itu bukan lagunya ST dua belas, apalagi lagunya Padi. Di bus-bus kotanya palembang, di tempat-tempat makan, di counter pulsa, di swalayan, di kantor, di playlist admin warnet, sering benar diputar. Saya hanya becanda saja, Yu‘.
Sampai di kos, Yoga sedang akan menyalakan laptop. Sedang sibuk dia sekarang. Mengurus angka-angka di excel. Tugas auditnya dibawa pulang dari Prabumulih, tempat dia mengaudit. Kasihan dia; sepertinya pikirannya penuh dengan angka-angka. Saya cemas, dia akan lupa dengan nama lengkapnya sendiri.
Saya: Ga, di laptop ada lagunya itu, ga? Ha ha.
Yoga: Oh, ada. Lihat saja, Ris. Muternya pakai windows media player tapi.
Saya: Oke.
Jadi, lirik lagu dari ringtone mbak itu begini:
“Maafkanlah aku lari dari kenyataan.
Bukan karna aku tak punyai rasa sayang.
Maafkan lah aku mencoba tuk berlari.
Karna suatu nanti engkau pasti kan mengerti”
Ha ha, sudah nyambung dengan lagunya? Coba tebak judulnya dan dinyanyikan oleh siapa!
Demang Lebar Daun, Palembang, Ahad, 3 Mei 2009
“Palembang namanya. Inginkah kau sekali waktu berkunjung ke sini, Kawan?”