Kehidupan Sederhana (21 Juni, Baduy Dalam)

Cahaya bulan lembut bersinar,

aku telurusi jalan bebatuan dengan mata nanar

Bintang-bintang saling berkelip,

mencoba menjadi yang paling menarik

Aku temui orang-orang yang sederhana di sini

Orang-orang yang hidupnya dari alam

Lelaki-perempuan sahabat alam

Lelaki-perempuan penopang alam

Aku temui orang-orang sederhana di sini

Lelaki-lelaki kekar berambut panjang,

berikat kepala putih

Perempuan-perempuan perkasa,

dengan keanggunan alami

Aku temui kehidupan sederhana di sini

Kehidupan tanpa hiruk-pikuk nafsu tiada mengenal kecukupan

Kehidupan tanpa noda kerakusan

Kehidupan tanpa polusi

Kunang-kunang terbang di atas aliran sungai,

sinar ajaibnya berpijar

Cendawan-cendawan kecil berfosforus turut menghiasi malam,

sinar hijaunya berpendar,

Malam ini begitu damai, Kawan

M N Juna Putra

Sabtu Malam, 21 Juni 2008, Cibeo, sebuah perkampungan Suku Baduy Dalam

”dalam ketakjuban pada irama hidup yang berharmoni dengan nada-nada alam”

Sudah setahun kawan-kawan Stapala tidak berkujung ke Cibeo, sebuah perkampungan suku Baduy Dalam. Padahal, setahun ini, dua kali kami mendapat kunjungan dari orang-orang sana. Adalah saat yang tepat sekarang, karena kawan-kawan angkatan baru banyak yang belum pernah ke sana, juga termasuk saya. Ini memang pertama kalinya saya ke Kanekes.

Kami bersebelas: Koh Tepi, Udik, Anton, Wira, Refly, Noe, Isma, Gery, Rian, Ernest, Uka, Dyan, dan saya, Dari Stasiun Pondok Ranji Bintaro, kami menaiki kereta ekonomi jurusan Rangkasbitung. Keretanya sungguh bukan main; gelap tidak berlampu, penumpangnya berdesak-desakan, dan sirkulasi udaranya yang tidak manusiawi. Saya sempat mendengar bisik seorang penumpang, “(Kereta) ini kayak kereta kamp konsentrasi Nazi saja”. Di tengah gelap dan pengap bau keringat orang-orang, saya tersenyum lebar mendengarnya.

Apapun jeleknya kereta itu; toh bisa mengantarkan kami sampai ke Lebak, alhamdulillah. Dari stasiun kereta sampai ke alun-alun kota, kami berjalan kaki saja. Saat menyusuri jalan-jalan kota itu di malam hari, saya jadi ingat Max Havelaar. Di kota inilah, Multatuli—penulis novel itu—pernah bertempat tinggal. Mungkin jalan-jalan lebar yang kami langkahi pernah pula dilangkahi oleh beliau—Douwes Dekker—orang Belanda yang tulisan-tulisan tajamnya membela nasib bangsa ini.

Karena masjid Lebak sedang direnovasi, kami tidur di lapangan alun-alun kota. Tidak begitu buruk karena kebetulan ada tenda-tenda yang dipasang untuk sebuah acara di sana esok harinya. Kami pun tidur di bawah tenda-tenda itu. Syukurlah; semuanya bisa memegang prinsip bisa tidur kapan dan di mana saja. Jadi tidaklah ada keluhan tidak nyenyak tidur atau sekedar punggung yang pegal-pegal.

Setelah sholat shubuh di mushola RSU Lebak, kami segera mencari angkutan umum untuk mengantarkan kami ke Kanekes. Tidak susah bagi Koh Tepi untuk menawar harga yang cocok dengan kantong mahasiswa. Setelah mendapat kesepakatan harga yang saling menguntungkan, angkutan umum yang kami carter segera melaju ke tempat tujuan. Di jalan, kami sempat berhenti sebentar untuk membeli bekal makan siang dan sempat-sempatnya minum teh. Juga di beberapa tempat, van Suzuki Carry yang kami tumpangi berhenti sebentar karena kepayahan mengangkut dua belas penumpangnya melewati tanjakan.

Sebelum tengah hari kami sampai di Kanekes. Kami banyak melihat orang-orang suku Baduy Luar yang sedang mengangkut bahan bangunan dari pick up Mitsubishi Colt. Sepertinya sedang ada pembangunan di dalam.

Orang-orag Baduy Luar dapat dikenali dengan pakaian mereka yang serba hitam dengan ikat kepala batik berwarna biru. Sedang orang-orang Baduy Dalam mengenakan pakaian serba putih dengan ikat kepala putih. Mereka berkulit putih dan tampak mirip satu sama lainnya.

Kami bertemu dengan Kang Sanip, seorang Baduy Dalam, yang bersedia mengantarkan kami masuk ke Kampung Cibeo. Jalan menuju Cibeo merupakan jalan setapak yang dapat ditempuh dalam waktu empat jam jalan kaki. Lumayan juga; apalagi matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Namun, pemandangan sepanjang perjalanan setidaknya cukup menghibur untuk melupakan teriknya matahari.

Kami melewati tiga perkampungan suku Baduy Luar sepanjang jalan. Perkampungan- Perkampungan itu terdiri dari puluhan rumah dan puluhan lumbung padi yang biasanya terpisah dari rumah-rumah. Sepertinya sedang ada hajatan, orang-orang Baduy Luar: laki-laki dan prerempuan, anak-anak dan orang tua, terlihat berpakaian dan berdandan rapi.

Sore hari kami sampai di kampung Cibeo. Oh ya, sejak masuk ke kawasan Baduy Dalam, segala peralatan elektronik wajib dimatikan. Ini merupakan peraturan adat setempat untuk menjaga keaslian adat istiadat masyarakat Baduy Dalam. Kamera digital, MP3 player, dan handphone harus dipastikan dalam kondisi off.

Kami ditampung dalam dua rumah. Rumah-rumah di sana indentik satu sama lain. Bentuknya sama. Letak balok-balok kayunya pun sama. Bahkan, botol air minumnya dan bentuk gelas bambunyapun sama. Setelah makan malam di rumah Kang Ardi, saya kaget ketika memasuki rumah Kang Sanip untuk bersitirahat. Pasalnya itu tadi, interior rumah-rumah di sana sangat mirip! Saya seperti memasuki rumah yang sama namun beda letaknya.

Di sana, para lelakinya dapat berbahasa Indonesia, sehingga komunikasi pun lancar. Namun, kaum perempuannya biasanya (Atau semuanya? Saya tidak tahu pasti) tidak mengerti bahasa Indonesia. Alhasil, untuk berkomunikasi, bahasa tangan, tubuh, mimik wajah, menjadi satu-satunya cara. Namun, semuanya lancar-lancar saja. Biarpun kami tidak mengerti bahasa mereka, dan mereka tidak mengerti bahasa kami, toh tidak menghalangi terjalinnya keakraban selama di sana.

Letak kampung Cibeo di pinggir aliran sungai kecil berair jernih. Untuk mandi danmengambil air minum, terdapat pancuran di sudut perkampungan. Airnya benar-benar dingin. Saya mencuci muka, tangan, dan kaki saja, tidak berani mengguyur air ke semua badan saat membersihkan diri; saking tidak tahan dengan dinginnya.

Malam harinya, sebelum istirahat, kami berkumpul di alun-alun kampung, untuk memandang langit dan mengobrol dengan penduduk setempat. Unik saja rasanya. Tidak ada penerangan listrik. Tidak ada suara radio. D’Massif tidak sampai di sini, walaupun di Jakarta lagunya dinyanyikan di mana-mana. Tidak juga ada suara tivi. Yang terdengar hanya suara-suara orang bicara dari dalam rumah. Juga ada suara sedikit ramai dari sebuah rumah di samping rumah tempat kami istirahat. ”Pemuda-pemuda itu sedang mengapel”, kata Kang Sanip, saat saya menanyakan apakah ada hajatan di sebelah.

Mungkin karena capai, mungkin juga karena suasana yang hening, kami tidur dengan sangat nyenyak. Saya bemimpi indah dalam tidur, tapi tak ingat mimpi apa. Paginya, kami harus segera bersiap-siap untuk balik ke Bintaro; mengejar kereta jam tiga dari Rangkasbitung. Beberapa kawan ada yang kuliah Senin besok, sehingga kalau tidak dapat kereta jam tiga, tidak ada lagi kereta setelahnya.

Kalimongso, Jurang Mangu, Juni 2008

Ingin rasanya kembali lagi. Mungkin suatu hari nanti untuk bersilaturahim ke sana. Menimati keasrian alam dan kesederhanaan orang-orangnya.

11 Responses to “Kehidupan Sederhana (21 Juni, Baduy Dalam)”

  1. heidy Says:

    cie.. km ke sana ya??? wah keren!!! mau dunk?! iri kak:(

    shavaat: cuma sekedar numpang nginap saja…

  2. ‘rasa itu’ datang lagi di Baduy « Nez dan perjalanannya… Says:

    […] yang sama, tulisan yang berbeda, dapat dinikmati disini. « […]

  3. conandole Says:

    Aku menmukan tulisan sederhana yang damai

    😀

  4. Black_Claw Says:

    AH, bukannya sama saja dengan di Dompu? pyeh…
    shavaat: Beda Black… Orang2 di sini benar2 sederhana hidupnya. Ga ada radio, tivi, kulkas, kipas angin, ponsel dll (macam2 barang elektroniklah..). Sendal jepit pun ga pake, ke mana2 telanjang kaki (mereka anti naik kendaraan, bahkan ke tempat yang beratus2 kilo jauhnya dari kampung mereka). Coba di kampung kita, siapa coba yang ga punya HP? Siapa coba yang ga punya motor?

  5. cingi_canga Says:

    ibu saya!!!
    gak punya hape, gak punya motor!!
    tapi masih pakek sendal jepit sih…
    :))

    shavaat: ha3, maksud saya; karena ekstrimnya kesederhanaan orang di sana. Kalo yang ga punya hape, ga punya motor sih banyak, Yan…

  6. nia Says:

    ck..ck..ck..ck..
    shavaat: ck=catatan kecil?

  7. fahrizalmochrin Says:

    perjalanan menmpa hidup , dalam melilaht cakrawala ciptaanyang maha kuasa ,,dan kita hanyalah mahluk kerdil dihadapannya…

    shavaat: benar, Pak. Kalau udah di tengah2 cipataannya yang tiada bandingannya; takluk juga jiwa ini. Hilanglah sombong diri,,

  8. nanda Says:

    subhanalloh ……

  9. wawan tukang ngimpi Says:

    tulisan yg sangat asyik, mas, semoga saya sempat kenal sampean dan sampean ajak ke suku baduy dalam, saya ingin mengenal beliau-beliau itu dan bertanya lebih dalam ttg spiritualitas mereka… orang-orang yg damai


Leave a reply to wawan tukang ngimpi Cancel reply