Welcome Home, Yvonne!

Sepeda motor saya, Marley alias Yvonne, sekarang sudah sembuh. Setelah direstorasi selama beberapa bulan, Honda C70 bikinan tahun 1980 itu, akhirnya bisa jalan dengan normal. Tidak begitu normal sih sebenarnya, tapi cukuplah untuk ukuran sepeda motor yang sudah lebih 30 tahun lebih umurnya.

Akhirnya ada juga hasilnya, dengan bantuan Pak Kendro (bapak-bapak di kantor yang juga senang sepeda motor tua, terima kasih banyak untuknya), saya menata kembali hati ini, eh, menata si Yvonne. Dimulai dengan mengganti velg dan jeruji, menggosok tromol dan mesin dengan langsol (ini membutuhkan waktu dua minggu), mengecat standar dan foot step, mengganti lampu-lampu, dan memasang spion, legshield, tutup rantai, dan stikernya sebagai pemanis. Sebenarnya, semua itu tidaklah membutuhkan waktu lama. Tapi, setelah dua tahun tidak dipakai, mesinnya benar-benar mati suri. Tidak ada artinya sepeda motor bila mesinnya tidak menyala. Sudah tiga bengkel yang menyerah angkat tangan, bila tetap mempertahankan bentuk asli mesinnya.

Kemudian saya menemukan bengkel dekat Simpang Polda yang bisa memperbaiki. Pemilik sekaligus teknisinya, Pak Darwin, sepertinya cukup paham dengan penyakit motor-motor lama. Cukup dua hari dan biayanya tidak mahal, Si Yvonne sudah bisa dibawa pulang. Lagi, meskipun bangunan bengkelnya kecil dan tidak permanen, kerennya, dia punya kartu nama. Mungkin dia termasuk orang yang menghargai pelanggan dan keahlian yang ia miliki. Saya ingin mengusulkan kepadanya, agar menambah namanya di kartu nama menjadi: Darwin D Fixer.

Berikut ini beberapa foto Yvonne.

Si Yvonne sedang dirawat.

Si Yvonne sedang dirawat.

Yvvone, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

Yvonne, si Honda C70.

IVON is a four letter word. :)

IVON is a four letter word. 🙂

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.50 WIB

“Dia boleh dipanggil nama mana saja, Marley atau Yvonne. Yvonne artinya gadis yang cantik.”

Mencari Pempek 10 Ulu

Ini adalah tahun kelima saya merayakan Idul Adha di Sumatera Selatan. Tapi, bila diingat-ingat, belum sekalipun saya salat Id di Masjid Agung Palembang. Jadi, pagi-pagi sekali di hari Idul Adha, saya bersepeda ke masjid tua itu. Udara terasa segar, karena kendaraan bermotor hanya sesekali saja lewat.

Jamaat salat telah mulai memenuhi kawasan masjid, di jalan-jalan, bahkan di atas Jembata Ampera. Walikota dan gubernur membacakan sambutan. Di akhir salat, beberapa keluarga berfoto di depan kolam air mancur masjid. Seorang tukang foto tua mengabadikan gambar mereka, dan langsung dicetak dengan mesin printer portabel, dengan hasil foto yang bagus-penuh pengalaman.

Habis salat, saya biasanya ke kantor untuk memotong-motong daging kurban atau sekedar membantu memasukkannya dalam kantung plastik. Tapi saya jadi ingat dengan tim kami yang penasaran dengan  Pempek 10 Ulu. Beberapa minggu ini, karena ada rekan tim kami yang akan pindah dari Sumatera Selatan, kami rajin mencoba berbagai macam pempek yang terkenal di Palembang, dari Vico, Tince, Eek, juga Saga. Agar bisa bercerita,  setelah meninggalkan Palembang. Hasilnya, pempek-pempek itu enak semua. Ukuran enak mungkin subjektif, tapi bila makanan dari ikan itu kondisinya masih baik dan tidak amis, itu sudah cukup menjadi syarat disebut enak .

Pempek 10 Ulu terkenal enak, tapi tidak seorangpun di antara kami yang pernah mencobanya.  Jadi, di hari Idul Adha itu, dari Masjid Agung sebelum ke kantor, saya mengayuh sepeda ke Seberang Ulu. Seorang ibu-ibu penjual makanan di bawah Jembatan Ampera menunjukkan arah ke 10 Ulu. Saya segera menyusuri jalan yang ditunjukkan, melewati pasar, sambil melihat kiri-kanan, barangkali ada warung pempek yang buka. Tapi, tidak ada sebuah warung pun yang bertuliskan pempek 10 Ulu. Saya terus mengayuh, bahkan sampai 14 Ulu, dan terpaksa kembali karena warungnya tidak ketemu. :’D

Tapi di kawasan Seberang Ulu, banyak bangunan rumah panggung tua. Mereka terlihat masih cantik dan mengagumkan. Itu menjadi pemandangan menarik selama mengayuh sepeda-tanpa-hasil itu.

Sampai kembali di Pasar 10 Ulu, saya kemudian bertanya pada seorang bapak yang baru membuka sebuah toko kelontong. Dia kemudian menunjukkan sebuah warung pempek, di gang samping pasar. Saya kemudian ke sana, memesan beberapa potong pempek, dan mencicipinya. Hasilnya, seperti pempek yang lain, pempek 10 Ulu juga enak. Jadi apa bedanya dengan pempek yang lain? Hampir tidak ada bedanya di lidah saya yang bukan chef ini. Kan, bagi saya, syarat enaknnya sederhana saja. 😀

Sumatera Selatan, di sebuah kabupaten yang dilewati Sungai Komering, 12 November, 22.40 WIB

“Kapan-kapan, ingin menulis tentang directory pempek di Palembang”

Jogjakarta

Kota sedang hujan rintik ketika saya tiba. Saya menunggu sebentar abang saya yang datang menjemput, sambil berbincang dengan Ragil, junior saya di kampus dulu yang secara kebetulan bertemu. Abang saya ada pekerjaan di Solo, tapi malam hari dia bisa kembali ke Jogjakarta. Sekalian besok pagi  bisa mengantar saya ke tempat teman baik saya, Huda, yang menikah di kampus UII.

Saya tidak sempat membeli oleh-oleh. Hanya bisa membawakan kopi Pagar Alam untuknya.

Kami menembus benang-benang hujan dengan sepeda motor, menuju kawasan Pogung. Setelah menyimpan ransel, kami keluar untuk makan mie di sebuah warung kopi. Malam semakin dingin. Mie instan berkuah selalu bisa menjadi bagian kombinasi yang cocok untuk suasana seperti itu. Selain segelas kopi atau teh hangat, dan mengobrol tentunya.

Di pagi hari, kami sarapan di dalam kompleks kampus UGM, dan setelahnya melihat lokasi resepsi. Di Gedung Multipurpose itu, tampak orang-orang berbatik dan berpakaian adat Jawa yang sedang mempersiapkan acara siang nanti. Setelah memastikan ancer-ancernya, kami kembali ke kost. Saya mandi dan sempat tidur sebentar karena masih terasa kantuk.

Setelah agak siang, saya bersepeda motor ke acara resepsi. Saya bertemu dengan kawan-kawan kantor yang datang, beberapa kawan kuliah dulu, dan berbincang sedikit. Huda tampak kaget sambil ketawa-ketawa melihat saya datang, karena sebelumnya memang saya tidak berencana dan tidak mengabarkan akan hadir. Terlihat dia sangat sumringah bersanding dengan wanita pujaannya, boru berparas manis berdarah Batak. Semoga samara, Bro.

Siang harinya, saya diajak abang saya bersepeda motor ke kawasan Candi Borobudur (Sempat kami berencana untuk mampir di Museum Affandi, tapi waktunya tidak cukup). Dia ada janji dengan seseorang untuk mengambil sebuah maket bangunan bambu dan dibuatkan gambar. Orang itu, seorang bapak-bapak, yang sangat tertarik dengan bambu dan bangunan dari bambu (yang belakangan saya baru tahu kalau beliau arsitek). Sangat menarik mendengarkan mereka berdiskusi, meskipun saya tidak begitu paham. Dunia engineering dan arsitektur memang menarik. Dunia mereka adalah dunia seni. Tidak seperti orang ekonomi yang akan melihat bangunan dari angka-angka rupiah. Item-item bangunan adalah item biaya yang menyusun rencana anggaran biaya, bukan bagaimana manusia berkreasi agar serasi dengan lingkungannya.

Kami ditawari menginap di tempat yang begitu-Jawa-sekali itu, tapi besok pagi-pagi sekali, saya mesti kembali ke Palembang. Sebenarnya saya ingin tinggal, setidaknya sampai malam saja, pasalnya di situ akan ada pergelaran wayang kulit. Melihat deretan tokoh wayang kulit yang sedang disiapkan, siapa yang tidak penasaran.

Men-setting wayang kulit.

Men-setting wayang kulit.

Agak sore, kami ke sebuah desa yang asri di sekitar candi. Desa Tegal Wangi namanya. Di mana kami bertamu di sebuah rumah yang ditinggali seorang lanjut usia. Abang saya pernah berkegiatan di desa itu dan dia kenal baik, meskipun tidak tahu nama beliau. Kami berbincang lumayan lama dan empunya rumah tidak memperbolehkan kami pulang sebelum kami makan.

Bangunan berstruktur bambu di desa Tegal Wangi

Bangunan berstruktur bambu di desa Tegal Wangi

Kami juga bertemu dengan seorang pengrajin batu bata. Dia bilang, dia dulu pernah diwawancara sama abang saya , difoto, dan di-shootingjuga pakai kamera, sampai membuatnya malu karena seperti artis. Ada-ada saja. 😀

Menjelang malam kami mampir sebentar untuk makan di sebuah warung tongseng di sekitar kawasan candi. Warung tongseng ini tidak biasa, karena yang diolah menjadi tongseng bukanlah daging kambing atau ayam. Bahannya dari jamur. Teksturnya mirip dengan daging, rasanya juga tidak kalah enak.

Malam hari kami kembali ke Jogjakarta. Hujan turun sepanjang jalan Magelang-Jogjakarta. Menjelang larut malam, kami mencari angkringan, sesuatu yang wajib bila berkunjung ke kota itu. Juga duduk beralas tikar sambil minum kopi di alun-alun keraton. Sekarang di alun-alun, ada kereta-keretaan yang bisa disewa, berlampu warna-warni, dan digerakkan dengan kayuh sepeda. Alun-alun menjadi semarak dengan kehadiran mereka.

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.35 WIB

“Terhayut aku akan nostalgia. Saat kita sering luangkan waktu. Nikmati bersama. Suasana Jogja…-Jogjakarta, Kla”

Gili Trawangan

Saya lahir dan menghabiskan masa SMA di Pulau Lombok, pulau yang tidak habis-habisnya diceritakan tentang keindahannya. Ada budaya masyarakat yang luhur, pantai-pantai yang indah, persawahan hijau dan hutan yang sejuk, serta Gunung Rinjani yang cantik. Tapi, banyak sekali tempat di pulau itu yang belum pernah saya kunjungi. Misalnya, saya belum pernah mengunjungi Gili Trawangan. Padahal, Gili Trawangan itu dekat saja dari Mataram. Sedekat jarak Mataram dari Gili Trawangan, tentu saja kan.

Nah, berangkat dari hal itu, di masa lebaran tahun 2012, saya mempunyai waktu satu hari sebelum berangkat ke Palembang dari Mataram. Kiki, adik saya, berjanji untuk menemani. Minggu pagi, setelah kami menumpang bus PO Dunia Mas semalaman dari Dompu, kami segera berkemas. Karena sepeda motor Kiki masih di Dompu, jadinya kami meminjam sepeda motor dari Reny. Reny adalah teman kuliah Kiki, mereka sudah bersama sejak jadi mahasiswa tingkat satu.

Ada dua rute menuju Gili Trawangan dari Mataram. Pertama, ke arah utara lewat pegunungan di Pusuk, yang nanti akan tembus ke Lombok Utara. Kedua, lewat garis pantai sebelah barat Pulau Lombok, jajaran pantai-pantai berpasir putih, termasuk Senggigi di dalamnya. Kami memutuskan untuk ke Gili Trawangan dengan melewati rute Pusuk, dan kembali ke Mataram lewat Senggigi.

Kami berangkat dari Mataram sekitar jam sebelas pagi. Pemandangan sepanjang jalan cukup menarik, apalagi setelah memasuki kawasan wisata Pusuk. Kiri kanan jalan berupa hutan yang terjaga keasriannya. Ruas jalan menanjak, berkelok, dan cukup sempit, sehingga perlu lebih berhati-hati.  Di puncak punggungan bukit, sebelum jalan menurun, kami mampir sebentar. Dari tempat itu, kita bisa melihat pemandangan lembah, garis pantai, hingga pulau-pulau kecil di seberang. Udara terasa dingin. Di tepi-tepi jalan, banyak dijumpai kera-kera yang duduk menunggu, barangkali ada pengendara lewat yang berbaik hati memberi makanan.

Pusuk, Lombok Utara

Pusuk, Lombok Utara

Setelah melewati kawasan yang sejuk, kami memasuki dataran rendah yang panas. Baiknya, cuaca sedang cerah-cerahnya. Pemandangan persawahan dan perbukitan di tepinya terlihat seperti di lukisan, dengan langit biru terang. Tidak lama kami sampai di Bangsal, menitipkan sepeda motor, dan membeli karcis perahu di loket yang tersedia. Sambil menyantap makanan ringan, kami menunggu panggilan dari petugas yang memberi pengumuman lewat pengeras suara. Perahu akan jalan apabila batas jumlah penumpang untuk sebuah perahu telah terpenuhi.

Perjalanan perahu dari Bangsal ke Gili Trawangan menempuh waktu sekitar 30 menit.  Perahu yang kami tumpangi berisi berpuluh orang, ada wisatawan lokal dan mancanegara, juga penduduk lokal yang tampaknya membawa barang dagangan. Di tengah-tengah perjalanan, gelombang laut agak meninggi, menyebabkan perahu bergoyang kencang. Beberapa penumpang yang panik, mengambil baju pelampung seakan-akan saat itu keadaan darurat. Sedang penumpang yang lainnya, tidak begitu ambil pusing. Mungkin sudah terbiasa.

Di samping kami duduk, ada seorang bule (bule, kata yang sangat rasial dari bahasa Indonesia :D), mungkin masih belasan umurnya, sepanjang perjalanan perahu terlihat sangat gembira. Wajahnya bulat jenaka dengan pipi yang merah. Berulang kali dia mengambil gambar pemandangan dengan kameranya dan senyum-senyum sendiri. Belakangan, saat perahu menepi, kami perhatikan senyumnya melebar. Antusias sekali.

Perahu menepi di pantai yang berpasir putih dengan air laut yang jernih, terkesan hijau toska.  Terlihat papan yang bertuliskan “Welcome to Gili Trawangan”, menyambut wisatawan yang datang.

Menepi di Gili Trawangan

Menepi di Gili Trawangan

Saya dan Kiki berjalan kaki di ruas jalan yang mengelilingi pulau. Sepanjang jalan, terlihat wisatawan yang berjalan kaki, bersepeda, juga naik cidomo, delman khas suku Sasak. Seperti yang kita tahu, di kawasan Gili, kendaraan darat bermotor dilarang. Aturan yang diberlakukan untuk sedikit mengobati rasa bersalah manusia, untuk menjaga keasrian lingkungan.

Kami mampir sebentar di sebuah warung makan untuk makan siang, juga di sebuah warung es krim. Beberapa macam dan rasa es krim gelato tersedia, mengobati haus di bawah sinar matahari yang terik. Tidak jauh berjalan, juga terdapat juga kolam yang berisi anak-anak penyu. Sebuah sarana eco-wisata bagi wisatawan dan anak-anaknya, untuk mengenal lebih dekat dengan penyu. Termasuk mengenal betapa susahnya mereka beranak pinak di alam dan sifat sensitif mereka terhadap perubahan lingkungan.

Melihat tukik, anak-anak penyu.

Melihat tukik, anak-anak penyu.

Kami tidak lama di pulau. Saya sedikit flu akibat AC yang terlalu dingin di bus semalam, membuat tidak bisa menikmati angin pantai dan teriknya matahari. Kami segera pulang, menyeberang kembali ke Bangsal, dan bersepeda motor menyusuri kawasan pantai di sebelah barat Pulau Lombok. Jalan aspal begitu mulus, berkelak-kelok mengikuti kontur pantai, dan naik turun bila melewati bukit. Cuaca masih cerah dan membuat pemandangan pantai begitu cantik. Senja yang turun memancarkan garis-garis keemasan di sela-sela dedaunan kelapa. Air laut begitu biru, tenang seperti biasa, menyimpan rahasia. Suatu suasana yang kadang kala tidak dikira, suasana seperti itu ternyata tidak begitu jauh dari kota.

Pantai sepanjang jalan pulang.

Pantai sepanjang jalan pulang.

Sumatera Selatan, 12 November 2013, 22.30 WIB

“Mengisi waktu, memposting tulisan-tulisan yang lama. :D”

Berkemah di Pantai Tanjung Kalian, Bangka

Saya sengaja merebahkan diri di atas pasir pantai. Di atas adalah langit malam yang begitu cerah seluas pandangan. Bimasakti melintang di langit, putih terang seperti kabut. Cahaya lampu dari Mercusuar Tanjung Kelian secara berkala menyapu cakrawala. Suara debur ombak dan desau angin pantai membuat malam semakin tenteram.

Sejak tadi pagi (24/8/2013), kami menjejakkan kaki di bagian barat pulau timah itu. Kami datang dari Palembang, berangkat pukul tujuh tiga puluh, dan menempuh dua setengah jam perjalanan dengan menggunakan jetfoil Sumber Bangka 7. Tidak banyak hal menarik selama perjalanan menyusuri Sungai Musi hingga jetfoil membelah Selat Bangka. Kecuali bila kita bisa menikmati pemandangannya; karena Sungai Musi itu sendiri, deretan rumah-rumah panggung tepi sungai, rawa-rawa, dan di suatu tempat di mana ada puluhan anak-anak berenang di sisi jetfoil yang senang sekali bila dilempar uang kertas. Kau harus mencoba menyusuri Musi sekali waktu.

Kami begitu penasaran dengan mercusuar yang putih tinggi menjulang tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Kelian. Bangunan itu jelas buatan di masa kolonial, terlihat cantik. Apalagi bila definisi cantikmu adalah putih dan tinggi semampai (itu manusia apa tiang masjid ya? :D). Kata Pak Supri, penjaga mercusuar, pengunjung bisa menaiki tangga sampai ke pucuk mercusuar. Tarifnya tidak mahal, Rp5000,00 saja per orang. Kami tentu saja tidak melewatkan itu.

Mercusuar Tanjung Kalian

Mercusuar Tanjung Kalian

Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa leluasa memandang sekitar. Pemandangan Selat Bangka, ujung-ujung pantai bagian barat, garis pantai di selatan, hingga wilayah perkotaan di sebelah utara, sejauh mata bisa memandang.

Pemandangan dari atas mercusuar

Pemandangan dari atas mercusuar

Ngobrol sama Pak Supri

Ngobrol sama Pak Supri

Setelah dari mercusuar, lapar mendera sehingga kami mencari warung makan untuk makan siang. Sebelumnya, Pak Supri menyarankan kami untuk menggunakan travel, bila ingin jalan-jalan ke Muntok atau ke Bukit Menumbing. Sambil menyantap makan siang di depan pelabuhan, yang pemilik warungnya adalah orang Palembang (dan punya tato Slank di lengan kanannya :D), kami menunggu datangnya mobil travel. Sempat kami dan supir travel berselisih paham,  karena tentu saja kami baru akan setuju bila tarif dan rutenya cocok, sedangkan dia menganggap kami sudah setuju dari awal. Akhirnya, asal idak jadi bae, kami sepakat dengan tarif Rp250.000,00 dengan minibus Daihatsu Xenia di luar bensin, untuk mengantar kami ke Bukit Menumbing. Harga yang cukup sepadan kami rasa, mengingat kami rombongan berlima.

Bukit Menumbing adalah tempat bersejarah di mana Soekarno, Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S. Suryadarma, Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Agus Salim, pernah diasingkan. Perjalanan ke Menumbing tidaklah lama, sekitar 45 menit, namun setelah Muntok, mobil akan melewati jalur sempit, berliku, yang kiri-kanannya hutan. Di suatu ketinggian, kami berhenti di sebuah shelter yang dari tempat itu, kami bisa melihat pemandangan Muntok dan kawasan pantai dari atas.

Di puncak Bukit Menumbing terdapat Wisma Menumbing tempat para pejuang bangsa tinggal selama pengasingan. Udara di wisma terasa dingin, berasa sekali karena kami baru datang dari kawasan pantai. Bangunan wisma masih terlihat bagus dan terawat. Di dalam wisma, kita bisa melihat mobil Ford BN 10 peninggalan Bung Karno, perabotan yang masih asli (termasuk kursi dan meja kerja sang presiden), foto-foto berbingkai, dan tulisan-tulisan penjelasan sejarah. Oh ya, kami sangat beruntung, karena penjaga mengijinkan kami memasuki kamar tidur Bung Karno dan Bung Hatta. Di dalamnya terdapat dua tempat tidur sederhana, meja kecil, peci yang digantung, serta sejadah yang dilipat rapi.

Wisma Menumbing

Wisma Menumbing

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Cecep dan Fikri mejeng di Ford BN 10

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Berlagak memikirkan nasib bangsa

Setelah dari Bukit Menumbing, Pak Supir mengantar kami ke Pantai Tanjung Ular. Pantai itu berupa teluk dengan beberapa perahu nelayan bersandar,yang terlihat lebih indah dari Pantai Tanjung Kelian; dengan airnya yang jernih, pasirnya putih berbutir besar-besar, dan batu-batu karang. Kami hanya sebentar saja di sana, sejenak melihat suasananya, dan mengambil beberapa gambar.

Dari Pantai Tanjung Ular kami kembali ke Muntok. Di tengah perjalanan, kami mampir di Batu Balai, sebuah struktur batu yang unik, seperti ada yang sengaja menyusunnya. Di tengah susunan batu, terdapat ruangan kecil yang terlihat sisa taburan bunga dan wadah untuk membakar kemenyan. Sepertinya, tempat itu biasa digunakan orang untuk bertapa.

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! :D

Batu Balai. Perhatikan, si Ahda jadi model! 😀

Muntok adalah kota kecil yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat. Muntok terlihat rapi, hijau, dan bersih. Di Muntok terdapat beberapa tempat yang kami kunjungi, misalnya monumen  Soekarno Hatta, Wisma Ranggam (tempat pengasingan juga, namun di Muntok), Masjid Jami’,  dan Klenteng Kung Fuk Min. Masjid dan klenteng berdiri berdampingan, mungkin untuk menggambarkan toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat Bangka.

Monumen Soekarno-Hatta

Monumen Soekarno-Hatta

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami'

Ini ane, Gan, di Mesjid Jami’

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Interior Kelenteng Kung Fuk Min

Wisma Ranggam.  Kali ini Cecep jadi model.

Wisma Ranggam. Kali ini Cecep jadi model gendum.

Sebelum kembali ke Tanjung Kalian, kami juga diantar berkeliling di komplek PN Timah, suasananya seperti perumahan Pertamina atau komplek Pusri di Palembang. Menuju Tanjung Kalian, kami melewati jalur yang berbeda, kawasan pantai sebelas selatan. Bangka benar-benar kaya dengan pantai.

Sekembali ke Tanjung Kelian, kami bersantai di tepi pantai sambil menikmati es kelapa muda (es dogan, sebutan warga setempat, sama seperti di Palembang) dan dua piring otak-otak ikan. Mendekati waktu matahari terbenam, kami menyusuri pantai, mencari tempat yang bagus untuk menangkap momen matahari tercelup ke dalam air laut. Pantau terlihat ramai dengan orang-orang yang bercengkrama dengan teman-teman atau keluarganya. Farid dan Cecep membawa kamera DSLR, keduanya memang gemar fotografi, dan sibuk menangkap gambar yang terbaik. Saya juga mencoba mengabadikan gambar dengan kamera poket saya, yang tentu saja hasilnya tidak bagus :D.  Jadi saja, akhirnya saya memilih duduk memeluk lutut, memandang matahari yang berwarna oranye, seperti orang patah hati.

Menunggu Sunset

Menunggu sunset

Menjelang malam, kami segera mendirikan tenda dome, di bawah pohon cemara, tidak jauh dari mercusuar. Beberapa dari kami ke tempat Pak Supri untuk meminjam toilet dan salat magrib. Setelah tenda berdiri, kami membeli nasi putih dan mie instan (jauh-jauh ke sini, makan mie instan :'(), makanan yang tersisa di warung makan depan pelabuhan. Kami membawa kompor gas kecil dan nesting, jadi bisa digunakan untuk memasak. Rencananya sih malamnya mau bakar ikan, tapi tadi sore kami tidak menemukan tempat orang menjual ikan. Jadinya rencana bakar dan makan ikan segar tinggal menjadi mimpi saja.

Masak seadanya :D

Masak seadanya 😀

Tapi tidak mengapa, setidaknya kami bisa menikmati pemandangan dan suasana pantai di saat malam, sambil mengobrol dan minum kopi buatan sendiri. Di daerah asal kami masing-masing, memang tidaklah sulit mendapatkan suasana sebagus itu. Tapi di Palembang, tempat kami bekerja, ceritanya lain lagi. Selain karena sangat jarang menemukan suatu malam yang langitnya bersih (akibat polusi udara dan polusi cahaya), juga kami jarang sekali menyempatkan diri memandang alam sekitar. Pekerjaan kadang kala membuat manusia menjadi mesin: hanya mengenal rutinitas tidur, berangkat ke kantor, balik ke kost setelah langit gelap, main video game, dan tidur lagi. Seperti tidak merasa bosan.

Sampai dengan pukul 12 malam, Pantai Tanjung Kalian tidaklah benar-benar sepi. Masih ada orang-orang yang menghabiskan waktu untuk memancing ikan sepanjang pantai. Di dekat kami mendirikan tenda, malah ada sekeluarga dengan dua anak kecilnya, menggelar tikar menunggu mata kail disambar ikan. Saya sempat berbicara dengan seorang pemancing dan dia menyebutkan nama ikan yang dia dapatkan malam itu.

Setelah tidur malam dengan nyenyak karena capek, pagi-pagi sekali kami bangun dan membereskan tenda. Tujuan kami adalah melihat matahari terbit. Kami berjalan di sisi sebelah pelabuhan, dan duduk sabar menunggu matahari muncul. Rasanya beruntung, bisa melihat sunset dan sunrise dalam perjalanan singkat kami.

Kami kembali lagi ke mercusuar, untuk mandi dan persiapan kembali ke Palembang. Saya menyempatkan diri untuk berenang di pantai. Airnya tidaklah sebening kristal, tapi cukup bersih. Segar sekali rasanya berenang di waktu pagi hari yang cerah, dengan sinar matahari yang masih hangat.

Kami segera membeli tiket jetfoil dan sarapan, tentu saja di warung depan pelabuhan. Oh ya, di hari itu, ada acara tapak tilas Bung Karno. Salah satu acaranya adalah pawai dengan berjalan kaki dari Muntok ke Tanjung Kalaian, dengan pakaian dan penampilan orang di masa perjuangan kemerdekaan. Di setiap kelompok pawai selalu ada peserta yang berpenampilan ala Soekarno, beberapa lainnya mengucir kepang rambutnya dan membawa rantang atau perlengkapan lain, dan setiap kelompok membawa bendera PNI. Mereka terlihat sangat menghayati perannya.

Rombongan "Bung Karno"

Rombongan “Bung Karno”

Jetfoil berangkat pukul 11.00, kembali membelah Selat Bangka dan menyusuri Sungai Musi menuju Palembang. Perjalanan ini memang terlalu singkat, rasanya sayang sekali hanya semalam. Tapi, kami beruntung bisa mengunjungi beberapa tempat wisata; Pantai Tanjung Kalian, Wisma Menumbing, Pantai Tanjung Ular, Batu Balai, Masjid Jami’, Klenteng Kung Fuk Min, Wisma Ranggam, dan melihat suasana Muntok. Itu tidak lepas dari kebaikan pak supir travel. Sepanjang jalan dia bercerita banyak tentang Bangka; tentang tempat wisata, sejarah, dan kehidupan masyarakatnya, seperti pemandu wisata. Terima kasih banyak untuknya.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

Mercusuar Tanjung Kalian. Sempat-sempatnya bikin sket. Hehe.

MP Mangkunegara Palembang, 15 Oktober 2013

“Selama ada teman yang bisa diajak bertualang, merantau tak ubahnya jalan-jalan :)”.

Beberapa informasi lainnya, mungkin berguna bila ingin ke Muntok:

  1. Penyedia angkutan jetfoil Palembang-Bangka ada dua, yaitu Sumber Bangka dan Bahari Ekspress.  Pelayanan keduanya relatif sama, dengan tarif Rp195.000,00 s.d Rp220.000,00. Untuk yang ingin kenyamanan, baiknya tidak memilih kelas ekonomi, karena duduknya di bagian buritan yang tidak berdinding dan bangkunya tidak ada senderan kepala. Jetfoil berangkat jam 07.00 pagi dari Palembang, dan jam 11.00 siang dari Bangka, dengan perjalanan 2,5 jam. Tiket bisa dibeli di kantor pemasarannya, atau bisa langsung ke Pelabuhan Boom Baru atau Pelabuhan Tanjung Kalian. Datanglah setidaknya jam enam pagi, takutnya tiketnya habis.
  2. Tarif sewa travel selama 24 jam di Muntok rata-rata Rp250.000,00 di luar bensin dan supir. Jasa supir sekitar Rp150.000,00 sehari. Bagusnya kita berkunjung ramai-ramai, jadi bisa menghemat biaya.
  3. Kami kurang mengerti tentang penginapan di Muntok. Tapi kabarnya, beberapa kamar Wisma Menumbing akan diubah menjadi penginapan.
  4. Untuk berkeliling Muntok mungkin cukup sehari, tapi bila ingin melihat Bangka, setidaknya butuh tiga hari. Pantai-pantai yang indah di Bangka adanya di Sungai Liat, sekitar tiga jam dari Muntok.
  5. Bila ingin berkemah di Pantai Tanjung Kalian, sebaiknya memberitahukan para penjaga mercusuar, dan tidak mendirikan tenda terlalu jauh dari mercuruar, dengan pertimbangan keamanan.

beberapa hal lainnya di Medan

Polonia dan Kualanamu

Saya dan Mbak Esty tiba hari Rabu,  yang merupakan hari terakhir Polonia beroperasi, dan kembali ke Palembang hari Sabtu saat Kualanamu beroperasi di hari ketiganya. Kualanamu adalah bandar udara yang baru untuk Sumatera Utara, bergaya modern penuh dengan kaca dan alucopan, terletak di Kabupaten Deli Serdang, kira-kira 30 kilometer dari Kota Medan. Sebenarnya Kualanamu masih dalam tahap finishing, namun telah mulai dipakai. Kereta api menuju ke sana telah beroperasi, tapi stasiunnya yang langsung terhubung dengan bandara masih dikerjakan. Di hari Sabtu itu, banyak pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing, masyarakat yang dibolehkan masuk sampai sebelum ruang tunggu, dan huruf raksasa di bangunan utama bandara yang masih belum lengkap; masih Kualanamu Inter (bukan Kualanamu Internazionale Milan, kan? :D).

Oh ya, tarif kereta api Rp80.000,00 per orang, taksi sekitar Rp160.000,00 sekali jalan, dan bus Rp20.000,00 per orang. Yang menjadi topik yang ramai dibicarakan adalah airport tax sebesar Rp100.000,00 per orang, dan di koran lokal banyak masyarakat yang berpendapat itu terlalu mahal.

Sekali lagi tentang Istana Maimun dan Masjid Almashun

Di jaman masa jayanya, Kesultanan Deli memang menjadi entitas pemerintahan yang makmur. Tanahnya yang luas disewakan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda, menjadi sumber pemasukan yang luar biasa (ingat kan, tembakau Deli sangat terkenal di Jerman). Walaupun sekarang menjadi cerita kejayaan masa lalu, sejalan dengan hilangnya kekuasaan politik kesultanan dan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda kemudian dinasionalisasi di era Presiden Soekarno, namun bangunan peninggalan Kesultanan Deli tetap mencatat cerita tersebut. Masjid Al Mashun dikabarkan menghabiskan dana satu juta Gulden untuk pembuatannya. Masjid tersebut bergaya campuran India, Turki, dan Spanyol. Kabarnya, kaca patri di jendela-jendelanya dikirim dari Cina, lampu gantung bikinan Prancis, dan batu marmer diimpor dari Italia. Lantai, dinding, dan tiang-tiang dihiasi dengan motif bunga dan tetumbuhan, khas art nouveau. Saya kagum dengan tiang-tiang di tengah bangunan utama, yang tampaknya dibuat dari dua susun batu marmer dan diukir halus seperti bentuk bunga di ujung atasnya, mihrab yang berbentuk separuh kubah, serta mimbar yang dibuat sebagian besar dari batu marmer. Namun, beberapa bagian bangunan, seperti beberapa kaca patri, telah rusak dan seperti belum diganti dalam waktu yang lama. Mungkin sebabnya, biaya perawatan bangunan semegah itu tentu tidaklah sedikit.

Masjid Al Mashun

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun, Medan

Masjid Al Mashun

Masjid Al Mashun, Medan

Sebelas dua belas dengan Masjid Almashun, Istana Maimun juga merupakan bangunan yang cantik. Istana yang berwarna kuning, warna kebesaran Melayu itu, dibuat dengan gabungan bermacam gaya arsitektur. Atapnya bangunan utamanya ceper, dengan jendela kecil-kecil di bagian atas, lengkung-lengkung pada teras dan tangga masuk, dinding yang tebal, jendela dan pintu-pintu utama yang besar, kubah-kubah dengan dasar segi empat, dan lukisan-ukiran corak bunga-tetumbuhan pada ubin lantai, dinding, lubang angin di atas jendela, dan plafon.  Siapapun yang merancang dan membangun istana itu, pasti ingin orang-orang pada kemudian masa tetap dapat melihat keindahan pada bangunan itu.

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun

Istana Maimun, Medan

Istana Maimun

Istana Maimun, Medan

Museum Sumatera Utara

Di Sabtu pagi, saya sempat jalan-jalan ke Museum Sumatera Utara. Meskipun di akhir pekan, suasana museum terlihat sepi. Hanya ada beberapa kelompok anak-anak SD yang datang berkunjung. Tidak ada pengunjung umum. Saya saja dikira mahasiswa oleh mbak-mbak penjaganya (Eh iya, saya kan masih berstatus mahasiswa kan? :D).

Tarif memasuki museum adalah Rp1.000,00. Dengan tidak meremehkan nilai uang seribu rupiah, menurut saya, terasa aneh bila memasuki tempat wisata sejarah dengan hanya seribu perak. Akan lebih berarti bila nilainya sedikit lebih besar. Saya pikir,  pengunjung tentu saja tidak akan keberatan, yang mana di lain sisi, karcis bioskop di hari sekarang (yang telah menjadi kebutuhan hiburan hampir wajib orang kota) bisa mencapai Rp50.000,00 untuk satu-dua jam film Holywood.

Ruang display Museum Sumatera Utara dibagi dalam dua lantai. Lantai pertama, di sayap kanan dari depan, diisi dengan benda-benda di zaman prasejarah, kemudian zaman Hindu-Budha, zaman kedatangan dan perkembangan Islam, dan zaman kolonial. Di sayap kiri, dimulai dengan ruang gubernur, yang memajang foto-foto gubernur yang pernah memimpin Sumatera Utara. Kemudian berlanjut pada ruang yang memajang benda-benda dari zaman perjuangan kemerdekaan. Lantai kedua, lebih ke arah budaya masyarakat Sumatera Utara. Di sayap kiri, dipajang alat dan perlengkapan, termasuk pakaian adat, yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara sehari-hari, dari masa ke masa. Di sayap kanan, terdapat maket-maket rumah adat dari pelbagai suku asli Sumatera Utara, manekin orang Nias, perlengkapan untuk bertani, menangkap ikan, berburu, dan menenun. Di ujung ruangan, terdapat beberapa gambar dan tulisan mengenai suku-suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara. Display di ruangan tersebut memperlihatkan kepada pengunjung, bahwa Medan atau Sumatera tidaklah identik dengan Suku Batak. Terdapat bermacam suku dan etnis lain, yang berbeda adat, budaya, bahkan agama. Suku-suku asli terdiri dari Batak, Melayu, Simalungun, Toba, Mandailing, Karo, Pakpak, dan Nias, serta suku-etnis pendatang seperti Jawa, Cina, Arab, dan India.

Kondisi museum cukup terawat dengan baik, kecuali pada beberapa bagian di lantai dua, yang pada salah satu bagian temboknya dipenuhi dengan coretan vandalisme pengunjung. Selain itu, penerangan di lantai dua juga masih kurang. Termasuk juga aroma apek yang tercium yang membuat tidak nyaman. Seorang anak SD berkata ke saya, “Bang, datang sendiri? Kalau naik di atas ngeri, Bang”. Mungkin suasana lantai dua seram bagi mereka.

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Museum Sumatera Utara

Kuliner Medan

Berkunjung ke Medan tentu saja sayang bila tidak mencicip kulinernya yang terkenal, semacam bika ambon, bolu gulung, pancake durian, buah durian, masakan khas etnis Cina, India, dan Arab di Medan. Kami hanya sempat mencicip masakan untuk berbuka di Ramadhan Fair samping Masjid Almashun, dimsum yang ringan-ringan di Resto Nelayan, dan mie aceh Titi Bobrok. Mie aceh kepitingnya enak (dengan satu ekor kepiting) dan tidak sampai menguras kantong karena cukup ditebus dengan uang Rp17.500,00 per porsinya.

Bubur Masjid Raya

Saya sebenarnya tidak begitu suka makan bubur yang tidak manis. Namun, bubur Masjid Raya Medan sudah cukup dikenal dan amat sayang bila tidak mencicipinya. Bubur tersebut merupakan bubur dari beras yang dicampur dengan daging, dilengkapi sayuran semacam urap, dan beberapa buah kurma. Beberapa orang keturunan Arab membuat bubur tersebut dalam belanga yang besar dan mengihidangkan dalam ratusan piring pada meja panjang. Sebelum berbuka, para pengunjung Masjid Raya dapat mengambil bubur tersebut, dengan segelas teh manis, dan berbuka sama-sama pada karpet serta tikar-tikar yang digelar di halaman masjid.

Bubur Masjid Raya

Bubur Masjid Raya

Angkot dan Supir Medan

Supir yang berasal dari Medan sudah terkenal dengan “kepiawaiannya” mengendarai kendaraan umum di kota-kota besar. Bagaimana bila di daerah asal mereka?

Selama di Medan, alat transportasi yang kami gunakan adalah angkot. Menaiki angkot di Medan adalah sebuah horor tersendiri, bagi siapa yang tidak biasa atau yang jantungan. Angkot dikemudikan dengan kecepatan tinggi, menikung tiba-tiba, dan sering kali hampir menyerempet kendaraan lain. Namun kerennya, tidak terjadi sentuhan fisik antar kendaraan (apa ini bahasanya…). Selain itu, sepertinya penumpang juga mesti terbiasa dengan suasana bila supir angkot dan pengendara lain bersitegang di tengah jalan. Namun tenang saja, seperti tipikal orang Medan yang terkenal itu, mereka kadang keras di ucapan saja, tidak sampai main fisik.

Selain angkot, transportasi di Medan ada taksi, bajaj, becak motor (bentor), dan sudako, semacam oplet khas Medan.

Bentor

Bentor

Sudako

Sudako

Teman-kenalan baru

Karena diklat diikuti peserta dari beberapa kantor perwakilan, mau tidak mau tentu saja saya mendapat kenalan dan teman baru. Selama di Medan, seusai diklat di kelas sampai jam lima, mereka menjadi teman jalan-jalan.  Kami biasanya dalam satu kelompok yang bisa membuat angkot atau sudako menjadi penuh dan cepat menjadi akrab.

Palembang, 19 Agustus 2013. Diposting dulu, sebelum lupa.

“Foto-fotonya menyusul ya”

menyusuri Stasiun Medan-Masjid Al Mashun

Dapat panggilan untuk diklat ke Medan tentu membuat saya senang. Otak saya langsung berpikir untuk memanfaatkan waktu di sela-sela diklat untuk jalan-jalan. Tidak penuh empat hari di Medan, dengan dua harinya di ruang kelas, pastinya tidak akan banyak yang bisa dilihat. Namun di siang kemarin, di hari pertama tiba di sini, saya mencoba melihat-lihat suasana kota.

Tempat diklat kami agak jauh dari pusat kota. Namun, akses transportasi umum cukup ramai dan tersedia hingga malam hari. Setelah googling destinasi wajib di Medan dan  melihat peta di Google Maps, saya memutuskan untuk memulai perjalanan dari Stasiun Kota Medan, karena supir angkot manapun pasti paham rute menuju ke sana. Nah, bila saya tidak salah melangkah, maka ke arah selatan akan bertemu dengan Merdeka Walk (yang berada di depan stasiun), kawasan Kesawan, Mansion Tjong Afie, Istana Maimun, dan Masjid Raya Al Mashun. Kalau dilihat di peta sih tidak begitu jauh, jadi mungkin saja bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Saya jadi berjalan kaki dari Stasiun Medan sampai Masjid Raya Al Mashun. Lumayan berkeringat sangat. Tapi di kawasan Kesawan, ada banyak sekali gedung-gedung tua yang masih terlihat cantik, termasuk Gedung London dan Mansion Tjong Afie. Itu membuat jalan kaki menjadi menyenangkan, ataupun kalau tidak, anggap saja begitu :D. Apalagi di akhir rute ada Istana Maimun dan Masjid Raya, dua bangunan berusia ratusan tahun dengan arsitektur Moor-nya yang membuat kagum (kecuali pada halaman yang sedikit tercecer sampah serta beberapa bagian yang kurang terawat dan rusak). Dari gaya bangunan, ornamen, ukiran, dan lukisan pada kedua bangunan itu, dapat dibayangkan betapa tekun dan telitinya para insinyur, arsitek, tukang, seniman, pengrajin, dan pekerja lainnya saat menyelesaikannya. Betapa nyeninya mereka.

Berikut ini beberapa foto yang bisa saya ambil dengan kamera saku selama berjalan kaki. Oh ya, saat buka puasa, saya berbuka dengan bubur khas Masjid Raya, yang beberapa hari yang lalu saya lihat di tivi. Juga dikerubuti oleh anak-anak kecil yang senang sekali melihat orang menggambar. Bahkan, ada yang bilang dan terus berlari ke arah keran air: “Bang, aku ambilkan airnya, Bang!”, untuk mencairkan warna watercolour cake. Mereka menyebut pewarna atau cat dengan sebutan kelir. Kosakata yang terasa aneh bagi orang luar Medan untuk percakapan sehari-hari, selain kereta untuk sepeda motor, pajak untuk pasar, pasar untuk jalan, dan galon untuk SPBU. Kosakata terakhir saya dapatkan dari sopir angkot nomor 43. Dia adalah sopir medan, yang ditemui langsung di Medan.

Stasiun Medan

Stasiun Medan

Merdeka Walk

Merdeka Walk

Gedung London

Gedung London

Mansion Tjong Afie

Mansion Tjong Afie

Kawasan Kesawan

Kawasan Kesawan

Istana Maimun

Istana Maimun

Sketching Masjid Al Mashun

Sketching Masjid Al Mashun

Jamin Ginting, Medan, pagi di 25 Juli 2013

“Fyi, 24 Juli kemarin adalah hari terakhir beroperasinya Polonia sebagai bandar udara komersial Kota Medan”

Belitang

Lumbung padi Sumatera Selatan

Pemilik duku dan durian Rasuan

Kota Terpadu Mandiri demikian adanya

Pasar, sekolah standar nasional, gedung perbankan

rumah sakit yang baru dibangun, dan dealer kendaraan beroda empat

 

Hamparan sawah seluas pandangan

Irigasi mengalir jauh dari Perjaya

Disekat-sekat oleh Bendungan Komering

Sebutlah Bendungan Komering nomor berapa, disitulah alamatnya

 

Orang-orang dari Jawa, transmigran sejak zaman Belanda

Mengolah tanah dengan tekun dan ulet bekerja

Bersama penduduk asli, orang-orang Komering

Membangun kampungnya

Maju berkembang seiring karet melambung di dunia

 

Kalaulah jalan beraspal ke Martapura menjadi mulus

Atau antrian di depan pom bensin tidak mengular panjang

Bertambahlah pula kemakmuran

dengan Sungai Komering yang tetap dijaga

dan tidak lupa sesama

MP Mangkunegara, Palembang, 2013

“April 2013 lalu, hanya sepuluh hari di Martapura, tidak begitu banyak yang bisa dilihat. Apalagi lebih banyak di dalam kantor saja. Tapi di suatu hari, kami pergi ke sebuah instalasi kesehatan di Belitang dan sore di tengah perjalanan pulang, Mbak Yenni, teman kantor mengajak mampir di Sate Bu Rita. “Biar nanti ditanya orang sudah pernah ke sini, Ris. Kalau ke Belitang, harus mampir di sini”. Hoho, grazie!”

bercerita lagi

Akhir pekan ini rasanya menenangkan sekali. Tugas dua bulan dari kantor sudah selesai, laporannya sudah terbit, dan saya bisa tidur lebih awal setiap hari. Sebenarnya, beberapa pekan belakangan ini tidak perlu begadang, meskipun ada beberapa hari yang mesti dilalui dengan tidur larut malam. Masalahnya, saya masih berusaha keras agar tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Padahal itu seringkali membuat saya menjadi kewalahan bila mendekati deadline serta menjadi jarang makan dan jarang mandi.

Ini pengalaman pertama saya memegang lap*ran keuangan, sesuatu yang biasa saja bagi sarjana akuntansi manapun. Namun, ternyata itu sangat banyak sekali yang mesti dilihat kecocokan angkanya. Bila tidak cocok, saya menjadi penasaran dan akan berpose seperti patung The Thinker, karya Auguste Rodin. Bila ketidakcocokan itu tidak kunjung ditemukan sebabnya, maka rasa penasaran itu berubah menjadi pusing dan ciri fisik lainnya yang menandakan stress ringan. Maka, bila sudah larut malam, saya akan segera tidur dan melupakan semuanya (oh, tentu saja tidak semuanya). Setidaknya itu mengurangi satu masalah, yaitu masalah kantuk. Nah, biasanya setelah tidur, walaupun sebentar, pikiran akan jernih lagi atau setidaknya tubuh menjadi fit kembali. Itu sangat membantu untuk menemukan angka mana gerangan yang membuat semuanya tidak imbang.

Sabtu hari ini tidak ada kelas kuliah karena baru saja ujian semester. Jadi saya ke rumah sakit, yang rencananya sudah lama sekali. Saya menjadi tergugah lagi saat membaca sepotong kisah Christino Ronaldo, yang rela tidak mentato badan karena dia rutin mendonorkan darahnya. Meskipun saya tidak memiliki tato—kecuali bekas imunisasi di lengan kanan—sayapun ingin bisa mendonorkan darah lagi.

Tapi saya datang terlalu siang, jadi saya mencatat nama-nama dokternya saja dan bertanya di mana mereka membuka praktik.

Oh ya, di belakang rumah sakit ada sebuah bangunan lama yang termasuk bagian rumah sakit juga. Saya tidak paham dengan arsitektur, hingga hanya bisa menebak bangunan itu sepertinya bergaya mediteranian. Gayanya seperti bangunan-bangunan di Italy dan Spanyol (seperti di film-film), dengan balkon melengkung dan railing dari besi tempa, jendela yang kecil, serta bagian atas jendela dan pintu yang berbentuk busur. Balkon dan railing itu yang tidak kuku, melengkung cantik dan rapi sekali.

Saya sempat masuk ke dalam, dan menemukan ruang lobby yang tinggi, dengan jendela-jendela kaca yang bisa dibuka tutup dengan tuas-tuas besar, sistemnya semacam cara kerja kaca nako.

Saya tertarik dengan bangunan-bangunan lama. Saya pikir, mereka benar-benar dibuat oleh seniman. Bentuknya indah dan teruji ketahanannya berpuluh tahun. Beberapa bangunan lama yang saya perhatikan, bentuknya selalu rapi dan kokoh. Misalnya, tangga melengkung di Watertoren yang sekarang menjadi Kantor Walikota Palembang, lengkungannya sangat rapi seperti hasil cetakan puding. Itu istimewa sekali, lain dari biasanya. Pasalnya, seringkali bangunan-bangunan publik di masa sekarang, apalagi bila dikerjakan oleh kontraktor lokal, seperti dibuat asal jadi.

Saya kemudian kembali ke tempat parkir, mengeluarkan buku sketch dan alat-alatnya di bagasi sepeda motor saya yang setia, karena selalu diservis dan diganti oli secara rutin. Mereka selalu ada di sana, jadi tidak susah bila memerlukan sewaktu-waktu. Dari pojok halaman di bawah pohon tanjung, saya mulai menggambar. Tapi, saya tidak terlalu betah di situ, karena tempat duduk dari cansteen yang tidak terlalu nyaman. Saya jadi berpikir untuk membeli kursi lipat yang saya lihat di Ac* Hardware. Namun, perlu dipertimbangkan lagi, karena sepertinya itu tidak muat di bagasi Vega Riani, disingkat Vega R, sepeda motor saya. 😀

Seperti di Spanyol kan? :D

Seperti bangunan di Eropa bagian selatan kan? 😀

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Bangunan tua di belakang rumah sakit.

Palembang, 29 Juni 2013, 23:50

“Setelah tulisan ini; saya mungkin akan lebih rutin bercerita. Sekedar menertawakan diri sendiri. Seperti kemarin saya hampir ketinggalan pesawat sewaktu ke Jogja atau hampir kehilangan seluruh data di notebook saya :D”.

kiki ke palembang

Palembang

Monpera, alias Monumen Perjuangan Rakyat

Waktunya bisa tepat seperti itu. Awalnya, jadwal tugas dari kantor mulai di awal pekan, yang mana hari kamisnya adalah hari wisuda. Jadi, saya akan ijin sehari penuh untuk mengikuti seremoni itu. Saat hari-hari (sok) sibuk itupun, tentu saja tidak ada waktu untuk mengajak Kiki jalan-jalan. Jadi, lebih baik rencana mengajak Kiki dibatalkan saja.

Tapi ternyata jadwalnya diundur seminggu, dan itu adalah kabar yang amat baik, meskipun tiket belum di tangan. Saya kemudian mencari tiket di situs-situs maskapai penerbangan dan dapat tiket yang lebih murah separuhnya dibandingkan saat musim lebaran. Voyla!

Kiki tiba dengan kerudung dan koper merah marun, cengar-cengir dengan kawat gigi warna biru, dan logat Mataram. Saya senang sekali melihatnya.

Hari wisuda, kami bermotor ke tempat Mbak Esty, teman kantor sekampus yang juga wisuda. Dari sana, dengan mobil pinjaman Mbak Dewi yang juga menemani Mbak Esty, kami berangkat ke OPI Convention Center. Jalanan ramai, lebih-lebih di Jembatan Ampera, karena hari itu ada dua universitas yang mengadakan seremonial wisudanya di Seberang Ulu.

Acara wisuda berjalan dengan baik. Ada menteri PAN yang hadir dan saya menaruh perhatian akan pesan yang dia sampaikan. Meskipun Kementerian PAN mengurusi masalah aparatur negara, pesannya adalah agar para wisudawan tidak takut untuk menjadi wirausahawan. Pengalamannya yang lulus dari fakultas teknik di sebuah universitas teknik di Bandung dan pulang ke Aceh mendirikan perusahaan konsultan dengan karyawan dua orang mahasiswa saja—yang sekarang tumbuh menjadi ratusan orang—mungkin bisa menjadi inspirasi bagi wisudawan yang hadir.

Selesai acara wisuda, kami istrahat saja, setelah sebelumnya makan siang berempat di seputaran Kambang Iwak. Malam harinya baru kami jalan-jalan, makan martabak HAR di depan Masjid Agung. Malam semakin larut seperti gula dalam air teh panas, tapi bundaran air mancur masih ramai. Lampu-lampu disorot ke arah air mancur dan cahayanya berganti-ganti warna. Kami mampir di sana, dan mengambil beberapa gambar.

Besoknya saya ke kantor terlebih dahulu sampai sore. Habis magrib kami keluar, rencananya mau nonton film. Jadi saya ajak Kiki ke PIM, Palembang Indah Mall. Kami menonton The Raid, film yang sebenarnya tidak mau saya tonton untuk kedua kalinya, karena terlalu banyak adegan berdarah-darah. Tapi mau bagaimana lagi, si Kiki maunya nonton film itu.

Dan, namanya perempuan, entah kenapa tergoda membeli sepatu, padahal sepatunya sudah beberapa pasang. Dua kali kami bolak-balik lantai dua dan lantai tiga karena si Kiki bingung memilih sepatu yang mana. Saya hanya kasih saran dua-duanya bagus, tapi pilih satu saja. Hehe.

Di suatu pagi di hari Sabtu, Kiki ingin sekali melihat markasnya Sriwijaya FC. Komplek Jakabaring Sport City (JSC) sebenarnya bisa dijadikan tempat rekreasi. Selain taman-taman terawat dan jogging track yang bagus, di bagian belakang terdapat danau sebagai wahana olah raga air. Pemandangannya asri, airnya bersih, dan lingkungan disekitarnya juga (masih) terpelihara kebersihannya.

Stadion Gelora Sriwijaya.

Stadion Gelora Sriwijaya. Sama adik ane :D.

Nah, si Kiki diajak ke mana lagi ya? Ke mana lagi ke Palembang, kalau tidak ke Pulau Kemaro!

Setelah dari JSC, dan ke Masjid Agung, kami berjalan kaki menyusuri Benteng Kuto Besak, Monpera, Museum Sultan Badaruddin II, dan mencari perahu di bawah Jembatan Ampera, sambil mengambil-ambil gambar. Setelah sebelumnya melihat kota yang gemerlap dan lalu lintas yang banyak kendaraan mewah, barulah terlihat sisi lain kota di sekitar jembatan, kawasan para pedagang kecil mencari nafkah. Mungkin ini penilaian secara subjektif, tapi kesenjangan ekonomi di kota ini kadang-kadang terlihat dengan kasat mata.

Kami menyewa sebuah perahu getek untuk pergi-pulang Pulau Kemaro dengan tarif Rp60.000,00. Si Kiki kasihan melihat penampilan dan gestur si bapak pengemudi perahu. Dia memang gampang kasihan kepada orang lain. Perjalanan sekitar 30 menit sekali jalan. Getek yang kami tumpangi sesekali terombang-ambing karena perahu lebih besar atau perahu boat lewat dengan begitu kencangnya.

Naik getek di Sungai Musi

Naik getek di Sungai Musi

Di tengah perjalanan, masih di atas sungai, tiba-tiba hujan turun disertai angin. Syukurlah, tidak begitu jauh dari posisi perahu yang kami tumpangi, ada kios bahan bakar terapung. Bapak pengemudi perahu dengan cekatan menambatkan perahunya, menyapa pemilik kios, dan mempersilakan kami agar berteduh di dalam. Saya sebenarnya sedikit waspada—mungkin ini berlebihan—namun saat itu sedang hujan, kami di tengah sungai, dan bisa saja terjadi apa-apa. Namun, pemilik kios hanya penampilannya saja yang seram. Saya sempat berbicara dengannya, dan mengetahui kami dari NTB, dia bercerita bahwa pernah beberapa tahun tinggal dan bekerja di Praya, Lombok Tengah. Terima kasih untuknya, sudah memberi tempat berteduh bagi kami bertiga.

Rumah Rakit, Sungai Musi

Rumah Rakit, Sungai Musi.Tempat kami berteduh sebentar ketika hujan.

Pulau Kemaro adalah sebuah pulau biasa di tengah sungai dengan dermaga kecil. Sepotong ujungnya digunakan sebagai areal wisata, di mana di tempat itu berdiri tempat peribadatan bagi umat Budha, berupa beberapa bangunan wihara dan sebuah pagoda. Terdapat juga satu-dua makam, beberapa patung, dan sebuah pohon beringin yang kabarnya dianggap keramat. Pengunjung biasanya datang untuk menikmati suasana pulau yang sejuk oleh pohon-pohon besar, berfoto di depan pagoda, atau di samping patung panda dan tokoh-tokoh di cerita kera sakti.

Di hari Minggu, hari Kiki kembali ke Mataram, saya sempatkan dia untuk mencoba mie celor. Mie celor yang paling banyak penggemarnya adalah Mie Celor Pasar 26. Pengunjung sangat ramai, dan syukurnya kami mendapat tempat duduk. Tapi, karena banyak sekali yang memesan, mie yang kami pesan tidak kunjung datang. Setelah beberapa kali menanyakan lagi, akhirnya terhidanglah mie celor yang menggugah selera, meskipun hanya sepiring yang dihidangkan dan sepiringnya lagi lupa. Tapi tidak usah cemas, porsi sepiring mie celor bisa untuk dua orang. Dengan mienya yang gemuk, kuah yang kental, dan sebutir telur rebus, itu sangat mengenyangkan bila dimakan sendirian.

Dengan penerbangan jam 10-11 pagi, Kiki pulang ke Mataram. Saya senang bisa sempat mengajaknya berkunjung ke Palembang. Sebentar lagi dia akan lulus kuliah, melanjutkan koasnya, dan mungkin saja tidak lama lagi akan ada yang melamar dia. Kapan lagi saya bisa mengajaknya jalan-jalan ke sini? Meskipun kata si Kiki, Palembang tidak sekeren Mataram; karena tidak ada pantai serta macetnya melelahkan hati dan pikiran bila mau ke mana-mana. 😀

Palembang, 23 Juni 2013
“Tulisan lebih setahun yang lalu. Baru diupload sekarang. :D”