Berkunjung ke Tebing Siung, Jogjakarta

“Semua orang yang ke sini, bilang begitu. Tebing Siung memang yang paling indah”, Bapak pemilik rumah tempat kami menginap sempat memberikan pengumuman kecil tentang indahnya Tebing Siung. Saya tidak tahu apakah benar seperti itu. Di salah satu dinding rumah terdapat poster besar: foto seorang climber yang sedang memanjat di Uluwatu. Kau tahu, Kawan? Pose seperti di poster itu, bisa juga tercipta di Tebing Siung. Seorang pemanjat yang rambutnya melambai-lambai, dengan latar belakang biru air laut. Seperti itulah Tebing Siung, mirip tebing-tebing di Uluwatu, deretan tebing yang langsung menghadap samudera luas: Samudera Indonesia.

Sebenarnya saya tidak berencana ke Tebing Siung. Saya ke Jogja hanya ingin menengok adik yang sedang ujian. Tapi berhubung, kawan-kawan yang lain—Gatot, Uka, Udik, Di’i, Bon Bon, dan Depek bersama lima orang dari KPA Arkadia (UIN Syarif Hidayatullah)—sudah di sana lebih dulu, saya terbujuk rayu mereka untuk ke sana. Toh, perjalanan Jogja-Wonosari-Pantai Siung hanya kurang dari lima jam saja. Saya menyusul dari Jogja, bersama Sebastian Napitupulu, kawan—orang Mentawai—yang biasa dipanggil dengan nama Kadal Jr.

Dari Jogja kami naik bus jurusan Wonosari, kemudian bus Wonosari-Pertigaan Siung, dari jalan besar ke pantai kami naik ojek. Tentang ojek di sana, mereka terima saja berapa yang diberi penumpang. ”Terserah”, kata mereka. Tidak ada tawar-menawar, ini benar-benar mendobrak tradisi antara ojek dan calon penumpang. Usut punya usut, ternyata pengunjung pantai sedang sepi, mungkin lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali.

Pantainya memang indah. Pantai-pantai di selatan Jogjakarta dikenal dengan ombak tinggi, dengan tebing-tebing karang, dan merupakan daerah karst (kapur). Pantai Siung seperti terselip di sepanjang pantai curam yang panjang. Seperti sebuah pantai rahasia, pantai di mana pesawat nomer 2 Thunderbird disembunyikan. Pasirnya putih. Masih asri. Terlebih lagi, belum banyak sampah-sampah berserakan.

Di samping-samping Pantai Siung itulah letak tebing-tebing panjat. Bagus-bagus. Jalurnya sudah jelas dan menantang (salah satu perintis jalur ini, sejak tahun 1999, adalah Mas Lombok. Setelah mengobrol lama, baru saya sadar kalau climber itu memang asalnya dari Lombok. Maka, mulailah kami mengobrol tanya-tanya keadaan kampung). Posisinya yang langsung menghadap laut inilah sebagai nilai tambahnya. Tebing-tebing lain biasanya di tengah ladang atau di pinggir hutan. Saya cuma pernah ke Tebing Tajur, Tebing Ciampea—dua-duanya di Bogor—juga pernah ke Tebing Parang, Purwakarta. Pemandangan dari puncak Tebing Tajur memang indah, sawah-sawah, ladang, bukit, dan deretan rumah penduduk begitu indah. Memandang aura senja dari lereng Tebing Parang juga tidak kalah menabjubkannya. Tapi adanya laut ini yang jauh membedakan, tebing-tebing itu jadi tidak seindah Tebing Siung.

Ini beberapa foto-fotonya. Sayang, saya tidak sempat memanjat, karena pagi-pagi benar mesti kembali ke Jogja, menjemput adik saya. Lain kali, mungkin bisa ke Siung lagi. Insya Allah.

Ini difoto di senja hari

Ini pantai Siung

Dari atas tebing

pantai rahasia

Gatot dan Udik sedang beraksi

Gatot-ketum-stapala-beraksiUdik Beraksi